KH Abdul Wahab Chasbullah kala memimpin sidang Fraksi NU di Dewan Konstituante. (Foto: Twitter @komunitas_pegon)
Nahdlatul Ulama (NU) pernah manahbiskan diri menjadi partai politik pada 1952 dalam kontestasi demokrasi di Republik Indonesia, sebelum akhirnya kembali ke khittah NU 1926 pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur pada 1984. Di bawah komando KH Abdul Wahab Chasbullah, peran-peran partai NU berhasil memperkuat demokrasi Pancasila di tengah rongrongan komunisme yang dibawa PKI dan konservatisme yang dibawa oleh Masyumi.
Seperti pada peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mendorong RI untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Peristiwa itu menandai berakhirnya sistem Demokrasi Liberal dan kembali kepada sistem Demokrasi Pancasila. Dalam peristiwa bersejarah itu Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam memberikan solusi, saat bangsa ini menghadapi kebuntuan, sehingga Bung Karno dengan tegas mengeluarkan dekrit itu.
Persidangan Konstituante yang dimulai 10 November 1956 itu berjalan dengan lancar, sehingga ada beberapa pasal telah diselesaikan. Tetapi saat memasuki pembahasan dasar negara antara tahun 1957-1959 terjadi perdebatan alot antara kelompok pro-Islam dengan kelompok pro-Pancasila sebagai dasar negara. Sebenarnya, NU telah melihat persoalan ini akan mengalami kebuntuan. Oleh karena itu, ketika pemerintah secara tertulis mengirim surat pada Ketua Konstituante untuk kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang disampaikan pada 19 Februari 1959, NU mulai mengkajinya.
Abdul Muni’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menjelaskan, pada sebuah rapat internal NU pada 20 Februari 1959 menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila Islam, bukan Pancasila ala Komunis, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta. Pandangan resmi NU itu disusun secara rapi kemudian disuarakan oleh KH Saifuddin Zuhri secara resmi di dalam Sidang Konstituante pada Senin 4 Mei 1959, sebuah usulan jalan keluar dari kebuntuan konstitusi yang sudah terjadi beberapa tahun.
Usulan NU itu ditanggapi sangat positif dari kubu yang berseberangan, baik dari kubu Masyumi seperti yang disampaikan oleh KH Kahar Muzakkar, maupun dari Fraksi PKI seperti yang disampaikan oleh Ir Sakirman, yang intinya setuju dengan Islam Pancasila sebagaimana diusulkan NU.
Sayangnya usulan itu tidak segera dijadikan keputusan, sehingga jalan tengah yang ditawarkan itu lewat begitu saja. Melihat kenyataan itu, pada 22 April Presiden mengambil langkah untuk mengatasi kebuntuan itu dengan mendatangi Sidang Konstituante dengan mendesak agar kembali ke UUD 1945.
Dengan demikian juga berarti kembali menempatkan Pancasila sebagai dasar negara seperti semula, tanpa ada amandemen sedikit pun baik pada mukadimah dan batang tubuh, sebagaimana yang dikehendaki kalangan Islam yang menghendaki kembali ke UUD 1945 dengan disertai amandemen.
KH Idham Chalid sebagai pimpinan NU saat itu telah menyetujui langkah kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, hanya saja fraksi Islam yang lain di Konstituante memiliki pilihan berbeda, yaitu pada 26 Mei 1959 kelompok Fraksi Islam mengajukan amandemen UUD 1945. Akhirnya dilakukan pemungutan suara untuk memilih setuju atau tidak setuju, kembali pada UUD 1945 tanpa amandemen. Pemungutan suara tersebut diselenggarakan secara bertahap dengan hasil sebagai berikut:
Pertama, pemungutan suara diselenggarakan pada 30 Mei 1959 dengan suara 269 setuju dan 199 tidak setuju. Kedua, pemungutan diselenggarakan lagi pada 1 Juni 1959 dengan 264 setuju dan 204 menolak. Ketiga, setelah pemilihan pertama dan kedua belum mencapai batas minimal bagi pemenang, maka diselenggarakan pemilihan lagi pada 2 Juni 1959 dengan suara 263 setuju dan 203 tidak setuju.
Ternyata dalam ketiga pemungutan suara itu tidak pernah mencapai jumlah dua pertiga yang diperlukan yaitu 312 suara, bagi Sang Pemenang. Hal itu membuat semua pihak, baik kalangan pemerintah maupun kalangan anggota Konstituante sendiri juga mulai putus asa. Bahkan beberapa fraksi yang kelelahan dan tidak melihat jalan keluar pada menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi.
Melihat kenyataan yang gawat itu, Wilopo sebagai ketua Konstituante merasa gelisah lalu berusaha mencari jalan keluar dengan menemui pihak pemerintah yaitu Perdana Menteri Djuanda. Dalam diskusi itu mereka melihat masih terdapat peluang untuk melancarkan agenda kembali ke UUD 1945 satu-satunya cara hanya dengan cara mendekati NU. Karena NU sudah membuka peluang untuk itu.
Kalau NU setuju dengan gagasan Bung Karno itu dan ada jaminan NU untuk mengikutinya, maka langkah ini akan lancar dan aman. Tetapi sebaliknya kalau NU sebagai salah satu anggota Kabinet dan sekaligus anggota Konstituante menentang gagasan itu, maka akan diikuti oleh fraksi Islam yang lain. Nah, di sini NU berperan sebagai bandul penentu arah politik nasional. Kalau NU sebagai fraksi besar mendukung maka semuanya beres.
Dengan demikian dua pertiga suara bisa diperoleh oleh kelompok pro kembali ke UUD 1945. Bila ini bisa dilaksanakan negara akan aman. Program pembangunan nasional bisa kembali dijalankan, tanpa dibebani pertikaian persoalan dasar yang masih terus diperdebatkan.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon