Nasional

Pujian Hilang, Rugi Lahir Batin! (II)

Selasa, 5 Maret 2013 | 18:03 WIB

Menurut sejarawan yang budayawan, Agus Sunyoto, tradisi pujian (Jawa) pupujian (Sunda) sebelum sembahyang, adalah primordial masyarakat Nusantara yang akrab dengan tembang-tembang. Dulu, ajaran-ajaran disampaikan dengan cara seperti itu.
<>
Muhammad Jadul Maula mempertebal pernyataan penulis novel sejarah Suluk Abdul Jalil (tujuh jilid) tersebut. Ia mengatakan, pujian atau syair sebelum shalat merupakan proses mengintegrasikan seluruh unsur-unsur manusia; jiwa, tubuh untuk menghadap Tuhan.

“Sebuah proses conditioning, berkonsentrasi, menghadap-Nya, supaya menjadi nikmat,” katanya di pendapa Yayasan LKiS, Yogyakarta, Rabu, (27/2).  

Pengasuh Pesantren Kaliopak Yogyakarta tersebut mengatakan, dalam masyarakat Nusantara, antara agama dan kesenian itu dekat sekali sehingga penyebar agama Islam juga menggunakan cara itu untuk mengakrabkan agama dengan pemeluknya.

Dengan pujian dalam bentuk tembang, orang awam bisa mengaji, mengulang pengetahuan agamanya dengan gembira. Itulah cara beragama yang aktif. Dengan cara itu, di jalan, di rumah, mereka menginternalisasi ajaran agamanya.

“Jadi, para wali itu mengajak dan menarik orang menjadi pendengar aktif dengan menembang, bahkan menari dan berjoget,” tambahnya.

Yang dimunculkan adalah seni beragama yang indah dan halus. Agama itu juga kehalusan. Dengan kehalusan, orang jadi sopan, tawadhu.

Berbeda dengan agamawan sekarang, mendorong umatnya menjadi pendengar pasif. Mereka hanya diberi ceramah saja. Bahkan ceramah yang dibisniskan dan dipolitisasi. Unsur seninya hilang. Hal itu menyebabkan umat menjadi kasar, intoleran, dan kejam. Itu adalah bentuk pendangkalan agama.

“Ekspresi terhebat pendangkalan agama datang dari kelompok-kelompok Islam antiseni dan anti-kebudayaan,” pungkasnya.

 

Penulis: Abdullah Alawi  

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait