Oleh Abdullah Alawi
Jalu
mengayunkan gegender pada tandan langari pohon kawung. Suaranya
menyatu dengan gemuruh arus Cicatih yang menampar-nampar lamping cadas
ditumbuhi pohon kiray. Arusnya berpusar-pusar di mulut sedong. Benda
yang hanyut akan diputar-putar seperti digiling.
Gegender masih berayun teratur di tangan Jalu. Suaranya kadang
menimbulkan gaung berulang-ulang di permukaan leuwi. Mulutnya kemudian
bergumam...
Yun
ka kidul nyiuk ti sagara kidul
Yun
ka kaler nyiuk ti sagara kaler…
Angin bertiup menerpa tubuh Jalu yang berkeringat. Baju
hitamnya yang lusuh berkibar-kibar. Daun-daun bergesekan di pepohonan.
Batang-batang bambu berderit-derit. Sesekali burung pipit bercericit sambil
berloncatan di gerumbulan semak yang dirimbuni pohon bersulur. Tonggeret
menjerit-jerit seperti menghembuskan kidung terpencil. Itulah suara yang
ditabuh nayaga alam di lamping Cicatih. Sementara matahari senja mulai
tunggang gunung.
Kemudian
perlahan-lahan Jalu menuruni sigay. Di pundaknya tergantung lodong
penuh nira. Keringatnya becucuran menuruni lekuk tubuhnya. Lututnya gemetar.
Perasaannya miris seperti mendengar sembilu bambu dikerik pisau. Jeram Cicatih
yang bergumpal-gumpal seperti menarik-nariknya terjun. Seandainya terpeleset,
tubuhnya langsung menimpa rumpun semak belukar yang ditumbuhi pohon kaso,
harendong, cariang dan gadung kemudian terguling-guling, lalu diterkam jeram
Cicatih yang akan menyeretnya ke sedong. Lalu digiling. Tenggelam dan
hanyut terbentur batu.
Dia
memang trah penyadap kawung. Meski begitu, lututnya tetap gemetar ketika
kakinya menginjak tanah. Dia menyeka keringat di wajah dengan lengan bajunya
sambil memandang pohon kawung setinggi 12 meter itu. Inilah pertama kali ia
menyadap nira.
Sebelumnya ia tak terbayangkan bisa melakukannya. Dan dia
baru sadar telah melapalkan kalimat-kalimat ketika memukul tandan langari.
Kalimat yang tak pernah dikenal dan dipelajarinya. Mulutnya seperti ada yang
menuntun. Tangannya juga seperti ada yang membimbing mengayunkan gegender.
Apa
betul pernyataan kakeknya tempo hari tentang ikut campurnya karuhun
dalam hal ini?
***
“Mbah,
semalam aku mimpi,” kata Jalu ketika bersama kakeknya di tepas, suatu
pagi. Di hadapannya dua singkong bakar yang dialasi daun pisang, satu buah
ceret dan dua gelas.
Sementara
kakeknya sibuk menganyam benang, membikin kecerik. Sesekali tangannya
melinting rokok daun kawung dengan tembakau mole yang sengak.
“Mbah,
semalam aku mimpi,” Jalu mengulang kalimatnya.
“Apa?”
Jalu
tak langsung menjawab karena mulutnya dipenuhi singkong. Tenggorokannya terasa
kering. Dia minum terlebih dahulu.
“Mimpi
apa?” Mbah Jaro mengulang pertanyaannya, “mimpi basah? Kalau itu, tak usah
diceritakan! Cukuplah dinikmati sendiri. Tak usah berbagi.”
“Bukan!”
“Lalu,
mimpi apa?”
“Mimpi
menggiring air dari lembah sampai ke bukit.”
“Apa?”
Mbah Jaro kaget, seolah pantatnya disengat tawon.
“Mimpi
menggiring air dari lembah ke bukit.”
“Sampai
ke bukit?”
“Iya.
Sampai ke bukit. Kira-kira apa makna mimpi itu?”
Mbah
Jaro terdiam. Tangannya berhenti menganyam.
Jalu
memandang muka kakeknya dengan tegas. Seperti sedang menghitung keriput di wajahnya. Seolah menagih jawaban dari
keriputnya. Sementara mata kakeknya menatap ke arah lain. Kemudian senyum
mengembang. Tapi belum juga berkata. Malah tangannya yang kehitaman mengambil
singkong bakar yang masih panas. Sisa-sisa abu dari hawu masih menempel.
Dia memecah singkong itu. Asap mengepul. Dia meniupnya. Uap putih tipis-tipis
mengepul. Sekarang dia mulai mengunyah.
“Kakek
sudah tua,” katanya sambil menuangkan air dari ceret ke gelas.
“Sudah
tahu! Semua orang tahu kakek itu tua. Apa memang merasa muda? Siapa bilang
masih muda? Keterlaluan!”
“Sudah
capek.”
“Ya
pasti capek, Kek. Seumur hidup di sawah, di kebun, menyadap kawung, mengantar
gula ke warung-warung dan sesekali lintar di Cicatih.”
“Kakek
juga dulu mimpi hampir sama seperti itu, cuma tidak sampai ke bukit,” katanya
sambil mengunyah. “ingat! Kita adalah keturunan gula kawung. Kerabat pohon
kawung. Dari karuhun, kita diwarisi keahlian menyadap. Turun-temurun.
Mulai dari ki Jabog, ki Martabi, ki Rusbi, eyang Inok, dan ki Aim. Mereka
adalah penyadap kawung. Ahli gula. Kebun kita di lamping Cicatih
ditumbuhi kawung setiap musim. Musang selalu menanamnya tanpa meminta imbalan.
Kitalah yang memenuhi kebutuhan gula di kampung ini. Bahkan sesekali sampai ke
kampung tetangga kalau gula melimpah. Padahal banyak gula dari luar, tapi lidah
mereka sudah terikat dengan gula kita.”
“Apa
maksudnya Kakek bercerita seperti itu? Aku mimpi menggiring air, Kakek malah
bercerita gula, musang, nira dan
orang-orang tak saya kenal diabsen satu per satu.”
“Nah,
mimpimu semalam itu adalah panggilan mereka. Tanganmu sudah diminta menyadap
kawung yang sedang subur-suburnya di lamping Cicatih di samping pohon
loa dan jati.”
“Apa
secepat itu, Kek?”
“Ya.”
Jalu
melongo. Belum paham keterangan kakeknya. Terbayang tiap pagi dan sore
menggendong lodong berisi nira seperti kakeknya. Ada sesal menyergap
kenapa menceritakan mimpinya semalam. Dia terdiam, memandang ke arah lain.
Pikirannya entah ke mana.
Sekarang
mbah Jaro memandangi cucu berusia 16 tahun itu yang sejak kecil yatim piatu.
“Tidak, Kek. Aku tak ingin jadi penyadap
kawung. Tak mau jadi tukang gula.”
“Tidak
bisa! Kamu harus mau. Jangan seperti bapakmu. Kamu tidak bisa menghindar dari
panggilan karuhun. Kau satu-satunya penerus gula kawung,”
“Tapi
kan aku terlalu muda untuk menjadi penyadap.”
“Ki
Jabog, ketika dipanggil karuhun, lebih muda darimu. Pada masa dialah
gula melimpah hingga bisa membeli sawah dan kebun buat keturunan-keturunannya.”
Jalu
teridam. Meski kakeknya suka membanyol, tapi perintahnya tak bisa ditolak.
Keinginan untuk keluar desa seperti teman-temannya, mencari hidup yang lain,
terhalang sudah.
“Terimalah
panggilan ini dengan lapang. Semoga zaman keemasan ki Jabog terulang kembali.”
“Aku
belum siap. Tali-parantinya juga tidak tahu. Memukul lengan langari,
menaiki sigay yang tinggi itu bukan pekerjaan mudah.”
“Itu
masalah kecil. Karuhun akan menuntunmu. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya.
Pokoknya lusa kamu sudah harus memulainya. Besok kakek membersihkan harupat
dan ijuknya.”
“Tapi
aku masih belum siap.”
“Tak
ada tapi-tapi!” tukas kakeknya dengan nada tinggi.
Jalu
kembali terdiam. Pikirannya meracau. Apa betul kata-kata kakeknya? Kenapa tidak
bisa keluar dari titah karuhun? Kenapa orang yang telah lama menyatu
dengan tanah masih mencampuri orang hidup? Pertanyaan-pertanyaan yang hanya
menyelinap dalam hatinya.
“Tidak
ada yang sulit, Jalu. Tanganmu nanti ada yang menuntun. Segala seluk-beluk
penyadapan tak perlu kamu pelajari. Dia hadir dengan sendirinya karena kamu
adalah trah penyadap kawung. Mimpi semalam adalah bukti. Yang penting saat
nyadap, kamu jangan mandi dulu. Kalaupun mandi karena mimpi basah misalnya,
kamu jangan mandi pakai sabun.” Banyolan kakeknya kembali keluar. Singkong
bakar yang gosong kelihatan di sela giginya yang jarang-jarang. Tapi Jalu tak
tertarik dengan gurauan itu. Terasa hambar.
“Bau
sabun atau parfum bisa membuat pohon aren pundung,” sambung kakeknya,
“dia tak akan meneteskan niranya. Dia lebih senang bau keringatmu. Terus,
sebelum memanjat sigay, batang aren ditinggur tujuh atau sembilan
kali agar nira keluar dengan lancar dan bagus. Terakhir, jangan pernah memberi
siapapun yang meminta nira di jalan. Orang kampung sini sudah paham. Bukan
karena pelit, tapi dari karuhunn sudah begitu.”
Keduanya
terdiam. Masing-masing mengunyah singkong bakar. Matahari sudah mulai panas.
Langit cerah. Angin berhembus perlahan.
***
Sejak
kecil Jalu sudah kenal dengan pohon kawung. Di rumah kakeknya ditemukan
bagian-bagian dari pohon itu. Mulai dari lintingan rokok. Sapu lidi neneknya
untuk menyapu halaman. Alu untuk menumbuk di lesung. Jeruji jendela yang sudah
mengilap. Juga dahan kawung kering untuk kayu bakar. Karenanya kakek sering
menasihati supaya hidup seperti pohon kawung, banyak manfaatnya. Buahnya bisa
dibuat kolang-kaling. Batangnya bisa dibuat tepung. Niranya disadap jadi gula.
Nasihatnya itu sering disempali banyolan-banyolan. Tapi keinginannya keras, tak
bisa dibantah.
Dan
kini, semenjak mimpi yang diterjemahkan kakeknya sebagai panggilan karuhun,
dia semakin dekat dengan kawung. Pagi dan sore ke lamping Cicatih. Pagi
mengambil nira yang dipasang sore kemarin. Kemudian memasang lodong pagi
ini untuk diambil sorenya.
Hanya
dalam beberapa hari saja, nira itu melimpah. Sering lodongnya tak cukup
menadah tetesan nira. Gula kawung melebihi biasanya. Tangan ki Jabog mengalir
di tubuhnya. Jalu mulai kerasan sebagai penyadap.
Tapi
ketika ketemu Euis, tetangganya, tubuhnya menggigil, lebih gemetar ketimbang
menaiki sigay. Perasaan-perasaan yang entah apa namanya, menyergap
tiba-tiba. Tiba-tiba saja, menggedor dadanya seperti gegender
memukul-mukul langari. Gemuruh di dadanya melebihi arus Cicatih yang
jeramnya bergumpal-gumpal. Susah-payah dia menekan perasaan itu. Senyum gadis
itu lebih rawan daripada jatuh tersungkur ke semak belukar di lamping.
Jalu bertanya dalam hatinya, apakah karuhun juga ikut bertanggung jawab
atas perasaan itu?
Sukabumi, 2006
Yun
ka kidul nyiuk ti sagara kidul,
Yun
ka kaler nyiuk ti sagara kaler:
berayun
ke utara, menciduk dari samudera utara, berayun ke selatan meciduk dari
samudera selatan.
Gegender: alat pemukul langari
Langari: tandan buah aren, sumber nira
Lamping: kontur tanah yang
miring
Sedong