Imparsial Soroti Gejala Normalisasi Peran Militer di Ranah Sipil yang Mengancam Demokrasi
Rabu, 8 Oktober 2025 | 17:30 WIB
Direktur Imparsial Ardi Manto dalam Seminar Nasional bertema Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi di Gedung Nusantara II, FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Direktur Imparsial Ardi Manto menyoroti gejala normalisasi peran militer di ranah sipil yang dinilai berpotensi mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Ia menyebut fenomena itu sebagai bagian dari proses rekonsolidasi militerisme yang kini mulai tampak di berbagai sektor pemerintahan.
Hal itu disampaikan Ardi dalam Seminar Nasional bertema Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025).
Menurut Ardi, rekonsolidasi militerisme terlihat dari beberapa gejala utama, antara lain meningkatnya keterlibatan militer dalam urusan nonpertahanan, okupansi jabatan sipil oleh perwira aktif, serta penguatan struktur komando teritorial.
“Yang sedang terjadi saat ini adalah rekonsolidasi militerisme. Kita melihat ada jarak yang semakin jauh antara kebijakan publik dengan persoalan nyata di masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah menguatnya kembali peran militer dalam ruang-ruang sipil,” jelas Ardi.
Ia menuturkan, salah satu bentuk rekonsolidasi militerisme terjadi melalui normalisasi kehadiran militer di berbagai lembaga sipil. Hal ini dilakukan dengan membangun kerja sama atau memorandum of understanding (MoU) antara TNI dan sejumlah kementerian serta lembaga pemerintahan.
“Selama pemerintahan Presiden Jokowi, dari 2014 sampai 2024, kami mencatat ada sekitar 100 MoU yang dibuat antara TNI dan lembaga sipil,” ungkapnya.
Menurut Ardi, maraknya kerja sama tersebut membuat keterlibatan militer dalam urusan sipil kian dianggap wajar oleh publik.
“Publik seolah-olah mulai menormalkan kembali kehadiran militer. Hanya sedikit kritik muncul dari masyarakat, terutama dari kalangan sipil dan akademisi yang memang konsen terhadap isu demokrasi,” tambahnya.
Imparsial juga mencatat meningkatnya jumlah prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil. Berdasarkan data Pusat Penerangan TNI per Februari 2025, terdapat 4.472 personel militer aktif yang menempati posisi di lembaga sipil.
“Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi TNI dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004,” ujarnya.
“Mereka tetap memiliki loyalitas ganda, baik kepada atasannya di lembaga sipil maupun kepada institusi militernya. Ini berpotensi mengganggu independensi birokrasi sipil,” sambung Ardi.
Ia menambahkan, revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia yang memperluas jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI dari 10 menjadi 14 lembaga turut memperkuat gejala rekonsolidasi militerisme.
Selain itu, Ardi menyoroti penguatan struktur komando teritorial yang kini turut mengurusi bidang-bidang nonmiliter, seperti ketahanan pangan dan perikanan. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari perluasan peran militer yang tidak sejalan dengan prinsip reformasi.
“Rencana pembentukan ratusan batalion teritorial hingga tahun 2029 menunjukkan arah yang berbahaya bagi demokrasi,” kata Ardi.
“Alih-alih memperkuat kontrol sipil terhadap militer, negara justru memperluas jangkauan militer ke ranah yang bukan tugas utamanya,” tambahnya.
Ardi juga menyesalkan minimnya kritik publik terhadap fenomena ini. Ia menyebut, kelompok masyarakat sipil dan akademisi masih menjadi pihak yang paling aktif menyuarakan keprihatinan terhadap kemunduran demokrasi.
“Yang bersuara paling keras itu justru kelompok sipil dan akademisi, bukan elite politik. Padahal, seharusnya merekalah yang paling peka terhadap gejala kemunduran demokrasi ini,” ujarnya.