Peran Besar Radio Rimba Raya Aceh dalam Kemerdekaan Republik Indonesia
Selasa, 16 Agustus 2022 | 06:52 WIB
Bireuen, NU Online
Aceh sebagai daerah modal bagi nusantara ini termasuk peran Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda Kedua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
"Radio Rimba Raya milik TNI Divisi X pimpinan Panglima Kolonel Hoessein Joesoef satu satunya pemancar radio di Aceh di masa agresi pertama dan kedua Belanda tahun 1947-1948. Pesawat radio rimba Raya ini merupakan buatan Amerika yang dibeli TNI Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah karo dari Singapura tahun 1947," ungkap Abah Iswadi pemerhati sejarah Aceh yang juga dosen IAIA Samalanga, Senin (15/8/2022).
Wakil Rais Syuriyah NU Bireuen itu mengatakan, pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, China, Urdu dan Arab.
"Pada Agresi Militer Belanda Kedua, seluruh pemancar milik RRI yang ada di sejumlah daerah hancur dibombardir oleh Belanda. Tentunya hal tersebut membuat komunikasi antarwilayah di Indonesia maupun antarnegara terputus. Kondisi tersebut tentunya dimanfaatkan oleh Belanda menggunakan pemancar radio berdaya 350 KW yang mereka miliki untuk menyebarkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia sudah berhasil mereka taklukan," lanjutnya.
Tokoh muda Nahdhiyin yang sempat diundang dalam acara seminar di berbagai daerah itu mengatakan, bukan berarti perlawanan menggunakan radio terhenti begitu saja. Berbekal pemancar radio yang berhasil diselundupkan dari Singapura (d/h Malaya), lahirlah Radio Rimba Raya. Sesuai dengan namanya, radio tersebut berada di tengah hutan belantara untuk menghindari serangan kembali oleh militer Belanda.
Abah Iswadi menambahkan bahwa Radio Rimba Raya yang pemancarnya ada di Bener Meriah, Aceh dengan siaran shortwave atau gelombang pendeknya tak berhenti menyuarakan bahwa Indonesia masih ada ketika Agresi Militer Belanda II.
"Siaran Radio Rimba Raya disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Siaran RRR inilah yang menjadi dasar digelarnya pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang akhirnya menyatakan bahwa Indonesia sepenuhnya berdaulat," ulasnya.
Tokoh yang juga mengajar di UNIKI Aceh itu menyebutkan Radio Rimba Raya merupakan penyelamat bagi Indonesia karena berhasil membantah pernyataan bahwa Indonesia menyerah kepada Belanda yang dilontarkan oleh Radio Hilversum Belanda.
"Radio Rimba Raya merupakan cikal bakal Stasiun Siaran Luar Negeri (SSLN) RRI/Voice of Indonesia (VOI). Baik Radio Rimba Raya maupun VOI mengudara dengan semangat yang sama, yakni menyuarakan eksistensi Indonesia ke seluruh dunia atau berperan sebagai agen diplomasi publik," ulas pimpinan Dayah LPI Nurul Arifah al-Aziziyah Bireuen itu.
Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Kendi Setiawan