Fragmen

Usaha Gus Dur Meraih Cinta Sinta Nuriyah Lewat Permainan Catur

Sabtu, 23 November 2019 | 06:15 WIB

Usaha Gus Dur Meraih Cinta Sinta Nuriyah Lewat Permainan Catur

Resepsi pernikahan Gus Dur dan Sinta Nuriyah. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Abdurrahman Wahid (Gus dur) menghabiskan masa remaja dan masa mudanya untuk melahap berbagai macam buku bacaan. Bisa dikatakan, dari buku-buku tipis yang bisa digunakan untuk kipas-kipas hingga buku-buku babon (besar, tebal) yang bisa dimanfaatkan untuk bantal. Gus Dur melahap bagaikan makanan sehari-hari sehingga ia harus mengenakan kacamata terlalu dini. Bahkan ada dokumentasi foto Gus Dur muda dengan kacamata cukup tebal sambil menenteng buku di tangan kanannya.

Menginjak usia dewasa di tengah kacamatanya yang semakin tebal, Gus Dur seperti manusia pada umumnya juga menyimpan rasa cinta kepada seorang perempuan. Sebagai seorang santri dan putra serta cucu kiai besar, Gus Dur belum pernah menyimpan rasa  cinta terhadap seorang perempuan  pun sebelumnya.

Benih-benih cinta itu hadir ketika Gus Dur muda bertemu pertama kali dengan seorang santriwati bernama Sinta Nuriyah saat mengajar di madrasah Tambakberas, Jombang pada awal tahun 1960-an. Sinta adalah salah seorang muridnya di madrasah tersebut. Selain berpenampilan menarik, Sinta juga termasuk murid yang cerdas. Karena itu, tak heran jika ia menarik minat banyak lelaki kala itu, termasuk Gus Dur.
 

Meskipun dikenal sebagai keturunan darah biru di kalangan pesantren, cinta Gus Dur kepada Sinta Nuriyah tidak mulus begitu saja untuk meraihnya. Berbagai ikhtiar dilakukan untuk melangsungkan pendekatan kepada Sinta saat itu, termasuk melalui washilah buku.

Tepatnya, Gus Dur mulai mendekati Sinta sebelum ia berangkat studi ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada November 1963. Salah satu caranya ialah dengan kerap memberi buku untuk Sinta. Sayangnya, pemberian buku dari Gus Dur selalu ditolak. Tidak ada respons yang memadai dari Sinta saat itu.

“Namun demikian, Nuriyah adalah produk masyarakat pesantren dan seorang gadis kelahiran Jombang. Karena itu, tidaklah mudah baginya untuk menolak putera Kiai Wahid Hasyim dan cucu Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari. Juga baginya, Gus Dur bukanlah sama sekali tanpa daya tarik. Baginya Gus Dur menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Tetapi ia tentu saja bukanlah seorang bintang film sehingga harus bekerja keras selama beberapa tahun untuk mendapatkan cinta gadis ini.” (Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Penerbit Noktah, 2019, halaman 58-59)
 

Untuk mendekati perempuan terkasihnya itu, Gus Dur seperti dikisahkan Sinta Nuriyah sendiri dalam berbagai kesempatan, sampai hampir setiap hari berkunjung ke rumah Sinta, kadang pagi, kadang siang untuk bermain catur dengan ayah Sinta, Haji Syukur. Bermain catur bagi Gus Dur merupakan salah satu cara berdiplomasi dengan ayah Sinta untuk keperluan meminang. Catur juga menunjukkan bahwa untuk mendapatkan cinta sang gadis pujaan hatinya itu, tidak semudah yang dibayangkan bahkan rumit karena harus berusaha mengalahkan ayah Sinta di atas papan catur.

Pendekatan lewat papan catur tersebut dilakukan Gus Dur karena ingin segera meminang Sinta sebab dia akan pergi lama ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Di depan papan catur, ia meminang Sinta Nuriyah secara gentle di hadapan ayahnya. Banyak terminal yang harus dilalui, sang ayah tidak langsung menyampaikan maksud Gus Dur kepada Sinta tetapi disampaikan ke ibunya. Dari sang ibu tidak juga disampaikan langsung ke Sinta, tetapi ibunya menyampaikan pinangan Gus Dur ke sang nenek, kemudian sang nenek menyampaikan langsung ke Sinta. Di sini nampaknya Sinta Nuriyah mendapat alasan untuk mengatakan “belum mau” karena sebelumnya Gus Dur tidak mengatakan secara langsung kepadanya.

Sering mendapat penolakan dari Sinta, membuat Gus Dur agak sedikit putus asa sedangkan dia harus segera berangkat ke Mesir. Gus Dur lalu menulis surat berisi lamaran kepada Sinta Nuriyah. Kurir atau si pengirim suratnya adalah seorang santri perempuan. Jawaban ditunggu hari itu juga, dengan menyisakan dua pilihan: ya atau tidak. Si santriwati pengantar surat menunggu jawaban Sinta. Sinta kala itu sudah berumur 14 tahun.
 

Sinta Nuriyah yang ketika itu kebetulan sedang seorang diri di rumah karena kelurganya ada kegiatan di luar mendapat terpaan perasaaan dilema. Satu sisi, Gus Dur adalah gurunya sendiri, sisi lain, Sinta belum memikirkan pernikahan.

Dilanda kebingungan bagaimana menjawab surat Gus Dur itu, Sinta yang sejak kecil sering membaca cerita dan komik apa saja mendapat inspirasi untuk menulis secarik surat balasan yang berbunyi, “Jodoh itu bagian hidup dan mati, yang tahu hanya Tuhan. Kalau kita memang berjodoh, sekalipun kita berjauhan, kita akan bisa bertemu. Tapi, kalau bukan jodoh, sekalipun berdekatan, kita juga tidak bisa bersatu”.
 

Secarik surat balasan tersebut menggugah perasaaan cinta Gus Dur kepada Sinta. Dengan modal surat balasan itu, selanjutnya, Gus Dur selama di luar negeri melakuan korespondensi atau surat menyurat dengan Sinta. Singkat kisah, akhirnya cinta Gus Dur bersemi di hati Sinta Nuriyah.

Mereka melangsungkan pernikahan pada 11 Juli 1968. Namun, Gus Dur yang saat itu sedang melanjutkan studi di Baghdad, Irak meminta agar diwakilkan oleh kakeknya dari garis ibu, KH Bisri Syansuri yang berusia 68 tahun. Meskipun telah sah menjadi sepasang suami-istri, Gus Dur dan Sinta Nuriyah baru benar-benar bertemu setelah tiga tahun lamanya. Mereka baru bisa melangsungkan resepsi pernikahan pada 11 September 1971.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan