Opini

ICIS, Eksperimentasi Intelektual dan Penguatan Peran Global NU

Ahad, 10 Agustus 2008 | 23:00 WIB

Oleh Ahmad Fahir

Konferensi Ulama dan Cendekiawan Muslim se-Dunia (International Confrence of Islamic Scholars/ICIS) III yang digagas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapatkan perhatian luas masyarakat dunia.

Hajat yang dilangsungkan di Jakarta pada 29 Juli-1 Agustus 2008 lalu itu, diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di dunia Islam dewasa ini. Kegiatan yang mempertemukan intelektual Islam dari berbagai penjuru dunia ini, juga diharapkan dapat meretas peta jalan baru bagi perdamaian dunia Islam.<>

Konferensi itu melibatkan 350 peserta dari 60 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Mereka terdiri dari para ulama, cendekiawan, akademisi, pengamat, praktisi resolusi konflik multietnis dan non-partisan.

ICIS I digelar tahun 2004. Tema yang diangkat seputar rekonstruksi pemikiran keagamaan untuk mempererat hubungan antaragama dan antarbangsa. ICIS II tahun 2006 mengkaji isu perdamaian dan keadilan global. Sedangkan ICIS III akan membahas perdamaian dan penyelesaian konflik di negara-negara Islam.

Eksperimentasi Intelektual
Pada 1998, Nurcholis Madjid pernah mengatakan, Indonesia sesungguhnya baru akan terwujud tahun 2020. Hal itu dimulai dengan booming intelektual anak-anak NU, yang sejak 1970-an, mulai menyadari dan berlomba-lomba masuk perguruan tinggi setelah sekian lama hanya berkutat di dunia pendidikan pesantren.

Gerakan kembali ke Khittah 1926 sejak 1984, ikut mendorong tumbuhnya kesadaran orang untuk untuk menggeluti dunia pendidikan modern.

Ketika pada 1999 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipercaya menjadi presiden, Nurcholis spontan menyatakan, fenomena tersebut merupakan akselarasi momentum kebangkitan intelektual NU. Kebangkitan intelektual NU terjadi 11 tahun lebih cepat dari yang diperkirakan.

Jika pada 1970-an dan 1980-an, mencari intelektual di NU sangat sulit, situasi tersebut sekarang sudah berubah. Kini, NU sudah kebanjiran intelektual dan pakar dari berbagai disiplin ilmu. Peran yang diambil juga beragam dan menyebar di ranah politik, pesantren, lembaga swadaya masyarakat, media, hingga kampus.

Kini, generasi intelektual NU mulai mewarnai jagat intelektual Islam Indonesia. Bahkan, kini mencari profesor berlatar belakang NU di kampus-kampus besar umum seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dan kampus-kampus lainnya di Tanah Air mulai mudah ditemukan.
Penyelenggaraan ICIS merupakan kasus baru yang memperkuat fakta bahwa kini generasi intelektual NU sudah siap bersaing. Bukan hanya dengan intelektual komunitas Islam lain yang sebangsa, namun juga dengan komunitas intelektual Islam internasional.

Peran Global ”Kaum Sarungan”
Selain sebagai eksperimentasi generasi intelektual NU, ICIS juga sebagai wahana guna memperkuat peran NU di dunia. Orang NU yang sering diidentikkan dengan ”kaum sarungan”, ”tradisional”, ”kampungan”, dan berbagai istilah streotip lainnya, telah menunjukkan peran global yang sangat bermanfaat bagi peradaban umat manusia. Meminjam istilah Martin van Bruinessen, melalui prakarsa ICIS, NU telah menjukkan diri sebagai jamaah konservatif yang mampu melahirkan gerakan progresif.

Sebetulnya, kalau diamati dari kajian komunikasi, tidak tepat untuk menyebut NU sebagai masyarakat tradisional. Identifikasi tradisional, sangat bergantung pada persepsi dan sikap yang ditunjukkan. Sejauh ini, persepsi dan sikap warga NU terhadap perubahan sosial sangat positif, bahkan progresif. Sikap toleransi, akulturasi, dan apresiasi pada budaya-budaya komunitas lain yang berbeda justru lebih tampak pada diri orang NU ketimbang komunitas lainnya yang selama ini sering disebut sebagai kelompok modernis.

Penyelenggaraan ICIS bukan gerakan progresif pertama yang dilakukan NU. Pada Muktamar NU Banjarmasin pada 1935, NU telah menunjukkan sikap progresif melalui rekomendasi tidak perlunya kawasan Nusantara menjadi Islam setelah merdeka.

Sejarah lahirnya NU, antara lain, dipengaruhi kondisi dan persoalan dunia yang terjadi pada 1926. Komite Hijaz yang dibentuk ulama Indonesia kala itu, untuk melawan penyeragaman ideologi dan pemberangusan pluralitas umat Islam yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi, merupakan embrio lahirnya NU.

Semangat Hijaz yang mengilhami pendirian NU menginspirasi PBNU dalam menggagas ICIS untuk memperkuat peran NU di dunia internasional. ICIS diharapkan menjadi sumbangan nyata NU bagi peradaban umat manusia.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat


Terkait