Buku berjudul “Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia” ini adalah dokumentasi diskusi yang diselenggarakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya. Mereka menyelenggarakan diskusi ini untuk menyambut abad ke-15 Hijriah.
<>
Buku tersebut terbit pada Jumadil Awal 1400 H atau April 1980. Menurut almanak Hijriah, buku dan diskusi telah berumur 35 tahun atau 34 tahun menurut penanggalan Masehi. Apa yang menarik dari tema ‘Kebangkitan Umat Islam’ yang terangkum dalam buku tersebut? Saya punya dua jawaban, mungkin saja menarik.
Pertama, buku atau diskusi tersebut bicara Islam, Islam secara umum, besar, luas, lintas madzhab, politik, ataupun bangsa. Tersurat ataupun tersirat, semua pembicara dalam diskusi tersebut mengaku penyesalan umat Islam yang bertengkar tanpa akhir, kemunduran yang akut, wawasan yang sempit, pergaulan yang terbatas. Mereka bilang, memasuki abad ke-15 ini, umat Islam akan kembali bangkit, jaya, dan menang.
Tetapi bagi saya, setelah abad ke-15 ini berjalan 35 tahun, utamanya di dalam dunia politik, Islam masih kelam. Kenapa? Ya karena negara-negara Muslim masih begitu. Begitu kenapa? Ya begitu. Mesir, Arab Saudi, Irak, Palestina, Sudan, Banglades, Libia, dan lain-lain, masih begitu. Mereka tenang sebentar beberapa belas tahun. Sekarang? Tersuruk. Bunung-membunuh, hina-menghina, cekal-mencekal, sudah biasa. Kenyamanan berbeda madzhab di negeri-negeri itu saja seperti ilusif, apalagi politik.
Kedua, buku ini mencatat pernyataan al-magfurlah KH Ahmad Siddiq tentang “jama’ah”. Beliau mengatakan jama’ah itu soko guru NU. Kiai Ahmad Siddiq menlontarkan pernyataan tersebut ketika menjadi moderator dan mengantarkan sebelum al-magfurlah KH Saifuddin Zuhri menyampaikan materinya.
“....tentu nanti akan diungkapkan secara keseluruhan, baik NU sebagai jam’iyah, sebagai wadah yang lahir pada tahun 1926, maupun NU sebagai jama’ah yang lebih dulu lahirnya daripada wadah itu sendiri. Dan jama’ahlah yang menjadi soko gurunya NU.”
Begitu yang dilontarkan Kiai Ahmad Siddiq, mantan Rais Aam PBNU. Tak ada penjelasan lebih lanjut atas pernyataan itu, mungkin karena beliau hanya duduk sebagai moderator. Tetapi, saat ini, mengulas dan merefleksikan NU secara ‘jama’ah’ ini penting dilakukan. Di tengah-tengah semangatnya orang NU menguatkan jam’iyah, secara bersamaan, terdengar nada-nada, gurauan-guruan, bahkan lontaran-lontaran dalam podium resmi, yang menyepelekan jama’ah.
Terjadi semacam stereotif terhadap jama’ah: tidak teratur, kelas bawah, tidak disiplin, mbalelo. Bahkan suka terdengar, bagi warga NU yang begini dan begitu, oleh kalangan tertentu dianggap keluar dari NU, alias tidak NU lagi.
Itulah selintas sorotan saya dalam buku tersebut. Poin pertama memang menjadi tema dalam diskusi berjudul “Perkembangan dan perjuangan Umat Islam Dunia” dengan pembicara KH Ahmad Syaikhu dan Dr. H. Ruslam Abdulgani dengan moderator H.M. Chalid Mawardi.
Sementara poin kedua yang saya sampaikan di atas, dalam buku atau diskusi tersebut cuma “kembang-kembangnya” moderator, bukan sajian utama berjudul “Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air”, dengan pembicara KH Saifuddin Zuhri dan KH Usman Mansur.
Dua poin itulah yang patut kita refleksikan hari ini, setelah buku tersebut dilupakan, setelah pembicara sudah banyak yang wafat, setelah abad ke-15 H memasuki lebih dari sepertiga abad. Adakah kebangkitan umat Islam jika antargolongan baku bunuh? Apakah NU punya peran, sementara pandangan terhadap jama’ahnya saja begitu? (Hamzah Sahal)