Pemilihan Umum kedua di Indonesia (setelah Pemilu 1955), berlangsung tahun 1971, yang merupakan Pemilu pertama zaman Orde Baru (1966-1998). Diikuti 10 peserta. Terdiri dari partai politik NU, PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, Parkindo, PSII, Perti dan Parmusi plus satu peserta yang tak ingin disebut partai politik, yaitu Sekertariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
<>
Jauh sejak sebelum masa kampanye, terjadi berbagai “benturan” wacana, dan gagasan antara pendukung parpol, dengan pendukung Golkar yang didominasi militer dan birokrat. Parpol dianggap produk Orde Lama 1945-1966), dianggap ikut berdosa menjerumuskan bangsa dan negara Indonesia ke jurang kebangkrutan. Mulai dari krisis ekonomi, keamanan, politik, hingga peristiwa “G-30-S/PKI” yang membantai enam jendral TNI AD. Hanya Golkar yang “suci bersih”. Yang akan sanggup membawa kesejahteraan dan pembangunan.
Maka slogan “Parpol No, Pembangunan Yes” digemakan di seluruh penjuru tanah air. Aparat sipil dan militer dikerahkan terang-terangan untuk melarang rakyat mendukung parpol, dan memaksa mereka mendukung Golkar. Bentrokan fisik terjadi di mana-mana. Banyak santri dan kiai pendukung NU ditangkap, dianiaya, bahkan dibunuh. Penyair Goenawan Mohammad melukiskan kengerian Pemilu 1971 dalam sebuah sajak berjudul “Lelaki yang Terbaring Mati di Pematang” (majalah sastra Horison, Juli 1971).
Prinsip pemilu “jujur, adil” serta “bebas dan rahasia” tidak berlaku di lapangan. Di setiap TPS, para aparat sipil dan militer, siap siaga mengintimidasi warga agar jangan memilih parpol. Hasilnya, tentu dapat diduga. Golkar meraih suara hampir 60%. Memperoleh 260 kursi DPR-RI dari 450 kursi yang diperebutkan. Jumlah kursi DPR sebenarnya 500. Tapi 100 kursi disisihkan untuk anggota DPR yang diangkat oleh presiden. Dengan alokasi 25 kursi untuk ABRI (TNI), 75 kursi untuk kaum profesional non-partai, yang hakikatnya masih Golkar juga. Partai NU memperoleh 58 kursi. Lebih baik daripada hasil pemilu 1955 (45 kursi). Yang memprihatinkan, PNI (Partai Nasional Indonesia). Hanya mendapat 20 kursi. Padahal pada tahun 1955, menjadi pemenang (95 kursi). Kata KH Dr.Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, kemenangan 58 kursi, betul-betul rahmat karunia Allah SWT. “Bayangkan, kita disuruh bertanding tinju sambil kedua tangan diikat. Dikeroyok pula”ujar Pak Idham pada sebuah acara “training centre” GP Ansor Jawa Barat di Bogor (1972).
Para ulama kharismatik NU
Kekuatan NU dalam Pemilu 1971, antara lain warga yang taat kepada ideologi “Ahlussunnal wal jamaah”, serta sosok para kiai tokoh NU di pusat dan daerah yang sanggup menjadi panutan umat. Sebut saja nama-nama KH Dr. Idham Chalid (Ketua Umum PBNU, Subhan ZE (Ketua PBNU), KH Ahmad Syaikhu (Ketua DPR-GR), KH Ahmad Dahlan (Menteri Agama), KH Saifuddin Zuhri (PBNU), KH Wahab Chasbullah (Rais Aam PBNU), KH Bisri Syansuri (Wakil Rais Am PBNU), KH Ali Maksum (Pesantren Krapyak Yogyaakarta), KH Anwar Musaddad (Garut), KH Ilyas Ruhiat (Tasikmalaya), KH Anis Fu’ad (Banten),KH Hasyim Adnan (Jakarta), dan banyak lagi.
Tak heran, jika rezim Orde Baru berusaha sekuat tenaga melemahkan kekuatan NU dengan upaya memisahkan para kiai dari umatnya. Terutama di daerah-daerah. Tak sungkan melakukan kekerasan: menangkap para kiai dan santri, ditahan empat lima hari di kantor Koramil atau Kodim, disodori formulir pernyataan mendukung pemerintah Orde Baru dengan cara mencoblos tanda gambar “beringin” pada pemilu nanti, dll.
Sedangkan cara halus dilakukan melalui pembentukan organisasi Gabungan Usaha Perbaikan Pesantren Indonesia (GUPPI). Organisasi buatan Mayjen Ali Murtopo dan Mayjen Sujono Humardani ini (dua orang perwira tinggi kpercayaan Presiden Suharto) , sangat jelas menyingkirkan peran NU yang begitu dominan di pesantren. Para kiai yang terpaksa masuk GUPPI, harus meninggalkan hubungan historis dan politis dengan NU. Tapi tak sedikit, pesantren yang sudah di”GUPPI”kan ditinggal santri-santrinya. Kobong (kamar petak di bangunan pondok) mendadak kosong-melompong. “Dihuni merpati atau kelelawar saja,” seorang “ajengan” di Garut mengenang peristiwa menyedihkan itu.
Usep Romli HM, penulis kelahiran Garut, penerima Hadiah Asrul Sani 2014