Cegah Perceraian, Nyai Nur Rofiah Jelaskan 5 Hal untuk Memahami Tujuan Nikah
Selasa, 23 Mei 2023 | 08:00 WIB
Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU), Nyai Nur Rofiah. (Foto: Dok. Fatayat NU DIY)
Jakarta, NU Online
Jagat media sosial diramaikan dengan isu perselingkuhan dan perceraian di dunia selebritis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,3 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.
Perceraian disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut laporan BPS, perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab terbesar perceraian di Indonesia. Ada pula perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi dan perceraian akibat meninggalkan salah satu pihak.
Menyoroti maraknya isu perceraian, Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU), Nyai Nur Rofiah menegaskan pentingnya kembali merefleksikan dan memahami tujuan pernikahan.
1. Pernikahan tak sebatas transaksional
Nyai Rofiah mengatakan ketika pasangan suami istri hanya dipandang sebatas makhluk fisik bukan makhluk berakal budi maka tujuan pernikahan sebatas transaksional. Istri hanya jadi objek seksual serta alat reproduksi suami. Sementara suami menikah untuk memuaskan libido dan memperoleh keturunan. Selain itu, perempuan dianggap menikah karena butuh dinafkahi dan suami sebagai mesin uang.
"Pernikahan transaksional seperti ini tidak kuat, akan sangat rapuh sekali. Jadi pentingnya pasutri merefleksikan diri apakah sudah termasuk makhluk yang berakal atau hanya makhluk fisik," tutur Nyai Rofiah kepada NU Online, Senin (22/5/2023).
Pernikahan, kata Rofiah, seharusnya tidak melunturkan jati diri manusia sebagai makhluk yang berakal budi tentu ini perlu diikhtiarkan bersama. Sehingga pernikahan akan mencerdaskan akal budi dan menajamkan spiritual.
"Tantangannya kita semua lahir sebagai anak kandung sistem patriarki yang kesadarannya fisik. Laki-laki harus kuat, lebih kaya dari istrinya kalau tidak, dia tak bernilai di masyarakat. Cara pandang seperti ini patriarki," jelasnya.
2. Tujuan menikah adalah melahirkan kemaslahatan
Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta itu menuturkan, tujuan hidup dalam Islam tak lain menghamba kepada Allah swt. Manusia membuktikannya dengan mewujudkan kemaslahatan semampunya maka tujuan dari menikah adalah melahirkan kemaslahatan.
Nyai Rofiah memberikan contoh ketika pasangan suami istri sedang mengalami problem keuangan maka maslahah bisa dilakukan dengan saling support satu sama lain.
"Ketika rezeki suami sedang macet, istrinya di-support untuk bisa kerja, suami sementara bisa mengurus urusan rumah dan segala macamnya. Problemnya kan kadang gengsi. Istri juga begitu bisa nulis, dagang banyak yang bisa dilakukan bersama asal cara pandang sudah benar," bebernya.
3. Jodoh tidak statis, semua diproses
Pengampu Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) ini memandang jodoh seperti halnya rezeki yang harus terus dicari. Demikian juga pasangan suami istri agar terus berjodoh maka perlu terus diupayakan bersama.
"Manusia punya potensi kecenderungan baik dan buruk sekaligus karenanya jika berjodoh potensi baiknya semakin berkembang sebaliknya jika tidak, iya toxic," ujarnya.
4. Persiapkan mental, finansial dan intelektual
Menurut Nyai Nur Rofiah, tiap individu sebelum memutuskan menikah perlu mempertimbangkan tiga hal yakni mental, finansial dan intelektual hal ini untuk mencegah perceraian, "Pintu masuk menuju perkawinan ini harus dijaga sehingga perkawinan anak tidak dilakukan," terang dia.
Nyai Rofiah mengambil contoh proses ta'aruf (saling mengenal) sebelum pernikahan. Keinginan pasangan apa? Perkawinan seperti apa yang diharapkan? Tujuan apa? Maslahah seperti apa yang diinginkan?
Proses ta'aruf ini tak hanya berlangsung sebelum dan sepanjang pernikahan karena situasinya kian berubah begitu juga dengan kafa'ah (kapabilitas) sebagai suami istri yang ideal adalah proses yang terus dijalani selama berumah tangga. Sehingga masing-masing tidak berhenti untuk belajar.
"Maka sepanjang menjadi suami istri diperlukan kemaslahatan atas dirinya, atas dasar iman sekufu. Soal sekufu atau standar juga sebenarnya ada pada taqwa, bukan pada paras," jelasnya.
5. Jangan jadikan pasangan sebagai standar tunggal
Di era media sosial, kata Nyai Rofiah, jendela rumah tangga bisa terbuka luas ia mengimbau agar tiap pasangan tak silau dengan kehidupan rumah tangga orang lain. Orang lain boleh jadi inspirasi tapi tidak dijadikan standar tunggal. Barometernya sama menghamba kepada Allah swt. Tujuan pernikahan diluruskan, diarahkan sejalan dengan tujuan hidup, lalu berproses bersama.
"Siapa pun jangan jadikan standar tunggal kemaslahatan kita karena tiap orang meski sudah menikah mereka tetap independen di hadapan Allah swt. Jadi tidak ada istilah suami bertanggung jawab atas dosa istri begitupun sebaliknya," ucapnya.
Nyai Rofiah berpesan dalam berumah tangga tak perlu saling menuntut pasangan. Jika salah satu pasangan 'kepleset' maka diperbaiki bersama. Ayyusriha bainahuma sulha maknanya silakan yang salah memperbaiki diri demikian pula yang tidak bersalah berhenti untuk terus menyalahkan.
"Perkawinan layak dipertahankan kalau masih bisa menjadi kendaraan kemaslahatan bersama tidak hanya pasutri tapi juga anak. Kalau sudah sampai dititik tertentu. Iya, mau bagaimana lagi? kita musti memahami karena hanya tau polemik rumah tangga dari luar saja," pungkasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad