Mbah Sabil masyhur sebagai sosok sokoguru dan pembangun peradaban Islam di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Berikut manaqib lengkap Mbah Sabil yang didapat dari wawancara, manuskrip, data sejarah, hingga bukti-bukti ilmiah.
Nama Mbah Sabil identik dengan kawasan Islam sepuh yang berada di sudut barat Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Kuncen, Kecamatan Padangan. Kawasan ini juga masyhur sebagai tlatah para aulia, saking banyaknya waliyullah periode pasca-Wali Songo, yang disemayamkan di sana.
Mbah Sabil merupakan keturunan Pajang yang hidup di era periode pertama Kesultanan Mataram Islam. Kita tahu, Kesultanan Mataram Islam memiliki 4 periode. Masa hidup Mbah Sabil adalah periode pertama Kesultanan Mataram, atau transisi dari Pajang ke Mataram.
Dalam catatan sejarah, periode Kesultanan Pajang adalah (1568-1587). Sementara era transisi dari zaman Pajang ke zaman Mataram, atau periode pertama Kesultanan Mataram Islam, adalah (1586-1613). Di era inilah, Mbah Sabil datang ke Kuncen Padangan.
Mbah Sabil tercatat datang ke Kuncen Padangan pada awal dekade abad ke-17 (1600). Kedatangan beliau ke Kuncen Padangan, selain pelarian dari kejaran Belanda, juga dalam rangka perjalanan menuju almameternya, Pondok Ampel Denta Surabaya.
Di Kuncen Padangan, Mbah Sabil menyebarkan Islam dengan cara membangun peradaban. Baik secara konsolidasi keilmuan (membangun pesantren), maupun konsolidasi genealogis (membangun keluarga). Ini alasan Mbah Sabil menjadikan Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Nglirip Tuban sebagai menantunya.
Selain sebagai penyebar Islam, Mbah Sabil juga magnet yang mengundang ulama untuk datang dan membangun koneksi, baik secara keilmuan ataupun genealogi. Selain Mbah Sambu Lasem dan Mbah Abdul Jabbar Nglirip, ada banyak ulama besar yang membangun koneksi di tlatah Kuncen Padangan.
Ini terbukti dengan banyaknya makam aulia di Kecamatan Padangan yang masih banyak diziarahi hingga hari ini. Diantara nama-nama yang terkenal; Mbah Nursalim (Mbah Jimat), Mbah Abdurrohman Goco, Sayyid Abdurrohman Hasyim Basyaiban, Mbah Matsuni Tinggang, Mbah Kamaluddin, Mbah Tanggono Pura, Sayyid Abu Bakar Alaydrus, Mbah Syahiddin, hingga Mbah Syihabuddin.
Daftar nama tersebut, belum termasuk waliyullah yang sudah masyhur seperti; Mbah Abdurrohman Klothok, Mbah Abu Syukur Tinggang, Mbah Munada Kuncen, Mbah Ahmad Rowobayan, Mbah Hasyim Jalakan, Mbah Munada Bringan, Mbah Abdul Qodir Bringan, Mbah Hasyim Jalakan, Mbah Abdul Hadi Padangan, hingga Mbah Ahmad Basyir Pethak.
Untuk diketahui, di tempat dan kawasan yang sama, juga terdapat makam-makam aulia seperti Mbah Zarkasyi (ayah KH Mustajab Gedongsari Nganjuk), Mbah Kaji Mukmin (ayah KH Zaenuddin Mojosari Nganjuk), Mbah Asnawi (ayah mertua KH Hasyim Padangan), hingga Mbah Murtadlo (kakek KH Muslich Tanggir).
Nama-nama disebut di atas, belum termasuk makam ulama yang belum teridentifikasi identitasnya, tapi sudah sering diziarahi masyarakat. Makam ulama dengan kategori ini pun, di Padangan, jumlahnya cukup banyak dan tak bisa dihitung jari. Ini alasan Padangan dijuluki "Tlatah Aulia" dan "Segorone Kiai".
Masyhur Syaikhina Maimoen Zubair pernah bercerita, bahwa Kuncen Padangan merupakan Lemah Sepuh. Tempat para ulama khowas. Sebab, di tiap langkah dan tatapan mata, Mbah Moen berjumpa ulama khowas. Itu terjadi saat Mbah Moen berkunjung ke Kuncen pada 1945 silam. Saat usia Mbah Moen 17 tahun.
Kesaksian Mbah Moen ini masyhur di kalangan santri Kuncen. Saya mendapat kisah kekaguman Mbah Moen pada Kuncen Padangan tersebut secara langsung dari kiai saya, K.M Arifin Mustaghfiri. Kiai saya adalah santri langsung Mbah Maimoen Zubair. Kiai saya mendapat kisah itu dari Mbah Moen sendiri, saat beliau mondok di Sarang.
Nasab Mbah Sabil Padangan
Syekh Sabillah atau Mbah Menak atau Mbah Sabil, memiliki nama lain Pangeran Adiningrat Kusumo, diperkirakan hidup pada (1578-1650). Ada dua ranji silsilah membahas Mbah Sabil. Silsilah yang Merujuk Brawijaya dan silsilah yang Merujuk Maulana Jamaluddin Akbar.
Dalam silsilah Brawijaya, nasabnya: Pangeran Sabil bin Panembahan Senopati bin Ki Ageng Pemanahan bin Ki Ageng Henis bin Ki Ageng Selo (Kiai Ngabdulrokhim) bin Ki Ageng Getas Pendowo bin Raden Bondan Kajawan bin Prabu Brawijaya V.
Sementara dalam silsilah Jamaluddin Akbar, nasabnya: Pangeran Sabil bin Sultan Hadiwijaya (Sayyid Abdurrohman) bin Kebo Kenongo (Sayyid Abdullah Syihabuddin) bin Maulana Ishaq bin Maulana Jamaluddin Akbar.
Hal ini sesuai catatan silsilah dalam buku berjudul _Napak Tilas Auliya Mataram_ karya KH Djamaluddin Ahmad Jombang. Dalam buku tersebut dijelaskan, Imam Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih memiliki putra bernama Sayyid Abdullah Azmathkhan, berputra Sayyid Ahmad Syahjalal, dan berputra Maulana Jamaluddin Akbar Al Husein.
Jamaluddin Akbar Al Husein, memiliki 4 orang anak. Diantaranya; Maulana Ishaq, Maulana Ibrohim Asmoroqondi, Maulana Ali Nuruddin (Nurul Alim), dan Maulana Zainul Barokat (Zainul Alam).
Maulana Ishaq menikah beberapa kali. Dari pernikahan pertama, beliau menurunkan anak bernama Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Sementara dari pernikahan kedua, beliau menurunkan 3 anak; Maulana Abdul Qodir (Syekh Dzatul Kafi), Sayyidah Shufiyah (istri Sunan Drajad), dan Maulana Abdullah Syihabuddin (Kebo Kenongo).
Dari Maulana Abdullah Syihabuddin (Kebo Kenongo) inilah, Sayyid Abdurrohman (Mas Karebet) lahir. Kelak, Mas Karebet dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya, Sultan Pajang pertama. Dari Sultan Hadiwijaya inilah, nama-nama seperti Benowo I, Benowo II, dan Adiningrat Kusumo (Mbah Sabil) dilahirkan.
Kiai Furqon Azmi, salah satu dzuriyah Mbah Sabil mengatakan, terkait jalur nasab dan nama-nama tersebut, selain berdasar data manuskrip yang disimpan dzuriyah, juga ditashih secara langsung oleh Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan. Sehingga, masing-masing data memiliki kredibilitas sumber yang kuat.
Sanad Keilmuan Mbah Sabil
Selain belajar pada ayahnya, Mbah Sabil juga pernah belajar di Ampel Denta Surabaya. Sebuah lembaga yang didirikan Sunan Ampel Surabaya untuk menggodok para calon raja Islam. Ampel Denta semacam kawah candradimuka bagi para calon raja Islam di Pulau Jawa.
Menurut KH Agus Sunyoto dalam buku Sunan Ampel Raja Surabaya (2004), dijelaskan bahwa kader didikan Sunan Ampel, menunjukan kecenderungan banyak yang jadi raja kerajaan, seperti Prabu Satmata (Raja Giri Kedaton), Raden Patah (Adipati Demak), dan Raden Kusen (Adipati Terung).
Dari data itu, menunjukan bahwa Ampel Denta kala itu, tempat yang lebih dari sekadar pesantren biasa. Sebab, menurut Agus Sunyoto, tak pernah ditemukan reruntuhan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, santri-santri Sunan Ampel justru terbukti banyak yang jadi raja dan imam berbagai kesultanan.
Sebagai keturunan raja, Mbah Sabil pantas nyantri dan belajar di sana. Hanya, terkait periodisasi tahun belajar, tentu tak di zaman Sunan Ampel secara langsung. Sebab, jarak usia Mbah Sabil dan Sunan Ampel terpaut terlalu jauh. Sunan Ampel wafat pada 1481 masehi. Mbah Sabil wafat circa 1650 masehi.
Kedatangan di Kuncen Padangan
Kedatangan Mbah Sabil ke Kuncen, bermula dari perjalanan beliau dari Pajang menuju almameternya: Ampel Denta, untuk menghindari kejaran Belanda. Di tengah perjalanan, beliau dihentikan oleh Katib Hasyim. Mbah Hasyim seperti tahu jika Mbah Sabil bukan orang biasa. Karenanya, diajak berhenti untuk bersama-sama menyebarkan agama Islam.
Mbah Hasyim merupakan sosok penting yang meminta Mbah Sabil menghentikan perjalanan dan mengajaknya berdakwah di tempat yang kelak dikenal dengan nama Kuncen Padangan. Dengan peran semacam itu, tentu Mbah Hasyim bukan orang sembarangan.
Sayangnya, tak banyak riwayat mengenai sosok Mbah Hasyim. Dalam Manuskrip Padangan, tertulis Mbah Hasyim adalah kiai dan katib yang sudah terlebih dahulu berada di Kuncen Padangan, sebelum Mbah Sabil datang. Di tempat tersebut, Mbah Hasyim menyebarkan Islam dengan mendirikan sebuah musala.
Kedatangan Mbah Sabil, secara otomatis, membuat gerak persebaran Islam di Kuncen Padangan kian membesar dan berkecambah. Kuncen jadi jujukan para penuntut ilmu dan para ulama, bahkan menjadi tlatah para aulia. Banyak nama ulama besar, kelak lahir dan tumbuh di sudut barat Kabupaten Bojonegoro itu.
Karena itu, secara falsafi, nama Kuncen Padangan bersanding pada dua kata, yakni "kunci", tempat dikuncinya (dihentikannya) perjalanan Mbah Sabil. Dan "Pepadang" yang artinya sumber cahaya. Sebab, dari tempat itu, kelak cahaya Islam dipancarkan ke penjuru arah mata.
Manuskrip yang berada di kompleks makam Menak Anggrung yang berisi informasi pemindahan makam dan renovasi.
Mendirikan Menak Anggrung
Di Desa Kuncen, Mbah Sabil dan Mbah Hasyim menjadikan mushala yang semula kecil, dibangun menjadi lebih besar dan bisa digunakan untuk shalat Jumat, merangkap sebagai sebuah pondok pesantren. Lokasi pondok itu berada di Kuncen sebelah utara, kira-kira ke arah timur-laut dari Tugu Pahlawan Kuncen. Tempat itu, saat ini sudah tergerus menjadi aliran sungai.
Lokasi pondok pesantren Mbah Sabil berada tepat di tepi bantaran Bengawan Solo. Posisi geografisnya agak naik keatas (menek) dan tampak magrung-magrung (besar). Ini alasan kenapa pondok ini dikenal dengan nama Menak Anggrung. Menak Anggrung diperkirakan berdiri pada awal dekade abad ke-17 (1600-1610 m).
Di Menak Anggrung, Mbah Sabil mengajar dan Mbah Hasyim mengelola pondok. Mbah Hasyim juga ikut membantu Mbah Sabil mengajar santri. Banyak santri berdatangan untuk menuntut ilmu. Kelak, Menak Anggrung dikenal sebagai kawah candradimuka para pesuluk cahaya.
Dari Menak Anggrung, lahir santri-santri kinasih seperti Mbah Kamaluddin, Mbah Abdurrohman Awal, Mbah Jenuddin, hingga Mbah Moyomuddin. Santri-santri itu, kelak berdakwah dan menjadi ulama di Kuncen Padangan pada abad ke-18 (periode 1700 masehi). Selain dikenal wali keramat, santri-santri Menak Anggrung juga masyhur memiliki khodam binatang buas.
Dari sejumlah santri tersebut, sanad ideologis Mbah Sabil terus hidup dan menyebar musalsal hingga generasi seterusnya. Dari para santri Menak Anggrung itu pula, peradaban Islam di Kuncen terus tumbuh bersinambungan dari zaman ke zaman.
Mbah Sabil dan Mbah Hasyim, kelak dikenal dengan sebutan Mbah Menak Anggrung. Makam beliau berdua juga berdampingan. Makam tersebut dikenal dengan nama makam Menak Anggrung Kuncen Padangan.
Sayangnya, Pondok Menak Angrung tak meninggalkan sisa reruntuhan. Sebab, tergerus aliran sungai. Bahkan, makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim (Makam Menak Anggrung) sempat dipindah sebanyak 3 kali, untuk menghindari longsor bantaran sungai.
Untuk diketahui, pemindahan makam pertama dan kedua masih terancam longsor bantaran sungai. Hingga akhirnya, para pemuka agama dan mursyid kala itu (KH Abdurrohman Rowobayan dan KH Muntaha Mbaru), memindah makam untuk ketiga kalinya di jantung kota Kuncen Padangan pada 3 Maret 1950.
Lokasi pemindahan makam yang ketiga kali ini, dikenal dengan nama Alun-alun Conthong, pusat kota Kuncen Padangan. Sampai hari ini, makam tersebut masih terjaga di tempat tersebut. Saat ini, lokasi Alun-alun Conthong berada di sebelah kantor desa Kuncen Padangan.
Meski Pondok Menak Anggrung sudah tak ada, atmosfer keramat masih ada hingga saat ini. Masyhur di sekitaran lokasi pondok Menak Anggrung, tak bisa ditempati birokrat jahat, dan tak pernah bisa dihuni orang berhati sombong. Itu yang menjadikan sudut Desa Kuncen masyhur Tanah Keramat. Hal ini sudah jadi konsensus dan ijma bagi para ulama di Kuncen, dari zaman ke zaman.
Sebenarnya, sangat banyak folklor tentang Tanah Keramat di Kuncen, yang hingga saat ini masih diyakini keberadaannya. Namun, dalam tulisan ini, saya ingin memberi garis tegas pada perihal yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Sehingga, tulisan bisa fokus pada manaqib dan tak melebar kemana-mana.
Dzuriyah Mbah Sabil
Selain mengasuh pesantren Menak Anggrung, Mbah Sabil Kuncen juga membangun konsolidasi genealogis dengan Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Nglirip. Mbah Sambu maupun Mbah Jabbar, merupakan anak menantu dari Mbah Sabil. Hubungan kekeluargaan ini, tentu untuk memperkuat persebaran agama Islam di pulau jawa.
Dalam Manuskrip Padangan, dijelaskan Mbah Sabil memiliki 4 orang anak. Anak pertama bernama Kiai Sabat. Anak kedua Mbah Sabil adalah istri Mbah Sambu Lasem. Anak ketiga Mbah Sabil adalah istri Mbah Jabbar Nglirip. Sementara anak keempat Mbah Sabil bernama Bagus Abdurrokhim berdakwah di Kasiman.
Anak kedua Mbah Sabil dinikah Mbah Sambu Lasem, dan hidup di Kauman Lasem. Darinya, kelak muncul banyak ulama Lasem. Diantara yang terkenal, tentu saja KH Muhammad Shidiq Jember yang melahirkan Bani Shidiq: KH Mahfudz Shidiq, KH Ahmad Qusyairi Shidiq, Nyai Hajah Rokhanah (ibu Mbah Hamid Pasuruan), KH Ahmad Shidiq dll.
Anak ketiga Mbah Sabil yang dinikah Mbah Abdul Jabbar, kelak juga menurunkan banyak ulama. Diantara yang terkenal, tentu saja: Kiai Anom Abdul Jabbar, KH Qomarudin Bungah Gresik, KH Ishaq Rengel Tuban. Selain manuskrip Padangan, manuskrip Gresik juga menyatakan demikian.
Anak pertama Mbah Sabil yang bernama Kiai Sabat, adalah leluhur para ulama yang ada di Kuncen Padangan. Sementara anak keempat Mbah Sabil yang bernama Bagus Abdurrokhim menjadi leluhur ulama di daerah Kasiman, Cepu, dan sekitarnya.
Mbah Sabil disebut sebagai sokoguru peradaban Islam di Kuncen, Padangan, dan Kabupaten Bojonegoro. Sebab, selain menyebarkan agama Islam, beliau juga membangun atmosfer keislaman melalui konsep keilmuan dan genealogi kekeluargaan.
Dari Mbah Sabil, Mbah Hasyim, dan pondok pesantren Menak Anggrung inilah, kelak, banyak ulama besar yang lahir dan menjadi penyebar agama Islam di Kabupaten Bojonegoro. Bahkan, tak sedikit dzuriah Mbah Sabil yang jadi penyebar agama Islam di luar Kabupaten Bojonegoro.
Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"
Catatan: artikel ini mengalami perbaikan pada subjudul "Nasab Mbah Sabil Padangan" pada 17 Mei 2022.