Peneliti BRIN: Pengangkatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Sangat Kontroversial
Senin, 7 Oktober 2024 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Asvi Warman Adam menyoroti wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional yang dinilai sangat kontroversial.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Habis Sukarno Terbitlah Soeharto: Manipulasi Memori dan Politik Sejarah di Indonesia yang digelar akademisi Sejarah Lintas Batas pada Sabtu (5/10/2024).
Menurut Asvi, wacana tersebut sempat mencuat dalam seminar yang digelar oleh KNPI Surakarta pada 2009. Seminar itu diselenggarakan di Hotel Lor In milik Tommy Soeharto di Karanganyar, dengan menghadirkan sejumlah tokoh, di antaranya Doktor Budiawan dari UGM dan Politisi PDI Perjuangan Rina Iriani sebagai pembicara.
“Saya sendiri hadir sebagai pembicara. Saat itu saya mengutip sebuah pernyataan dari survei yang dilakukan Denny JA tentang Soeharto. Beberapa orang itu punya pandangan bahwa Soeharto adalah bapak pembangunan terbesar di Indonesia tetapi sekaligus perusak terbesar di Indonesia. Tentu itu sangat kontroversial,” kata Asvi.
Wacana ini kembali muncul setelah MPR mencabut TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang mencantumkan nama Soeharto. TAP tersebut mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan Soeharto.
Namun, pimpinan MPR Bambang Soesatyo berargumen bahwa Soeharto tak bisa lagi dituntut karena sudah meninggal. Menurutnya, TAP MPR itu jadi batu sandungan untuk pengusulan gelar pahlawan Soeharto.
“Tetapi dalam pasal 4 dikatakan upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya maupun pihak swasta konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto. Jawaban pimpinan MPR, Bambang Soesatyo bahwa karena Soeharto sudah meninggal jadi tidak bisa dituntut lagi,” kata Asvi.
Menurutnya, daripada MPR mengangkat calon-calon yang kontroversial atau menimbulkan pro dan kontra, lebih baik diangkatlah calon yang relevan dan aktual untuk kondisi sekarang.
“Misalnya Jenderal Polisi Hoegeng dan Jaksa Agung Soerapto. Dua orang ini menurut hemat saya sangat layak menjadi pahlawan nasional,” ujarnya.
Gelar pahlawan dan tahun politik
Sejarawan Bonnie Triyana menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional sering muncul mendekati tahun politik. Sejak 1950, di Indonesia sudah ada kebiasaan memberi gelar pahlawan. Ia mencontohkan sejarah ditetapkan Hari Kebangkitan Nasional yang tak lepas dari berdirinya Budi Utomo.
Baca Juga
Usut Kasus Soeharto Lewat Kroni-kroninya
“Di sini kita bicara tentang memori politik tapi dalam kesempatan yang sama ini ada politik memori. Ini dua hal yang berbeda. Dari kasus penetapan (Hari) Kebangkitan Nasional mempertimbangkan suasana politik saat itu yang penuh gejolak dan penuh konflik internal. Bung Karno kemudian mencari momentum sejarah yang menyatukan orang Indonesia,” kata Bonnie.
Sementara dalam TAP MPR terbaru melibatkan tiga kekuatan politik. Ada kelompok nasional yakni Soekarno, ada Golkar kelompok Soeharto, dan Gus Dur yang mempresentasikan bukan dari kelompok mana pun.
Soal Soeharto, kata Bonnie, muatan politik memorinya lebih berat daripada memori politiknya. Semisal tentang slogan: Enak zamanku, tho. Menurut Bonnie, hal itu sangat problematik membuat kejahatan HAM masa itu kian tenggelam.
“Jadi bagaimana kita bisa punya ingatan tertentu tentang orde baru sementara riwayat kelam atau halaman gelapnya tidak pernah ditulis dengan benar, tidak diajarkan sehingga ingatan orang Indonesia waktu itu dan sekarang didominasi ingatan yang baik-baiknya saja,” lanjut Bonnie
Sisi gelap Soeharto
Sementara itu, Assistant Professor Universitas Utrecht Grace Leksana menyoroti sisi gelap di balik keberhasilan pembangunan era Soeharto, salah satunya swasembada pangan yang sering diabaikan.
“Ide mengangkat pahlawan untuk Soeharto yang dipikirkan kan karena jasanya juga dalam pembangunan. Jadi sebenarnya, selain ada banyak kejahatan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Presiden Soeharto, kita juga bisa membongkar perspektif atau makna pembangunan yang dipakai di masa itu. Bahwa ada penelitian-penelitian tentang (di balik) proyek pembangunan di 1970-an dan 1980-an itu sebenarnya,” terang Grace
Grace mencontohkan, salah satunya adalah penelitian kritis Benjamin White terkait program pengendalian jumlah penduduk. Menurut penelitian itu, pengendalian populasi di masa swasembada pangan dengan Keluarga Berencana (KB) tidaklah diperlukan karena surplusnya ketersediaan pangan.
“Dianggap bahwa kalau populasi meningkat juga akan membahayakan lingkungan dengan permukiman yang crowded atau orang-orang yang tinggal di bantaran kali. Padalah isu lingkungan yang sebenarnya terbesar justru dari industri, tambang, dan kayu,” tambahnya.
Kemudian, kata Grace, ada riset lain yang juga menguraikan bahwa KB bisa jadi pilihan bagi orang-orang kelas menengah ke atas tapi wajib bagi orang-orang di desa.
"Mereka (kaum perempuan) dipaksa memakai IUD (intrauterine device) dan yang laki-laki dipaksa vasektomi dan mereka enggak bisa melawan juga. Jadi sebenarnya penting untuk dipertanyakan, pahlawan pembangunan seperti inikah yang kita mau?” pungkas Grace, mempertanyakan.