Jakarta, NU Online
Pergolakan seni dan budaya kental dengan kehidupan Asrul Sani. Lekra yang bertendensi pada realisme sosial dan Manikebo yang cenderung pada humanisme liberal membuat Asrul Sani gelisah akan seni dan budaya negerinya sendiri. <>Dia memandang bahwa seni budaya nasional Indonesia bernilai jauh lebih tinggi dibanding dengan dua paradigma Barat tersebut.
Demikian ditegaskan sejarawan Agus Sunyoto di Kantor Redaksi NU Online Kamis, (27/3) di sela-sela persiapan penobatannya sebagai penulis kreatif pada anugerah Hadiah Asrul Sani (HAS).
“Karena itu, Asrul Sani bersama Jamaludin Malik dan Usmar Ismail mendirikan Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia) agar seni dan budaya nasional lebih terangkat,” jelas Penulis buku Atlas Wali Songo ini.
Lebih jauh, dia menuturkan bahwa di tahun 1950 an seni dalam aspek perfilman dikuasai oleh film Amerika saat itu, nyaris tidak ada film nasional. Setelah Asrul Sani dan kawan-kawan muncul dan merespon, munculah film-film nasional yang menggusur dominasi film Amerika.
“Film nasional menjadi primadona saat itu,” kata Agus. Dia juga menjelaskan bahwa kegigihan Asrul Sani dalam membendung arus kesenian Lekra dan kesenian sastra Manikebo yang jauh dari rasa nasionalisme harus dapat diteladani dan dibedah lebih jauh.
“Sebetulnya ini tugas Lesbumi agar sosok dan karakter seni serta budaya dari seorang Asrul Sani lebih dikenal lagi oleh generasi sekarang,” tegasnya.
“Dia tidak terpengaruh oleh budaya orang-orang di sekelilingnya yang lebih cenderung sosialis dan liberalis, berangkat dari nasionalismenya itulah lahir Lesbumi,” pungkasnya.
Bersama Usep Romli HM, Tatiek Maliyati, H Chisni, dan H Muammar ZA, Agus Sunyoto akan menerima anugerah Hadiah Asrul Sani (HAS) dalam gelaran Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari, Jumat (28/3), di Aula PBNU Jakarta pukul 19.30. (Fathoni/Mahbib)