Nasional

Krisis Hidup Modern Bukan Hanya tentang Uang, Tapi Juga soal Putusnya Relasi dengan Alam

Senin, 27 Oktober 2025 | 21:30 WIB

Krisis Hidup Modern Bukan Hanya tentang Uang, Tapi Juga soal Putusnya Relasi dengan Alam

Ketua Ikatan Keluarga Alumni STF Driyarkara Ruth Indiah Rahayu dalam Kuliah Terbuka bertema Hierarki Utang Pencedera Kehidupan: Kritik Ekofeminisme yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Ketua Ikatan Keluarga Alumni STF Driyarkara Ruth Indiah Rahayu membedah krisis kehidupan manusia modern dari perspektif ekofeminisme dengan menyoroti dampak kapitalisme dan neoliberalisme terhadap hubungan manusia dan alam.


Hal tersebut ia sampaikan dalam Kuliah Terbuka bertema Hierarki Utang Pencedera Kehidupan: Kritik Ekofeminisme yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).


Dalam paparannya, Ruth mencontohkan cara hidup masyarakat subsisten seperti Suku Baduy atau masyarakat adat Papua yang mampu memenuhi kebutuhan dasar tanpa merusak alam.


Menurutnya, pola ekonomi lokal yang berlandaskan keseimbangan ekologi dan kearifan tradisional justru menawarkan model keberlanjutan yang selama ini diabaikan negara.


“Dari mereka kita belajar bahwa ekonomi tidak harus selalu diukur dengan uang, tetapi dengan kemampuan menjaga kehidupan,” ucapnya.


Ruth menjelaskan bahwa politik kehidupan tidak terbatas pada institusi atau kekuasaan formal, tetapi juga mencakup aktivitas keseharian manusia.


“Politik yang lebih besar adalah kehidupan kita sendiri: cara kita hidup, bekerja, dan bertahan. Namun, kini kehidupan kita dikendalikan oleh logika uang dan utang,” ujarnya.


Ia menambahkan, pandemi Covid-19 menjadi titik balik kesadaran global bahwa krisis tidak hanya bersumber dari virus, tetapi juga dari ketergantungan manusia pada sistem ekonomi yang menempatkan uang sebagai ukuran segalanya.


“Selama ini kita berpikir bahwa krisis berarti tidak punya uang. Padahal, akar krisis kehidupan adalah keterputusan kita dari sumber daya ekologis yang menopang keberlanjutan hidup,” jelasnya.


Ruth mengutip pemikiran filsuf feminis asal Australia Ariel Salleh yang memadukan gagasan ekologi, feminisme, dan sosialisme dalam kritik terhadap kapitalisme.


Menurut Salleh, kehidupan seharusnya dilihat sebagai proses metabolisme nilai, hubungan saling menghidupi antara manusia, tenaga kerja, dan ekosistem, bukan semata rantai pasok komoditas yang mengejar akumulasi kapital.


“Ekofeminisme mengajarkan kita bahwa kehidupan itu berputar dan saling menghidupi, seperti metabolisme tubuh dan alam. Sementara kapitalisme hanya mengenal rantai pasok dan nilai komoditas. Akibatnya, manusia dan alam sama-sama tereksploitasi,” ujar Ruth.


Lebih lanjut, Ruth menyoroti proyek strategis nasional yang sering digadang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi justru meninggalkan kerusakan ekologis. Ia menilai, hal ini menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan ekonomi nasional kerap mengabaikan keseimbangan antara manusia dan alam.


“Gunung-gunung diruntuhkan, tanah diangkut tanpa pernah kita dengarkan keluhannya. Bumi kehilangan kesempatan untuk memulihkan diri,” ucapnya.


Dalam pandangan ekofeminisme, lanjut Ruth, bumi dan perempuan memiliki pengalaman yang saling berkelindan. Keduanya sering menjadi korban eksploitasi atas nama kemajuan ekonomi.


Ia menegaskan bahwa keberlanjutan sosial dan ekonomi hanya mungkin terwujud jika ditopang oleh sistem ekologis yang sehat.


“Kehidupan sosial manusia tidak akan lestari jika ekologi dirusak. Politik kehidupan adalah politik merawat, bukan menguras,” tegasnya.


Ruth juga mengkritik ekonomi modern yang semata diukur melalui angka pertumbuhan. Ia menilai ukuran makroekonomi seperti kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak pernah benar-benar mencerminkan kesejahteraan rakyat.


“Kita sering mendengar klaim pertumbuhan ekonomi 5 persen, tapi pada saat yang sama rakyat masih kehilangan pekerjaan, harga pangan melonjak, dan lingkungan rusak. Ini manipulasi statistik yang menutupi realitas krisis,” ujarnya.