Cerpen

Gunung Salak dan Stasiun Manggarai

Selasa, 23 Januari 2018 | 00:01 WIB

Gunung Salak dan Stasiun Manggarai

Ilustrasi (floresa.co)

#1

Kereta terlalu banyak menyimpan cerita. Seperti halnya si Umbu guru spiritual Cak Nun menunggu kedatangan bus yang ditumpangi oleh wanita pujaannya. Sekalipun tidak akan pernah terucap kata yang menurut sebagian orang adalah suci, Umbu memilih diam dan menikmati penantiannya. Pikirnya, sang pujaan akan sadar sendiri betapa menunggu tetaplah indah tanpa harus diketahui.

Aku tunggu kau di stasiun Manggarai, dik. Bukan di halte Manggarai. Jangan sampai salah alamat. Ah ya, aku mengenakan kemeja biru dan celana yang banyak kantongnya. Entah apa nama celana semacam ini. Kata orang, ini namanya celana gunung. Terserah, dik. Toh aku cuma mengenakan dan tidak berniat naik gunung. Aku membawa ransel dan nasi yang aku sediakan untuk kita makan berdua. Dirimu tidak keberatan kan?

Di penghujung tahun ini aku sedikit kecewa menunggumu yang tak kunjung tiba. Adik sudah pernah mencicip roti O' ? Roti itu cuma ada di stasiun kereta katanya dan tidak semua stasiun menyediakan. Nah, di Manggarai ada dik. Ayo lekas tiba kemari. Aku masih di depan stasiun. Menunggumu.

Tidak terhitung sudah berapa kali mentari terbit dan berapa kali ia tenggelam. Aku masih duduk di lantai keramik dekat mushola stasiun. Kau datang hanya saat jadwal makan siang. Setelah itu kau pergi, katamu ingin muncak lagi. Kau masih terlalu keras kepala untuk kuajak barang sedikit waktu saja sampai azan maghrib tiba. Itu kan tidak lama sebenarnya. Hanya beberapa jam. Kau bilang buru-buru. Tapi ya sudahlah. Toh kau besok akan datang lagi bukan?

Aku hanya resah jika malam tiba saat kau masih di atas gunung. Takut kau kedinginan, takut kau menggigil, takut kau dijahili oleh burung hantu, takut kau kena ranting, kau jatuh, terkilir, dan hilang. Tapi kau berhasil meyakinkanku dengan datang setiap jam 1 siang di stasiun Manggarai.

Setelah makan berdua denganku dan kau bercerita tentang dunia malam di gunung, kau lekas pergi lagi. Dan aku mulai merindu teramat sangat. Satu lagi yang aku khawatirkan akan dirimu adalah ketika kau bercerita tentang lintah darat yang nyaris masuk ke telingamu. Hanya sekedar menguatkan, aku bilang itu hewan kecil tidak bisa apa-apa, kamu lebih kuat.

Dik, di stasiun Manggarai sepertinya ada yang tidak suka melihat aku menunggui kedatanganmu. Mereka tarik tanganku, mereka bilang mari pulang. Sampai terkadang aku diposisikan laiknya tersangka pencopet. Aku dikerumuni banyak orang. Pada saat itu aku hanya berharap jarum jam segera berputar di angka 1.

Aku tahu dirimu akan segera datang dan memberitahu kalau aku kekasihmu sedang menunggu kedatanganmu. Memang sinting orang-orang yang ada di stasiun ini. Seolah mereka tidak pernah merasa muda. Mestinya mereka paham sendiri bagaimana tersiksanya menunggu orang yang dicintai agar segera tiba.

Jika malam datang, waktu terasa tak berujung. Hanya ada aku dan dua petugas stasiun. Mereka menyapu dan mengepel lantai. Mereka tawarkan kain untuk kujadikan selimut. Aku menggelengkan kepala. Biarlah. Aku ingin merasakan apa yang kamu rasakan.

#2

Mary mengikat tali sepatunya erat. Ia tersenyum simpul ketika tahu Bima sedang menatapnya. Seolah tatapan itu adalah tanda perpisahan yang tak akan membawa pertemuan kembali. Mary lekas meraih batu kecil di dekatnya dan melempar ke arah Bima. Mereka berdua tertawa.

"Kamu yakin akan pergi?" Bima memasang muka serius.

"Kenapa tidak?" Mary menyipitkan mata dan mengangkat bahu sedikit. Ia tahu Bima tidak memberinya izin. Pagi buta dari Cakung ia datang menemui Mary di beskem yang sedang bersiap bersama sesama teman aktivisnya akan naik puncak gunung Salak di Bogor. Ia menawarkan pada Bima untuk ikut serta. Sayangnya, Bima sedang benar-benar tidak bisa ikut menemani Mary. Bahaya jika ia memaksakan di tengah sakit yang teramat sangat. Pening, menggigil panas dingin. Jujur ia khawatir dengan keselamatan Mary. Tapi Mary terlanjur berkepala batu kekeh tetap ingin naik.

"Tahun baru masa tetap diam di Jakarta. Kamu cepat sembuh. Kalau sudah membaik, jika ingin menyusul hubungi aku. Nanti aku tunggu kamu."

Bima tetap diam dan masih menatap Mary. Dalam.

Dalam kondisi badan yang menggigil, jam 11 Bima ikut mengantarkan Mary yang akan segera berangkat jam 12 nanti siang bersama 4 orang teman laki-laki dan 2 orang perempuan di stasiun Manggarai. Sepanjang perjalanan, Mary hanya tersenyum. Ia meraih tangan Bima dan memegangnya erat.

"Hidupmu tidak akan berakhir tanpa aku. Tidak usah khawatir. Aku akan pulang ke Jakarta dengan selamat. Percayalah."

"Aku memang akan kuat. Tapi tidak dengan hatiku. Jika boleh meminta, aku hanya ingin kau membatalkan niat ke sana. Tunggu sampai aku sembuh dan kita akan naik ke puncak bersama-sama."

Mary tersenyum kembali sambil menepuk lembut pipi Bima.

Sesampainya di stasiun. Terlebih dahulu Bima mengajak Mary sarapan pagi di emperan depan stasiun. Sedangkan teman-teman mereka sibuk membenahi kembali alat perkakas dan perlengkapan lainnya di ruang tunggu. 

Obrolan Bima dan Mary terasa tak bermakna meski Mary sebenarnya sudah menjelaskan lewat tatapan matanya yang sayu. Mary memang sedang tersenyum, tapi tidak terlihat ia akan menyudahi senyumannya. Sampai hidangan tiba barulah ia melepas gurat senyum itu. Ia dekatkan hidungnya yang runcing ke mangkuk berisi soto Lamongan dan menarik nafas panjang.

"Hmmm harumnya..." Mary menatap Bima kemudian tertawa lepas.

Bima terkenang saat pertama kali ia mengutarakan isi hatinya pada Mary. Daun pohon kenarilah yang memulai pembicaraan. Bima tahu persis jika Mary bukanlah perempuan yang hatinya mudah untuk dilumpuhkan. Dari awal Bima sudah was-was dan mempersiapkan diri untuk ditolak.

Tapi tekad sudah mengalahkan ketakutannya. Bima memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang ada di dirinya pada Mary. Memang tidak mudah. Dadanya seperti dihantam gada raksasa. Benar saja, Mary tidak langsung menjawab iya akan menerima. Bima masih harus membuktikan keseriusannya beberapa waktu hingga akhirnya Mary benar-benar yakin dan menambatkan hatinya pada Bima.

Waktu itu turun hujan. Usai makan, Bima dan Mary bergegas menemui teman-temannya di stasiun.

"Kita akan baik-baik saja. Kalau aku tidak baik, pastikan dirimu yang baik. Jangan lupa istirahat yang cukup. Aku pergi dulu." 

Itu kata-kata terakhir yang diucapkan Mary pada Bima. Setelah itu ia pergi begitu saja. Ia hanya meninggalkan punggungnya yang mungil di mata Bima. Ia tidak menoleh lagi atau sekadar melambaikan tangan. Ia berjalan lurus dan membelok ke kanan hingga tubuhnya hilang di tengah kerumunan penumpang kereta yang lain.

#3

Malam setelah dua hari kepergian Mary.

Ponselku jatuh berkeping. Dibanting oleh diriku sendiri yang sedang dirundung kekalutan. Dadaku bergumuruh dan benar-benar tidak bisa mengendalikan emosi yang memuncak. Menghempaskan badan rasanya tidak ada guna. Badanku seperti kapas yang ingin segera jatuh ke bumi. Tapi angin mengombang ambingkan diriku hingga tak kunjung bisa menapakkan kaki. Aku ingin secepatnya sampai di sana. Apa? Aku akan lari? Bisa saja. Lariku lebih kencang ketimbang Puma. Sialan. Teman-temanku malah menahan. Mereka bilang, secepatnya Mary akan dilarikan ke Jakarta untuk disemayamkan.

"Tidak!!! Aku ingin melihatnya berdarah." Tidak peduli aku meraung seperti anak kehilangan induk. Bagiku, Mary adalah segalanya. Bagaimana mungkin dalam keadaan ia berlumur darah, aku tetap diam dan menantikan jasadnya di sini. Ini rasanya lebih sakit ketimbang aku kehilangan nyawaku sendiri. 

Aku menyerah pada mereka yang menahanku untuk pergi. Kubiarkan badanku lunglai. Kubiarkan mataku tertutup. Lalu kemudian aku melihat Mary. Ia datang mendekat dan mengajakku duduk di depan rumahnya. Padahal di dalam ada banyak orang. Mereka mengerumuni jasad yang tertutup oleh kain kafan.

Mary cekikikan sambil memegang tanganku. Ia dingin dan pucat. Aku tak kuasa bicara. Kecuali mendengarkan ceritanya semalam di gunung Salak. Saat di mana angin riuh, hujan lebat, sedangkan mereka berada pada posisi jalan yang terjal. Mereka membuat keputusan untuk bertahan sejenak di jalan itu menunggu hingga cuaca mereda.

Ternyata dugaan mereka salah. Angin dan hujan kian kencang. Ditambah kilat menggelegar. Mary kembali cekikikan bercerita ketika tubuhnya terlempar jauh dari teman-temannya. Hingga ia merasa tubuhnya melayang-layang. Ia tidak tahu persis. Apakah angin yang mengangkatnya atau ia sendiri yang mempunyai kekuatan untuk melayang.

Terakhir ia mengajakku minta diantar kembali ke stasiun Manggarai. Aku tidak menolak. Aku akan ikut kemanapun ia pergi. Ke manapun. Tapi kekasihku itu melarang untuk ikut. Mary berbisik padaku, ia akan kembali ke gunung.
 
Menjemput temannya yang masih tertinggal di sana. Katanya, esok jam 1 siang ia akan menemuiku di sini, di stasiun Manggarai. Aku mengangguk pelan dan memastikan jika esok dia akan benar-benar menemuiku. Mary tersenyum dan mengecup keningku dengan bibirnya yang dingin.

Aku menunggu sampai esok. Benar ternyata. Mary datang menemuiku di jam 1. Wajahnya lebih ceria dari sebelumnya. Tapi bibir Mary masih pucat. Ah besok aku akan membelikan ia lipstik yang bagus dan mahal gumamku. Aku menyambutnya dengan penuh kegembiraan.

Kami makan siang bersama sambil menghitung kereta yang akan berjalan ke arah Bogor. Setelah puas tertawa bersama, Mary pamit lagi ingin kembali ke gunung dan berjanji akan kembali di jam yang sama. Aku menganggukkan kepala. Begitu seterusnya. Hingga akhinya aku akrab dengan stasiun Manggarai.

Sekali waktu. Aku mendengar orang berkata, "Pemuda itu sudah 2 bulan di stasiun."

Dwi Putri, Mahasiswi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.


Terkait