Keputusan-Keputusan Penting dalam Sejarah Munas Alim Ulama NU
Rabu, 13 September 2023 | 08:30 WIB
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama merupakan forum tertinggi setelah Muktamar dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) NU hasil Muktamar Ke-34 NU tahun 2021 di Lampung, disebutkan bahwa Munas digelar paling tidak dua kali dalam satu kali masa khidmah kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Forum ini secara khusus membahas persoalan keagamaan yang diikuti oleh pengurus NU, pengasuh pesantren, maupun ulama, dan para ahli di bidangnya.
Munas ini sudah dilaksanakan 14 kali sejak pertama digelar di Yogyakarta pada tahun 1981 sampai terakhir di Jakarta pada tahun 2021. Setiap forum Munas menghasilkan keputusan-keputusan penting bidang keagamaan di masanya.
1. Munas 1981 Kukuhkan KH Ali Maksum sebagai Rais 'Aam
Munas Alim Ulama NU dilaksanakan untuk kali pertama pada tahun 1981, tepatnya 30 Syawal 1401-3 Dzulqadah 1401 H / 30 Agustus–2 September 1981 M di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Di Munas ini, KH Ali Maksum dikukuhkan sebagai Rais Aam PBNU menggantikan KH Bisri Syansuri yang wafat pada tahun 1980.
H Abdul Basit Adnan dalam Kemelut antara Kyai dan Politisi (1982), mencatat bahwa terdapat dua pandangan terhadap persoalan pengukuhan rais aam setelah Kiai Bisri wafat. Pendapat pertama berpegang pada hasil keputusan Muktamar Ke-26 NU di Semarang Tahun 1979 yang telah memilih rais 'aam, ketua umum, dan seluruh jajarannya. Karena rais aam wafat, peserta munas ini tinggal mengesahkan sebagaimana kesepakatan empat fungsionaris yang menyetujui wakil Rais 'Aam KH Anwar Musaddad diangkat menjadi Rais 'Aam.
Sementara itu, pendapat kedua menolak karena para formatur tidak mempunyai wewenang mengangkat rais aam mengingat posisi tersebut merupakan hasil pilihan muktamar. Karenanya, kelompok kedua ini menghendaki adanya pemilihan baru.
Pada akhirnya, peserta Munas Alim Ulama NU saat itu memilih KH Ali Maksum sebagai rais aam PBNU untuk melanjutkan kepemimpinan Kiai Bisri.
Tidak kalah pentingnya, Munas Alim Ulama NU pertama itu juga membahas berbagai persoalan keagamaan berkaitan dengan bayi tabung yang mulai marak dan cangkok anggota tubuh, seperti cangkok mata, bank mata, cangkok ginjal dan jantung.
Perihal bayi tabung ini boleh dilakukan jika mani yang ditabung adalah milik suami istri yang dikeluarkan secara muhtaram serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya. Sementara perihal cangkok mata, jantung, dan ginjal boleh dilakukan jika memenuhi empat syarat, yakni (1) dibutuhkan; (2) tidak ditemukan selain tubuh manusia; (3) matanya dari mayit yang muhaddaraddam, dan (4) penerima dan pencangkok seagama.
2. Munas 1983: Khittah dan Asas Tunggal Pancasila
Munas Alim Ulama NU kedua diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur asuhan KH R As’ad Syamsul Arifin. Munas kedua ini digelar pada 13-16 Rabiul Awal 1404 H / 18-21 Desember 1983 M.
Dalam catatan Mitsuo Nakamura, ada tiga keputusan yang paling penting yang dihasilkan dari Munas yang diketuai Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Katib Aam. Tiga keputusan itu adalah (1) pemulihan khittah NU 1926, (2) deklarasi hubungan Pancasila dan Islam, serta (3) rekomendasi larangan perangkapan jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. (Krisis Kepemimpinan NU dan Pencarian Identitas Awal 80-an: Dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo 1984 dalam Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997).
Sedikit berbeda, KH Abdul Muchith Muzadi menyebut ada dua keputusan penting yang ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU Tahun 1983 sebagaimana disebutkan dalam bukunya, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran: Refleksi 65 Tahun Ikut NU, Surabaya: Khalista, 2007).
Pertama, penjernihan kembali pandangan dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan Mukadimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali kepada khittah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khittah NU 1926.
3. Munas 1987: dari wukuf, zakat, hingga koperasi
Munas Alim Ulama NU berikutnya dilaksanakan di Pondok Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah pada 23-26 Rabiul Awal 1408 H / 15-18 November 1987 M.
Munas ini memutuskan bahwa penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha oleh qadli atau penguasa yang diberlakukan kepada masyarakat harus didasarkan pada rukyatul hilal atau istikmal. Para ulama NU juga menetapkan tidak membedakan mathla’ dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Hal lain yang diputuskan berkaitan itu adalah bahwa rukyatul hilal merupakan fardu kifayah menurut seluruh mazhab, kecuali Hanbali yang menghukuminya sunnah. (Ahkamul Fuqaha: 2019)
4. Munas 1992: Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam
Munas Alim Ulama NU keempat ini dilaksanakan di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H / 21-25 Januari 1992 M.
Disebutkan dalam Ensiklopedia NU (2014), Munas di Lampung ini melahirkan sistem pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU yang memberikan ruang kepada pola metodologis (manhaji). Sebelumnya, keputusan bahtsul masail di lingkungan NU hanya berpatokan pada pandangan-pandangan teks (qauli) terbatas pada ulama mazhab Syafi’i saja.
5. Munas 1997: Demonstrasi Boleh dengan Syarat
Munas Alim Ulama NU berikutnya digelar di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 16-20 Rajab 1418 H / 17-20 November 1997 M.
Munas ini membahas persoalan demonstrasi atau unjuk rasa yang saat itu Tengah marak menyusul situasi politik dan ekonomi yang memanas. Para ulama menyepakati bahwa berdemonstrasi mengemukakan pendapat adalah hal yang boleh dilakukan dengan tiga syarat, yakni (1) tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar; (2) tidak ada jalan lain seperti musyawarah dan lobi; serta (3) dilakukan dengan penjelasan dan nasihat. (Ahkamul Fuqaha: 2019)
6. Munas 2002: Koruptor Dihukum Mati
Munas Alim Ulama NU pertama di era kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi digelar di Asrama Haji Pondok Gede, DKI Jakarta, 14-17 Rabiul Akhir 1423 H / 25-28 Juli 2002 M.
Di komisi maudhuiyah, Munas ini membahas korupsi dalam kacamata syariah dan hukuman bagi koruptor. Munas ini secara tegas menetapkan bahwa hukuman yang layak bagi koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati. (Ahkamul Fuqaha: 2019)
7. Munas 2006: Meresmikan Tempat Ibadah Agama Lain Haram
Munas Alim Ulama NU ketiga di masa kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi dilaksanakan di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, pada 2-5 Rajab 1427 H / 27-30 Juli 2006 M dan dilanjutkan di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta pada 21-22 Rajab 1427 H / 16 Agustus 2006 M.
Di munas ini, para kiai memutuskan bahwa meresmikan tempat ibadah agama lain adalah haram. Hal demikian terkecuali bagi seorang Muslim yang karena terpaksa dalam pandangan syariat dengan hati yang tetap beriman.
8. Munas 2012: Tinjau Ulang Pilkada
Munas Alim Ulama NU di awal masa kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siroj dilaksanakan di Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada 29 Syawwal - 1 Dzulqadah 1433 H / 15-17 September 2012 M.
Dalam Munas ini, para kiai meminta agar pemerintah meninjau kembali penerapan Pemilihan umum kepala daerah. Hal ini dilatari bahwa mafsadah yang ditimbulkan sudah nyata terjadi, sedangkan kemaslahatannya lebih sering semu. Mafsadah yang muncul seperti politik uang, biaya yang mahal bagi negara dan kandidat, dan berpotensi adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
9. Munas 2014: Aborsi dan Khilafah
Munas Alim Ulama NU 2014 ini dilaksanakan di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta pada 8-9 Muharram 1436 H / 1-2 November 2014 M.
Munas ini memutuskan bahwa aborsi adalah haram kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam ibu dan/atau janin berdasarkan pertimbangan medis dari dokter ahli. Pun abborsi akibat perkosaan juga haram. Namun, sebagian ulama membolehkan sebelum janin berusia 40 hari terhitung sejak pembuahan dengan melihat dari hari pertama haid terakhir.
Sementara dalam persoalan khilafah, para ulama NU memutuskan itu sebagai fakta sejarah di era kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun. Sementara di era negara bangsa saat ini, khilafah kehilangan relevansinya. Karenanya, NKRI harus dipertahankan dan diperkuat keutuhannya oleh seluruh elemen bangsa, tidak malah terjebak pada symbol dan formalitas nama yang tampaknya Islami.
10. Munas 2017: Konsep Fiqih Disabilitas
Setelah 20 tahun penyelenggaraan Munas Alim Ulama NU di tahun 1997, kegiatan yang sama digelar kembali di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 4-6 Rabiul Awal 1439 H / 23-25 November 2017 M.
Munas ini memutuskan satu konsep fiqih bagi penyandang disabilitas. Para ulama NU menegaskan bahwa negara wajib hadir untuk memenuhi fasilitas bagi penyandang disabilitas mengingat mereka juga memiliki kewajiban yang sama dalam agama.
11. Munas 2019: Status Non-Muslim dalam Negara Bangsa
Di masa kepemimpinan KH Miftachul Akhyar dan KH Said Aqil Siroj, Munas Alim Ulama dilaksanakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 22-24 Jumadil Akhir 1440 H / 27 Februari-1 Maret 2019 M.
Munas ini memutuskan sebuah konsep kewarganegaraan dalam konteks negara bangsa saat ini. Para kiai menetapkan bahwa non-Muslim dalam konteks negara bangsa saat ini tidaklah tergolong dalam kafir muahad, musta’man, dzimmi, ataupun harbi. Mereka adalah warga negara yang sama dan setara dengan kewajiban dan hak yang tak berbeda pula.
12. Munas 2021: penarikan pajak karbon
Munas Alim Ulama NU kedua dalam kepemimpinan Kiai Miftach dan Kiai Said digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta , 17-18 Safar 1443 H / 25-26 September 2021 M.
Munas ini memutuskan untuk mendukung perdagangan dan perpajakan karbon. Hal ini mengingat dampak signifikan yang diakibatkan dari karbon terhadap lingkungan. Penarikan pajak ini sebagai beban kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari karbon itu dan upaya untuk pelestarian lingkungan, serta pembangunan.