Kader GP Ansor Jember Ini Sediakan Layanan Pendidikan Gratis
Jumat, 28 Agustus 2020 | 14:30 WIB
Jember, NU Online
Pendidikan merupakan hal penting bagi keberadaan suatu bangsa. Ibarat organ tubuh, pendidikan adalah jantung bagi kehidupan suatu bangsa. Jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh hingga manusia bisa hidup. Jika jantung sudah tidak berfungsi, maka denyut nadi akan berhenti berdetak, sehingga aliran darah macet.
Hal itu disadari oleh H Muhammad Hafidi. Sebab itu, mantan Sekretaris Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Jember, Jawa Timur ini mendirikan lembaga pendidikan gratis demi mengakomodasi anak-anak keluarga tidak mampu di daerahnya agar bisa mengakses pendidikan yang layak.
“Saya memang tak pernah memungut biaya apapun dari murid, karena niat saya memang untuk membantu pendidikan orang tak mampu,” ujarnya di Jember, Kamis (27/8).
Hafidi lahir di Jember, Jawa Timur 52 tahun lalu. Anak sulung empat bersaudara dari pasangan Kiai Kholis dan Hj Zuhriyyah ini, sejak dulu ingin membuka akses sekolah gratis.
“Saya masih ingat waktu SD, kalau saya lihat sekolah, di hati saya muncul keinginan untuk memiliki sekolah gratis, dan punya bus juga karena bus dulu barang langka,” ujar Hafidi, mengenang masa lalunya.
Keinginan Hafidi kini menjadi kenyataan. Tapi tentu apa yang dimiliki saat ini, tidak dicapai dengan bim salabim, namun melalui perjuangan panjang.
Sesungguhnya Hafidi melanjutkan peninggalan ayahnya. Saat masih hidup, sang ayah sempat mendirikan Madrasah Diniyah Bustanul Ulum (1968).
Bustanul adalah nama mushala, yang menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Islam Bustanul Ulum. Tahun 1974, Kiai Kholis mulai mendirikan lembaga pendidikan formal, Madrasah Ibtidaiyah (MI). Saat itu, Hafidi muda masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan, Sumenep, Madura.
Sempat stagnan, setelah ditinggal wafat Kiai Kholis, namun pesantren Islam Bustanul Ulum, kembali bangkit setelah Hafidi pulang kampung untuk meneruskan warisan sang ayah. Dengan semangatnya yang membaja, ia mulai membangun pesantren yang sudah menjadi puing-puing dan reruntuhan itu.
Di bawah besutan tangan dingin Hadidi, pelan-pelan pesantren menggeliat. Bahkan akhirnya berkembang cukup pesat. Tidak cukup hanya MI, ia kemudian membangun SMP IBU (2006), dan SMK IBU (2009).
Semua nama lembaga formal tersebut menggunakan embel-embel nama IBU. Yaitu akronim dari Islam Bustanul Ulum, karena memang pesantren dan semua lembaga di dalamnya dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam Busanul Ulum (YPIBU), yang berlokasi di Dusun Gempal, Desa/Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember. Saat ini jumlah santri dan murid YPIBU mencapai 4.350 orang.
Tapi bukan sekadar itu, nama IBU mempunyai filosofi yang tinggi. Ibu adalah sosok yang harus dihormati, doanya maqbul. Hafidi yakin kemajuan lembaga IBU saat ini tak lepas di doa para ibu wali murid, dan doa masyarakat semuanya. Sebab, niat Hafidi untuk mendirikan sekolah murni karena ingin membantu masyarakat, terutama kalangan tak mampu.
Selain itu, tentu karena doa pendiri pesantren, Kiai Kholis. Dialah yang merintis pesantren Islam Bustanul Ulum, dengan segala doa dan perjuangannya.
Santri dan murid yang menempuh pendidikan di YPIBU semuanya tidak dipungut biaya. Tidak hanya gratris, semua murid disediakan kendaraan transportasi untuk antar dan jemput murid.
Untuk keperluan itu, YPIBU menyediakan armada 12 bus full AC dan 1 minibus. Sejak pukul 06.30 WIB bus-bus itu sudah siap menjemput murid di titik kumpul, dan siang harinya juga mengantarkan murid-murid di titik kumpul semula.
Sedangkan dari sisi infrastruktur, YPIBU juga menyediakan klinik kesehatan umat (KKU), minimarket, beberapa laboratorium, bahkan ruang kelas terapung.
Selama ini muncul kesan bahwa yang gratis-gratis, pelayanannya tidak bagus, bahkan kerap dituding pengelolaannya sembarangan. Namun apa yang dilakukan oleh YPIBU, otomatis mematahkan kesan negatif itu. Pelayanannya bagus, kualitas pendidikan dijaga. Alumni SMK IBU juga banyak diterima di perusahaan terkenal, baik di Jawa maupun luar Jawa.
“Bagi saya, murid-murid adalah amanah. Saya tidak boleh menyembarangkan mereka. Mereka wajib kami layani secara maksimal. Orang tuanya sudah memasrahkan kepada kami agar anaknya pintar dan berakhlak mulia,” urai Hafidi.
Bagi sebagian orang, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar tanpa dipungut biaya nyaris tak masuk akal. Apalagi seperti yang terjadi di YPIBU. Sebab, guru dan karyawannya dibayar, belum lagi gaji sopir bus dan dan biaya solarnya.
“Tapi rezeki Allah itu memang kadang tidak masuk akal, tapi bisa terjadi,” katanya.
Hafidi termasuk sosok yang ulet. Selain mempunyai donatur tetap, juga ada donatur dadakan. Mereka adalah masyarakat di sekitar pesantren. Mereka merasa tidak keberatan menyumbang untuk YPIBU. Sebab, bukti gedungnya jelas, muridnya banyak, dan sebagainya. Selain itu, saat ini YPIBU mempunyai beberapa bus yang dikomersilkan, dan memang tidak ditaruh di pesantren.
“Ya kalau dipikir secara akal, memang tidak nutut. Tapi kita punya Allah,” jelasnya.
Hafidi telah berbuat sesuatu untuk dunia pendidikan, betapa pun kecilnya jika dibandingkan dengan luasnya negeri ini. Tapi paling tidak, ia telah berkontribusi dalam meringankan beban masyarakat untuk menempuh pendidikan yang layak demi menjaga agar jantung kehidupan bangsa tetap berdegup stabil.
Pewarta: Aryudi A Razaq
Editor: Fathoni Ahmad