Opini

Bencana Sumatera: Deforestasi, Tambang, dan Perampasan Hak yang Dilegalkan

Ahad, 7 Desember 2025 | 13:02 WIB

Bencana Sumatera: Deforestasi, Tambang, dan Perampasan Hak yang Dilegalkan

Kejahatan kehutanan berupa pencucian kayu ilegal (Foto: .kehutanan.go.id/)

Ketika berbicara tentang perampasan sumber daya alam, sesungguhnya kita sedang membicarakan bukan hanya hilangnya ruang hidup, tetapi juga hilangnya nalar etis dan spiritual dalam memperlakukan alam. Kejadian bencana ekologis di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh, menjadi bukti bahwa kerakusan ekonomi telah membawa petaka. Sebagai catatan hingga tanggal 6 Desember 2025, BNPB telah mencatat sekitar 900 orang meninggal, 500-san orang hilang dan lebih dari 800 ribu orang menjadi pengungsi.


Berdasarkan analisis WALHI, banjir di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh adalah akibat beralihfungsinya kawasan hulu, dari hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit, tambang, proyek PLTA sampai hutan industri. Di Sumatera Utara, Ekosistem Batang Toru telah kehilangan 72.938 hektare hutan (2016–2024) akibat operasi 18 perusahaan. Lalu di Aceh, dari 954 DAS, sedikitnya 20 dalam kondisi kritis dengan kehilangan tutupan hutan besar antara lain DAS Krueng Trumon kehilangan 43%, DAS Singkil 66%, DAS Peusangan 75%, serta beberapa DAS lain di atas 36%. Sementara itu di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin di Kota Padang kehilangan 780 hektare tutupan pohon sejak 2001–2024, terutama di wilayah hulu kawasan konservasi Bukit Barisan, sehingga melemahkan fungsi ekologis penahan banjir dan meningkatkan risiko bencana.


Ironisnya, kerusakan tersebut sering “dilegalkan” lewat perubahan tata ruang yang mengikuti kepentingan investor. Ketika relasi kuasa seperti itu menguasai ruang hidup, maka perampasan SDA menjadi keniscayaan. Maka di dalam perspektif Islam, SDA bukan milik mutlak manusia. Kepemilikan hakiki adalah milik Allah, sementara manusia hanya mustakhlaf yang memegang amanah dan kepemilikan nisbi. Ketika negara atau korporasi memaksa alih fungsi lahan tanpa persetujuan warga, menimbulkan mudarat, bahkan mengancam akses terhadap air, maka hal tersebut masuk dalam kategori ghasb atau perampasan hak. 


Padahal Rasulullah sudah menegaskan bahwa air, api, dan padang rumput adalah milik bersama, sehingga monopoli dan eksploitasi yang merusak adalah pelanggaran terhadap haqq al-insan ad-daruri. Di titik ini, jelas bahwa persoalan SDA adalah persoalan moral dan spiritual sekaligus persoalan politik ekonomi yang timpang, sebagaimana digambarkan Robbins dalam ekologi politik, sebagai sebuah kerusakan alam selalu terkait relasi kuasa.


Prinsip Syariah sebagai Dasar Keberlanjutan
Jika prinsip-prinsip syariah tentang keberlanjutan dijalankan secara jujur dan konsisten, maka eksploitasi sumber daya alam yang merusak hulu sungai, menghancurkan hutan, dan mengorbankan keselamatan rakyat tidak akan pernah dinormalisasi sebagai “pembangunan”.

 

Maqāṣid al-syarī’ah, yang menempatkan perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal, harta, keturunan, dan agama sebagai tujuan utama hukum Islam, secara niscaya juga menuntut perlindungan lingkungan hidup. Banyak ulama kontemporer menegaskan bahwa perlindungan ekologi merupakan bagian integral dari perlindungan jiwa dan harta, sebab tanpa air bersih, tanah sehat, dan iklim yang stabil, seluruh maqāṣid tersebut gugur maknanya.


Data WALHI menunjukkan bahwa dalam rentang 2016–2025, deforestasi seluas 1,4 juta hektar terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, PLTA/PLTM, hingga proyek energi lain. Kerusakan ini secara langsung meningkatkan risiko banjir dan longsor yang dampaknya dirasakan oleh ratusan ribu orang. Kerusakan sumber daya alam yang menghilangkan air bersih, merusak kesehatan masyarakat, serta menghancurkan ruang hidup generasi mendatang adalah pelanggaran terang terhadap maqāṣid al-syarī’ah itu sendiri.


Lebih jelasnya pendekatan maqāṣid al-syarī’ah, bahwa ancaman terhadap sumber air misalnya, melalui aktivitas ekonomi yang mengubah landscape di wilayah tangkapan air, merupakan pelanggaran langsung terhadap ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa). Ketika hampir seluruh warga menggantungkan hidup pada sumber air alami, penghancuran daerah resapan tidak hanya mengancam kehidupan hari ini, tetapi juga merampas hak hidup generasi yang belum lahir. 


Karena itu di dalam Al-Qur’an secara tegas melarang isrāf (pemborosan) dan fasād (perusakan), serta mengecam tindakan merusak bumi setelah ia diciptakan dalam keadaan seimbang. Bahkan dalam praktik ibadah seperti wudu, Nabi Muhammad SAW mengecam penggunaan air secara berlebihan. Jika dalam ritus penyucian diri pun dilarang berlebih, maka lebih-lebih lagi dalam praktik ekstraksi sumber daya alam yang meruntuhkan gunung, meracuni sungai, menggunduli hulu DAS, dan menghilangkan sumber penghidupan jutaan manusia.


Dalil tersebut dipertegas dengan kaidah fiqh dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih yang dapat dimaknai, bahwa mencegah kerusakan besar harus diutamakan daripada mengejar manfaat ekonomi yang semu. Apa yang hari ini disebut manfaat pembangunan terbukti menghasilkan mafsadah struktural, seperti kolapsnya sistem DAS Batang Toru di Sumatera Utara akibat deforestasi lebih dari 72 ribu hektar, rusaknya DAS Peusangan di Aceh hingga 75%, serta degradasi hulu DAS Aia Dingin di Sumatera Barat yang seharusnya menjadi benteng ekologis Kota Padang. Manfaat ekonomi yang diklaim tidak sebanding dengan kerugian jiwa, kehancuran sosial, dan beban eksternalitas yang dipikul rakyat.


Dalam khazanah fiqih lingkungan Islam mengajarkan bagaimana penataan ruang merupakan hal kunci untuk menjaga keberlanjutan. Sebagaimana dijelaskan dalam konsep ḥarim, atau zona penyangga bagi mata air, sungai, dan fasilitas publik. Hal tersebut menegaskan bahwa Islam sejak awal mengakui pentingnya ruang lindung ekologis. Seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Aḥkam al-Sulṭaniyyah, kewajiban penguasa adalah menjaga fasilitas umum dan ruang hidup masyarakat dari perusakan. Maka pembiaran perambahan hutan di hulu sungai, legalisasi tambang di badan sungai, serta pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan korporasi bukan sekadar kesalahan kebijakan, melainkan pengingkaran terhadap amanah kekuasaan dalam perspektif syariah.


Jalan Keluar: Pembenahan Tata Kelola
Akar persoalan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia terletak pada tata kelola yang buruk, minimnya transparansi informasi, praktik perizinan yang manipulatif, serta kebijakan pembangunan yang tunduk pada kepentingan modal. Selama akar struktural ini tidak dicabut, kerusakan ekologis hanya akan terus berulang dalam siklus bencana yang sama. Karena itu, jalan keluar tidak cukup ditempuh melalui pendekatan teknokratis atau tambal sulam kebijakan, melainkan menuntut perubahan struktural dan kultural secara bersamaan.


Merujuk pada tradisi Islam, terdapat konsep ḥisbah, yakni pengawasan publik atas penyelenggaraan urusan bersama, yang relevan sebagai kerangka etis untuk memperkuat peran masyarakat dalam tata kelola sumber daya alam. Konsep ini menegaskan bahwa umat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki hak sekaligus kewajiban moral untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak berlangsung secara zalim, eksploitatif, dan merusak kehidupan. Maka dalam konteks negara modern, prinsip ini dapat diterjemahkan ke dalam partisipasi bermakna masyarakat dalam proses perizinan, pengawasan lingkungan, serta evaluasi kebijakan pembangunan.


Maka pada konteks ini, sudah jelas bahwa Islam menuntut agar manfaat dan risiko pembangunan didistribusikan secara adil, serta menolak pemindahan beban kerusakan kepada kelompok paling rentan, seperti masyarakat adat, petani kecil, nelayan, dan warga miskin di wilayah rawan bencana. Ketika keuntungan ekonomi dinikmati oleh segelintir aktor, sementara risiko ekologis dan sosial dipikul oleh rakyat banyak, maka praktik tersebut tidak dapat dibenarkan, baik secara ekologis maupun teologis.


Dengan demikian, jalan menuju keberlanjutan hanya mungkin ditempuh jika umat Islam dan masyarakat luas dilibatkan secara bermakna dalam tata kelola sumber daya alam, negara menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pelindung ruang hidup dan hak dasar warga, serta prinsip-prinsip syariah, terutama maqaṣid, keadilan, dan keseimbangan. Tanpa pembenahan tata kelola dan penguatan partisipasi umat, keberlanjutan akan tetap menjadi jargon, sementara krisis ekologis terus berulang sebagai harga dari pembangunan yang kehilangan arah moralnya.


Wahyu Eka Styawan, pengkampanye di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional