Cerpen

Kisah Gendheng-Songo

Senin, 23 April 2018 | 05:30 WIB

Kisah Gendheng-Songo

Ilustrasi: study.com

Oleh Madno Wanakuncoro

Tentu tak menghebohkan jika Kang A’ang dicerai oleh istri yang paling dicintainya sepanjang hidup. Orang-orang mafhum akan itu. Kebiasaan tak lazimnya sudah bisa dipastikan membikin orang untuk batal mengaguminya, sekalipun hal itu terbilang mulia.

Memang di tengah krisis moneter hingga pascareformasi, kisaran tahun 1998-2000-an banyak peningkatan jumlah orang gila. Maka pada mulanya, di puncak masa krismon, Kang A’ang ini sempat bercakap dengan orang gila—yang tentu saja obrolan mereka buta arah. Lalu ia membelai tulus rambut kumal orang gila yang masih tergolong muda tapi kurus itu, sambil sesekali menepuk lembut punggung dan pundak dekilnya yang tak terbalut sehelai kain pun. Kemudian mengajak ke rumahnya untuk makan siang. Seketika sang istri terhenyak. Apa-apaan suamiku ini, batinnya.

“Kening sampeyan ndak panas kan, Mas?” Mata sang istri memicing. 

Kang A’ang cuma senyum. Nyengir. Memandang istrinya dengan raut sipit di muka. Sesirat wajah yang tanpa dosa.

Tak lama, kejadian tersebut menjadi kebiasaannya yang bahkan ia sebut sebagai hobi yang mampu mendatangkan sensasi klimaks orgasme selain dari hubungan intim suami-istri. Hingga rumah Kang A’ang pun—yang cuma seluas separo dari lapang futsal itu—kini dihuni sembilan orang gila terlepas dari ia sendiri dan sang istri. Ia menyebut mereka Gendheng-Songo.

Mungkin benar opini umum, bahwa Yogyakarta adalah pusat kelahiran orang-orang aneh di Indonesia. Namun, barangkali hanya pria ini seorang, yang ditakdirkan belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan yang akan menjelang dua puluh lima tahun, justru memilih mengasuh orang-orang gila. Sang istri, sebagaimana wajarnya orang normal, lazim saja menentang sikap musykil itu.

“Kalau begini caranya, aku ndak betah!”

Gerakan tangan lelaki yang sedang asyik menyantap hidangan karya dapur istrinya bersama gerombolan orang gila itu, terhenti. Begitu juga mulutnya. Masih menganga. Memandang istrinya. Dan pyarrr!!

“Maksud sampeyan itu apa sih, Mas?!” Suara yang lembut istrinya, kini melantang. Meledak. Menghentikan waktu di bola mata Kang A’ang beserta ‘anak-anak asuhnya’.  Mata istrinya merah. Terasa merah yang panas. Bara. Murka. Mendidihkan air yang menggelinding di pipinya. Pandangan istrinya kabur. Pemilik airmata kecewa itu sendiri pun ikut kabur. Meringkuk masuk ke kamar. Bedebam pintu terdengar. Tetangga di luar, beberapa dibuat kaget oleh suara keras itu hingga ada yang berdiri setelah duduk mengupasi bawang-bawang.

“Aku tau kita berdua belum bisa punya keturunan, Mas! Aku sadar! Tapi mbok ya jangan begini padaku, Mas!” Kalimat-kalimat deras dari dalam kamar sang Istri menusuk-nusuk gendang pendengaran batin Kang A’ang. 

Namun Kang A’ang diam, dia tahu bahwa mengetuk pintu seorang istri yang sedang dirundung amarah bisa dibilang hanya setor nyawa belaka. Tetapi bukankah itu fungsi suami? Merelakan segenap jiwa-raganya untuk sang Istri? Maka ditepislah jauh-jauh teori pertama yang muncul di benaknya. Ia dekati pintu, mengetuknya perlahan, memanggil kekasihnya dengan mesra dan nada menyesal.

“Untuk apa kau merayu hati yang sudah beku ini, hah?! Aku tak akan termakan mulut sok sucimu itu!”

Mereka akhirnya tidak melanjutkan makan. Nafsu makannya gugur. Mati. Kecuali beberapa perut dari gendheng songo yang belum banyak mengerti.

Lantas saat tiba momen itu, suara Kang A’ang yang penuh notasi kelemahan, isi kepala yang kebak bayangan sepinya lorong masa depan dan rasa keberatan yang sayangnya tiada bisa ia utamakan, serak ia menyerah: 

“Asal dikau bahagia tanpaku, aku akan senantiasa meridloi keputusanmu, Linda,” ungkapnya pada sang istri usai ia mendengar keputusan bulat wanita cantik menawan tercintanya tatkala makan malam di Warung Bebek emperan Kadipiro. Baru kali ini sang istri mendengar suaminya menyebut namanya semenjak hari suci itu. Biasanya memanggil manis dengan nada mesra: “Sayang”.
***

Tepat sepurnama bakda kepergian istrinya—yang tanpa dihiasi satu biji pun kebencian—tiba-tiba ada kericuhan yang kian riuh dan pekak di kampungnya. Ramai nian. Rusuh bahkan.

“Ada perkara apa, Wak Gandhi? Kok ribut-ribut?” ia menengok dengan wajah heran sekaligus penasaran ke tetangganya yang keluar rumah.

“Ituu… masyarakat mendesak Kaji Subakhil agar membagi beras timbunannya di gudang,” sembari mendecakkan lidah terheran, Wak Gandhi melanjutkan, “tapi bener-bener wong iku… medhit tenan, koyok jenenge. Jadi ndak kaget jika masyarakat mendemonya dan mengambil paksa karung-karung berasnya sambil menghantami mobil Panther miliknya.”

Sambil membentuk huruf o di mulutnya, pria bernama lengkap A’ang Dzartahum ini berkata alias merutuk, “Bah… ben kapok!”

Kemudian masuklah ia kembali ke rutinitasnya. Menanyai orang-orang gila semi-waras di rumahnya: apakah mereka haus di hari yang terik ini. Tanya tersebut diikuti gelengan kepala mereka. Ajaibnya, tujuh dari sembilan orang itu sudah bisa connected kalau diajak berbicara. Mudeng malahan. Sampai ada satu di antara mereka yang bertanya, “Kapan kami bisa memulai usaha sendiri, Kang?”

Sebelum menjawab, ia hitung-hitung dan sedikit terusik, kenapa cuma ada delapan orang gila—yang dipanggilnya dengan sebutan lain: anak-anak titipan Tuhan—di ruangannya. Ah, paling satu lagi sedang di WC, batin Kang A’ang menepis kekhawatiran. 

Lalu Kang A’ang menyulam senyum lantaran pertanyaan yang mengandung antusiasme untuk hidup mandiri tersebut muncul dari kaum yang disepelekan kebanyakan masyarakat. Lantas menjawab, “Waktu adalah sesuatu yang berharga. Dan momentum adalah unsur terpenting dalam segala kondisi, terutama ketika menentukan keputusan hidup.”

Dengan riang ia menjelaskan sambil mengacungkan jari telunjuk kanan sementara tangan satunya di belakang memegang otot bisep kanannya.

“Eh… momentum niku nopo, Kang?” ada yang bertanya sambil garuk-garuk meski tidak gatal.

Kang A’ang tidak tertawa. Melainkan satu senyuman tulus lahir di bibirnya. Senyum yang justru jauh berbeda dengan senyum sejuk-intimidatif sang raja Presiden Soeharto dan seringai dingin karakter Michael Corleone pada novel Godfather karya Mario Puzo. Lantas ia menambahkan, “Ah… sebut saja itu saat-yang-tepat,” bicaranya sambil mengibaskan satu tangan di depan wajahnya dengan ekspresi mirip Hagrid di serial Harry Potter ketika menyebut Voldemort: you-know-who.

“Atau bisa juga dibilang peluang dan kesempatan.”

Mereka berenam mengangguk, sisanya menggaruk lantai sambil fokus menunduk. Maklum, kau sendiri tahulah.
***

Di Jakarta, tepatnya Semanggi, mahasiswa sedang ramai bentrok dengan aparatur negara. Pers-pers memanen berita, dengan satu sorotan topik yang marketable dan berdaya laris di kancah internasional: mahasiswa Indonesia ditembaki Aparat Keamanan Negara di negeri sendiri. Sudut pandang yang linier dipertontonkan, diperdagangkan, ditonjolkan dan masing-masing masih enggan untuk memungut pandangan baru, malas melakukan kajian yang lebih mendalam dari yang tampak di kulit permukaan. Karena memang sedang genting-gentingnya dan tidak sempat punya waktu untuk sekadar menjernihkan pikiran barang sejenak.

Sementara ada sosok bernama Kentir. Orang-orang memang menyapanya begitu dan Kentir pun mendeklarasikan namanya demikian. Tidak ada temannya yang tahu nama aslinya dan tidak ada seorang pun kenalannya yang tahu siapa yang tahu nama asli dari si Kentir ini. Seolah ia jatuh dari langit dengan sebutan itu dan tak memiliki Bapak-Ibu yang menguruskan akte kelahiran. Tapi ia mengaku orang Yogya.

Kentir dikaruniai bakat besar sebagai konseptor ulung, ahli rekayasa opini publik, dan cemerlang memobilisasi massa—meskipun untuk yang terakhir ini ia kerap lebih suka menggunakan seorang ‘tangan kanan’, kalau tidak ajudan tandem politiknya.

Di masa itu, November ’98 hanyalah sepotong bulan dari fragmen sejarah kelam negeri ini. Kentir sedang melayat sobat karibnya bernama Lukman Firdaus dan Sigit Prasetyo yang gugur setelah tragedi Semanggi. Ia membawakan sekotak parsel berisikan daun Semanggi—jenis berdaun tiga dan berdaun lima yang amat langka—untuk ditaburkan di pusara kedua sahabatnya itu dengan campuran sekar Kenanga. Tiada wajah lain selain keharuan yang bermata api dan kebencian gelap mendalam terhadap tindakan yang menyebabkan kedua sahabatnya mati dengan jasad memiriskan.

Patok nisan kedua sahabatnya itu seolah berubah menjelma teriakan-teriakan dari awan kelabu pilu di langit yang mengugurkan selebaran-selebaran kusam dengan noda bakar yang bertuliskan: “Balaskan Kematianku!”. Sorot mata si Kentir tidak kendor sama sekali meski butir air matanya tetap berontak untuk luruh ke bumi. Tangisan yang tanpa isak. Tanpa suara. Tanpa nada minor yang memuakkan! Hanya airmata belaka.

***
Beberapa bulan usai kericuhan di kediaman Kaji Subakhil, sudah ada tiga dari personil Gendheng-Songo tersebut yang membuka usahanya sendiri; tukang jual gorengan, penjaga angkringan kopi kecil, dan tukang sol sepatu keliling. Tentu dimodali Kang A’ang yaitu berasal dari upahnya yang pas-pasan sebagaimana gaji tukang PLN pada umumnya.

Dan sungguh suatu ketakjuban yang mencengangkan betul, hanya berkisar 3 tahun setelah itu, memasuki gerbang abad ke-21, para orang asuhan Kang A’ang kini sudah layak disebut sukses. Bahkan, sewafat Kang A’ang yang selalu terbingkai di lubuk-jiwa mereka, di ‘kampung-besar’ mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi—bahkan berani mempunyai lebih dari 30 parpol mengungguli negeri pencetusnya sekalipun—para orang gila (yang telah bermetamorfosis) tersebutlah yang mengasuh sekaligus mengayomi para orang-orang waras di ‘kampung-besar’ yang mengibakan ini.

Cerita belum berakhir hanya sampai di sini! Ada tragedi masygul di balik kematian Kang A’ang, pahlawan mereka. Kematian Kang A’ang, meski jasadnya tersenyum, namun senyum itu berkarat, membiru, dan akibat ulah pembunuh. Ia mati diracun seseorang yang belum diketahui dan polisi malas menyelidiki jika hanya dengan upah keihklasan dan terima kasih.

Para kru Gendheng-Songo lebih banyak yang tidak terima dan hati mereka jelas mengganjal jika belum terungkap. Kegilaan mereka kumat. Bisikan-bisikan berbau gosong dan busuk menyelisip di telinga mereka. Beberapa dari mereka yang sudah hidup mapan di kota besar luar Yogya, bahkan rela meninggalkan istrinya demi menyelidiki kasus biadab bin keparat itu. “Sesuci apa pun hati seorang anak malaikat, jika ada yang membunuh bapaknya, pasti tiada yang rela begitu saja!”
***

Duduklah kesembilan personel Gendheng-Songo dengan posisi melingkar, seperti hendak membedah suatu perkara yang serius setingkat pembahasan musyawarah Bathara Guru dengan para Ponokawan, yang dinahkodai Semar, tentang kesejahteraan dan keseimbangan Bumi Buana. Sedang di tengah ada sosok pria gondrong berkumis dengan posisi bersila tegak, menatap tak gentar para 'anak-anak titipan Tuhan' asuhan Kang A’ang yang kesemuanya dipersatukan kembali oleh kematiannya itu.

“Alangkah konyolnya roda kehidupan ini, banyak orang yang rela dipersatukan kembali hanya untuk menanyakan orang mati!” Pria gondrong itu menyeringai miris sambil menggelengkan kepalanya, tertawa yang sarat iba-kecewa.

“Seorang pembunuh yang sudah terkepung, tidak sepatutnya untuk banyak membuang ludahnya! Kau hanya buang-buang tenaga,” sergah salah satu yang paling bijak di antara Gendheng-Songo.

Pria gondrong berkumis itu, ialah si Kentir yang pulang dari Jakarta. Ialah anak Kaji Subakhil—yang gudangnya sempat diporak-porandakan oleh masyarakat. Ia tahu bahwa ada salah seorang dari Gendheng-Songo yang menjadi biang dari kericuhan di rumah bapaknya dahulu. Seketika, ia memutuskan untuk mendatangi pengasuhnya, Kang A’ang, untuk meminta penjelasan. 

Namun, setelah pertemuan kedua orang penting itu, Kang A’ang tanpa diketahui apa penyebab jelasnya, telah meninggal dunia dengan ukiran senyum. Gendheng-Songo yang mendengar kabar dari beberapa pihak tentang pertemuan Kang A’ang dengan si Kentir, sontak curiga kepadanya.

“Kau membunuh orang tua angkat kami! Pengasuh paling kami hormati!” teriak salah satu dengan mata yang sebetulnya masih sayu menahan pukulan kehilangan.

“A’ang-lah yang memutuskan kematiannya sendiri," timpal si Kentir datar.

“Kau layak mati, menyusulnya!”

“Silakan saja… Paling tidak, aku bisa mengunjungi dan ngobrol bersama kedua sabahatku yang sudah mendahului.” Sekali lagi seringai aneh itu timbul di wajahnya.

“Tapi…” sela si Kentir sebelum yang lain menghakimi, “Jika jasadku yang kalian bunuh itu menguarkan wangi sekar kenanga, jangan menyesal bahwa bukan akulah pelakunya.”

Sidang kesembilan Gendheng-Songo, dengan si Kentir sebagai tersangka, itu hening seketika. Tapi bisikan-bisikan itu—yang suara dan baunya nyaris sama dengan masa-masa ketika mereka gila—tetap membulatkan niat awal mereka. Keputusan ada di tangan mereka—yang masing-masing sudah memegang daun semanggi dan sekar Kenanga untuk pusara korbannya. 

Kedai Qiw-Qiw, 2017-2018

Madno Wanakuncoro, nama pena dari Muhammad Naufal Waliyuddin. Penulis yang gemar melukis, apalagi membaca. Suka kopi yang nggak banyak tingkah. Spesialis travelling tanpa rencana. Karya-karyanya tersebar di media baik cetak ataupun online. Tergabung sebagai Juru-Tulis dan Wicara sekaligus salah satu founding-fathers di Komunitas Sastra Wengi (KSW). Ketua Komunitas Sosial-Edukatif Sarung Jagad (2017-2018). Buku antologi puisinya; Sulaman Abjad Bengkok (2015), Mengeja Malam (2017). Situs pribadinya: www.wanakuncoro.wordpress.com Bila ingin diskusi atau apa saja, IG: @madno_wanakuncoro.


Terkait