Dari zaman dahulu hingga sekarang masalah polemik nasab masih menjadi perbincangan hangat dan menarik. Apalagi ketika menghadapi dua keluarga yang salah satu dari keduanya akan saling dinikahkan. Pasti akan banyak yang menimbang dari segi nasab, mempertanyakan asal usul leluhur dan lain sebagainya. Bisa dikatakan penting, bisa. Bisa juga tidak. Tergantung bagaimana konteks tersebut di bicarakan.
Bisa sangat penting jika ingin mengetahui siapa wali dari anak perempuan tersebut ketika akan dinikahi. Bisa tidak penting jika hanya untuk kesombongan dan merendahkan orang lain yang ujungnya hanya akan menimbulkan maksiat. Namun Sebagian manusia merasa rendah karena bukan lahir dari orang hebat, terpandang atau mulia. Hal ini sudah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat kita.
Sebenarnya kita sebagai makhluk Allah tidak perlu rendah diri dengan nasab (keturunan biologi/ gen) leluhur, karena nasab merupakan kemuliaan yang diberikan Allah kepada setiap makhluknya. Yang perlu kita sikapi yakni dengan rasa bersyukur dan menerima apa adanya (Qana’ah).
Allah tidak akan menciptakan segala sesuatu tanpa ada maksud dan tujuan. Bersyukurlah karena menjadi bagian dari takdir semestanya Allah. Karena di hadapan Allah adalah sama yang membedakan hanyalah takwanya.
Allah tidak pilih kasih, karena pilih kasih hanya dalam pandangan manusia, sedangkan dalam pandangan Allah, semua merupakan kehendak niscaya-Nya. Allah juga yang menakdirkan kita lahir menjadi orang Indonesia, lahir dari rahim suku Jawa, Lampung, Sunda, dan lain-lain. Dan Allah sendiri yang menginginkan kita seperti itu. Dan kenapa Allah tidak menakdirkan menjadi orang lain, contoh menjadi Habib atau Sayyid atau juga menjadi putra raja, semua sudah menjadi kehendak Allah, dan sudah diperhitungkan oleh-Nya, jadi tidak perlu rendah diri dan malu karena nasab yang Allah takdirkan.
Perlu diingat, nasab bukanlah pesanan. Kita terlahir ke dunia karena memang takdir dari Allah. Kita tidak bisa menolak akan dilahirkan oleh siapapun dari rahim seorang ibu.
Jadi mau dibanggakan juga itu takdir, tidak perlu disombongkan. Atau ketika kita menghina orang yang bukan Raden atau habib karena rakyat jelata berarti kita menghina penciptanya. Andaikata kita yang dilahirkan seperti mereka, mungkin kita tidak akan pernah sombong juga.
Budayawan Indonesia, Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disapa Cak Nun mengatakan dengan bahasa Jawa "Aku di takdirke dadi wong Jowo aku bangga" yang artinya saya ditakdirkan menjadi orang Jawa dan saya sangat bangga.
Jika kita sudah mensyukuri lahir dari siapapun dan dari manapun, berarti kita sudah mengimani qadha dan qadarnya Allah. Sudah mengimani kehendaknya serta menjadikan kita hamba yang makrifat dan bijaksana.
Namun ada sebagian kalangan atau kelompok yang membanggakan nasab leluhurnya karena mungkin leluhurnya orang hebat, terkenal, terpandang, populer dan memiliki kelebihan tersendiri pada masanya. Ya itu hak-hak saja, boleh, kenapa harus dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan jika dia yang memiliki nasab yang mulia namun sombong dan merendahkan orang lain yang leluhurnya biasa-biasa saja, ini baru masalah serta menjadikannya maksiat. Dari narasi kesombongan terhadap nasab, pepatah Arab mengatakan "Jangan katakan inilah bapak saya, tetapi katakanlah inilah saya."
Selain ada yang memuliakan dan membanggakan leluhurnya ada juga yang menutupi jati dirinya dari menonjolkan apa yang telah digariskan oleh leluhurnya karena beberapa alasan. Ada yang karena malu karena belum bisa seperti leluhurnya, ada juga yang menutupi karena males ribet dan terkenal, dan lain sebagainya.
Memang kadangkala nasab menjaga seseorang dari perbuatan maksiat, jahat dan keburukan lainnya karena merasa malu masih cucunya seorang ulama, wali atau nabi. sehingga menjadikannya belajar lebih baik agar bisa seperti leluhurnya.
Tetapi, yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa nasab juga bisa menjadikan seseorang bermaksiat. Karena ingin di hormati, dilayani, di sungkemi, merasa trahnya paling mulia, paling suci, dan paling baik segalanya. Dan kadang dijadikan alat untuk menindas orang-orang yang merasa hina di matanya.
Padahal dalam kacamata penulis, penulis sadar dan berhusnudzan (prasangka baik). Bahwa sesungguhnya semua umat manusia memiliki leluhur yang mulia dan baik, yang paling atas yakni nabi Adam As dan Siti Hawa, kemudian di sebagian sejarah mengatakan setelah banjir bandang yang besar umat manusia di muka bumi berasal dari keturunan Nabi Nuh As.
Saya ambil contoh sederhananya saja bahwa semua manusia merupakan keturunan orang-orang mulia dan terpandang. Kita tahu satu orang manusia sudah pasti memiliki kakek 2 dan nenek 2 (4 mbah), memiliki mbah Buyut 8, mbah Canggah 16, mbah Wareng 32, mbah Udheg-udheg 64, mbah Gantung Siwur 128, mbah Gropak Senthe 256, mbah Debog Bosok 512, mbah Galih Asem 1.024, mbah Gropak Waton 2.048, mbah Cendheng 4.096, mbah Giyeng 8.192, mbah Cumpleng 16.384, mbah Ampleng 32.768, mbah Menyaman 65.536, mbah Menya-Menya 131.072, mbah Trah Tumerah sebanyak 262.144 dan seterusnya sampai ke atas.
Dari pemaparan jumlah kakek nenek di atas bisa dilihat bahwa leluhur ke-18 sebanyak 262.144 orang. Jumlah yang bahkan bisa dikatakan mengisi penduduk di sebuah kabupaten. Apakah dari semua itu tidak ada orang salehnya? Tidak ada walinya? Tidak ada orang yang kemuka atau terpandang? Apakah tidak ada pejabat apapun? Sangat mustahil jika sekian ratus ribu tidak ada yang mulia. Itulah kenapa penulis sangat berhusnudzan bahkan yakin semua manusia memiliki nasab yang baik dan mulia meski tidak berurutan semua. Contoh bagian kecil di pulau Jawa saja. 80 persen masyarakatnya memiliki sanad Wali Songo dan Raja-raja Nusantara.
Yudi Prayoga, Kontributor NU Online Lampung.