Tak jauh dari pusat Kabupaten Tuban (2 Km ke selatan kota), terdapat dua makam penyebar Islam di Jawa generasi sebelum Walisongo, Sunan Bejagung Lor dan Kidul. Kedua makam, meskipun tidak dalam satu kompleks, namun masih masuk dalam satu lingkup Desa Bejagung Kecamatan Semanding<>
Kami berziarah ke tempat tersebut, usai melanjutkan perjalanan ziarah dari makam Maulana Ibrahim Asmoro Qondi, di Gesikharjo Palang Tuban, awal Lebaran lalu.
Menurut catatan sejarah, Sunan Bejagung Lor lebih sepuh dibanding Bejagung Kidul. Namun, karena kebingungan dengan rute kedua makam, kami justru sampai terlebih dahulu di Bejagung Kidul. Kami mengetahuinya karena di gapura makam terdapat tulisan besar pada sebuah plakat yang bertuliskan Makam Sunan Bejagung Kidul.
Tiba di sana, kami bertemu dengan Mudri, sang penjaga makam. Pria berkumis itu bercerita bahwa antara keduanya, Bejagung Lor dan Kidul, rupanya masih mempunyai ikatan keluarga, dimana Bejagung Kidul merupakan menantu dari Bejagung Lor. Dahulu sebelum pindah, Sunan Bejagung Lor juga tinggal di daerah kidul. “Pindahnya bersamaan dengan dipindahkannya masjid. Dulu di sana (sebelah timur makam) terdapat masjid yang didirikan Sunan Bejagung Lor,” kata Mudri.
Ketika berpindah atau uzlah itulah, ia menyerahkan misi dakwah di wilayah Bejagung Kidul kepada menantunya, Pangeran Kusumohadi. Konon, Pangeran Kusumohadi ini merupakan putra Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Ia pergi ke Bejagung untuk belajar agama Islam. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung, Kusumohadi berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin.
Pada akhirnya, Kusumohadi atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bejagung Kidul ini meneruskan dakwah ayah mertuanya, dan menetap di daerah Bejagung Kidul hingga wafatnya.
Sebetulnya, tak jauh dari kompleks makam Bejagung Kidul, juga terdapat Pondok Pesantren Sunan Bejagung. Entah ada kaitannya dengan sejarah Sunan Bejagung atau tidak, kami belum sempat mengetahuinya. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Bejagung Lor.
Bejagung Lor
Nama aslinya yakni Sayyid Abdullah Asy’ari. Ada pula yang menyebutnya Syarif Asy’ari Baidhowi. Namun, oleh masyarakat dia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Lor. Mbah Asy’ari adalah saudara Ibrahim Asmoro Qondi, yang keduanya merupakan putra Jamaluddin Al-Husaini (Sayyid Jumaddil Kubro). Oleh ayahnya, dia ditugaskan untuk berdakwah di daerah Kadipaten Tuban.
Kedatangan Abdullah Asy’ari di Tuban disambut baik Adipati Tuban Wilotikto. Sang Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meski pada saat itu dia belum bisa menerima islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa hormatnya kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah pardikan (kemerdekaan) di sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa Bejagung di Kecamatan Semanding. Di daerah inilah Syekh Maulana Abdullah Asy’ari mendirikan sebuah tempat untuk berdakwah.
Nama Desa Bejagung sendiri, menurut juru makam Bejagung Lor, Darmawan, terkait dengan salah satu karomah yang dimiliki oleh sang sunan. “Nama Bejagung diambil, saat Sunan mengisi buah Mojo dengan air yang agung (banyak), air dalam mojo yang kecil itu tidak habis diminum orang banyak,” kata Darmawan.
Adapula yang menyebutkan, dinamakan Bejagung karena Mbah Asy’ari juga seorang petani jagung. Sunan Bejagung kemudian berpindah ke sebelah utara (lor), sedangkan di daerah awal ia menetap diserahkan kepada Sunan Bejagung Kidul. Bersamaan dengan pindahnya, juga didirikan masjid yang sekarang terletak di timur makam.
Saat kami berziarah ke makamnya, terdapat beberapa pesan Sunan Bejagung yang tertulis di gapura masuk makam. Diantara pesan tersebut: Mobahing agama kasariring Nabi. Mobahing bumi kasektining pujonggo (berkembangnya agama karena Nabi, dan berkembang atau ramainya bumi karena kesaktian atau kepintaran penulis atau pengarang).
Di dalam kompleks makam terdapat banyak makam, yang ada di dalam makam para kerabat, sedangkan di luar makam santri sunan. Hampir setiap hari makam tersebut dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah. “Paling ramai kalau malam Jumat Wage, sedangkan Haul diperingati Kamis Pahing bulan Besar,” imbuhnya.
Ziarah ke makam dua wali ini juga memiliki tata cara tersendiri. Dermawan menuturkan hal tersebut sebagai ittiba’ (mengikuti) Kanjeng Nabi saw. “Setiap tamu yang akan bertemu nabi, harus menemui Ali dahulu,” ungkapnya. (Ajie Najmuddin/Amin)