Nasional

RUU PPRT adalah Amanat Moral dan Konstitusional, tapi 21 Tahun Tak Kunjung Disahkan

Senin, 8 September 2025 | 21:04 WIB

RUU PPRT adalah Amanat Moral dan Konstitusional, tapi 21 Tahun Tak Kunjung Disahkan

Ilustrasi sidang paripurna di Gedung DPR. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Habib Syarief Muhammad menegaskan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).


Menurut Syarief, regulasi ini merupakan manifestasi kewajiban negara untuk menebus pengabaian terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang selama ini kurang mendapat perlindungan memadai.


Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Badan Legislasi DPR RI bersama Kementerian Sosial serta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.


Habib Syarief menyoroti jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia yang mencapai 4,2 juta orang, dengan 84 persen di antaranya perempuan. Data global menunjukkan 1 dari 22 pekerja di dunia adalah pekerja rumah tangga.


“Profesi ini selama ini lebih dipersepsikan sebagai pembantu rumah tangga, padahal sekarang sudah seharusnya dimaknai sebagai pekerja profesional dalam spektrum ketenagakerjaan nasional,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) DPR pada Senin (8/8/2025) dikutip NU Online melalui Kanal Youtube TVR Parlemen


Habib Syarief menegaskan bahwa RUU PPRT sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.


"Kita tidak boleh membiarkan hadirnya ruang penafsiran bagi pemberi kerja untuk kemudian dapat memilih agar tidak menanggung iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dalam kesepakatan kerja sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (2) RUU. Ini adalah preseden berbahaya yang memungkiri amanat hukum dan kemanusiaan," tegasnya.


Dalam paparannya, Habib Syarief menekankan pentingnya RUU PPRT mengadopsi nilai-nilai dalam Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak bagi PRT. Ia menilai belum diratifikasinya konvensi ini oleh Indonesia menjadi catatan tersendiri.


"RUU ini menjadi momentum bersejarah untuk menyelaraskan hukum nasional dengan nilai-nilai HAM dan keadilan global," ujarnya.


Menurutnya, perlindungan pekerja rumah tangga harus bersifat komprehensif, mencakup pekerja penuh waktu, paruh waktu, direkrut langsung maupun tidak langsung.


Semua kategori pekerja, katanya, harus mendapat jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, hari tua, pensiun, hingga kehilangan pekerjaan.


Meski cakupan jaminan kesehatan nasional di Indonesia sudah mencapai 98,19 persen, fakta survei JALA 2019 menunjukkan 89 persen PRT tidak termasuk penerima bantuan iuran dan 99 persen tidak memiliki jaminan ketenagakerjaan.


"Ini adalah sebuah alarm keras bukti nyata pengabaian negara terhadap hak asasi manusia dasar para pekerja yang menopang kehidupan rumah tangga masyarakat kita," kritik Habib Syarief.


Ia juga menegaskan pentingnya perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif, dengan regulasi tegas serta sanksi bagi pelanggaran hak.


"Pada akhirnya, RUU PPRT nantinya akan menjadi benteng hukum dan moral bagi jutaan pekerja rumah tangga di tanah air yang menuntut keadilan dan penghormatan layak," katanya.


Habib Syarief mengajak kepada seluruh pemangku kepentingan untuk mengesahkan RUU ini.


"Seluruh pemangku kepentingan, mulai legislatif hingga pelaksana teknis, harus meneguhkan komitmen bersama tanpa kompromi, memastikan RUU ini segera disahkan dan dilaksanakan dengan integritas, sebagai wujud nyata keberpihakan negara terhadap mereka yang selama ini terabaikan dan sering disisihkan," terangnya.


Sementara itu, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro turut menekankan pentingnya RUU PPRT sebagai dasar hukum untuk memperkuat perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja rumah tangga.


“Dengan adanya undang-undang ini kami harapkan ada penguatan sebenarnya. Bahwa siapapun pemberi kerja, majikan, yang memperkerjakan pekerja rumah tangga maka secara otomatis dia yang membayarkan, walaupun kategorinya adalah kategori bukan penerima upah,” ujarnya dalam RDP bersama Baleg DPR RI.


Menurut Pramudya, hal ini penting karena pemberi kerja juga mendapatkan nilai ekonomis dari jasa pekerja rumah tangga.


"Karena majikan ini mendapatkan nilai ekonomis dan juga memiliki tanggung jawab juga untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga," tambahnya.


Hingga saat ini, BPJS Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan kepada sekitar 580 ribu pekerja rumah tangga, terbagi antara kategori Bukan Penerima Upah (BPU) dan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dari 9,9 juta peserta aktif kategori BPU, sebanyak 301.096 di antaranya adalah pekerja rumah tangga. Sementara dari 673.069 PMI yang aktif, sebanyak 279.572 bekerja sebagai PRT di luar negeri.


Pekerja rumah tangga yang menjadi peserta ada yang membayar iuran secara mandiri, ada pula yang dibayarkan oleh pemberi kerja melalui Program Sejahterakan Pekerja Sekitar Anda (Sertakan). Program ini mendorong peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mempekerjakan PRT, termasuk sopir, untuk mendaftarkan mereka dalam perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.


Perjalanan 21 Tahun RUU PPRT

RUU PPRT tak kunjung disahkan, padahal sudah 21 tahun proses perjalanan ditempuh sejak pertama kali diajukan.


Pada 2004, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengajukan RUU PPRT ke DPR dan masuk Prolegnas 2005-2009.


Lalu pada 2010, tujuh fraksi DPR mulai membahas RUU PPRT di Komisi IX melalui Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT.


Kemudian pada 2011-2012, DPR melakukan riset dan studi banding serta uji publik di beberapa kota.


Selanjutnya pada 2013, draf RUU PPRT selesai di panja dan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.


RUU PPRT kemudian mengendap di Prolegnas tanpa pembahasan lebih lanjut selama 4 tahun, 2014-2018.


Perjalanan berlanjut pada 2019 yakni ketika Partai Nasdem mengusulkan kembali RUU PPRT sebagai Prolegnas prioritas tahunan.


Berikutnya pada 2020, Baleg DPR menyelesaikan draf RUU dan naskah akademik.


Sepanjang 2023, pengesahan RUU PPRT mendapat angin segar. Pada 18 Januari, Presiden Jokowi menegaskan komitmen mempercepat pengesahan RUU PPRT.


Lalu pada 14 Februari 2023, Partai Nasdem melakukan interupsi di Rapat Paripurna DPR terkait dengan penundaan pembahasan RUU PPRT.


Pada 21 Maret 2023, RUU PPRT disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR, tetapi belum disahkan menjadi undang-undang.


Berlanjut hingga Mei 2023, Pemerintah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM).


Namun hingga September 2024, pembahasan RUU PPRT masih tertunda dan aksi-aksi dari kelompok sipil terus mendesak pengesahan.


Pada 2025 ini, RUU PPRT memasuki tahun ke-21. Namun, nasib RUU PPRT mulai dari awal lagi. Saat ini, RUU PPRT kembali dibahas di tingkat Baleg DPR, mulai dari proses awal legislasi dengan rapat-rapat dengar pendapat.