Opini

Kebhinnekaan Ala Nasida Ria

Kamis, 4 Agustus 2011 | 00:30 WIB

Oleh : Slamet Thohari *

Pada kisaran zaman era tahun 1980-ankita bisa selalu mendengar lagu-lagu Nasida Ria yang selalu diputar sebelum ada pengajian di masjid-masjid daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam setia acara khitanan (sunatan) dan acara pernikahan tetanggaku pada banyak generasi. Hampir seluruh kampung-kampung melakukan pemutaran musik-musik Nasidaria, bahkanlagu ini pun diputar saat tasyakuran naik haji atau pengajian-pengajian lainnya.

Setiap kali group music ini di putar di TVRI, anak-anak santri berburu berlari melihat TV. Anak-anak, remaja, pemuda bahkan orang-orang tua dan jompo pun, mencintai lagu Nasida Ria. Kebiasaan masyarakat kala itu, setiap ada hajatan semisal sunatan, selain menyuguhkan khataman Al-Qur’an, pemutaran video film-film laga, juga ada pentas “orjen tunggal” (kami biasa menyebut begitu) yang menyanyikan lagu-lagu Nasida Ria.<>

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Lagu lagu Nasida Ria begitu mistis, tapi menggembirakan. Mudah dihapal dan bisa dinyanyikan rame-rame.

Apa menariknya Nasida Ria? Perlu diketahui, Nasida Ria adalah kelompok music yang lahir dari masyarakat pedesaan, santri khususnya. Letaknya di sana, di Kaliwungu Semarang. Semua musisinya perempuan. Mereka main gitar, biola, kendang dan alat-alat music modern lainnya. Tentu ini sebuah revolusi, mengingat saat2 kelahiranya tahun 80-an music bagi masyarakat santri adalah masih menjadi barang yang sulit ditrima, bahkan tak jarang di antara kiyai-kiyai itu banyak yang mengatakan haram hukumnya. Sekali lagi ini tahun 80-an, sebelum ada gerakan islam progressive muncul,  saat Iwan fals meluncurkan album Ethopia atau Sore di Tugu Pancoran. Di barat tentu saat Gun n Roses, Skid Row, dan Metallica lagi naik daun.

Namun sang manajer, KH Bukhori dan Mudrikah Zaih, sangat lihai, transformative dan membumi. Gaya dan liris music disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan selera masyarakat pedesaan. Dia berpikir keras, bagaimana berdakwah (mengajak) kebaikan dengan bahasa masyarakat desa, mudah ditrima dan sekaligus menghibur.  Keinginan mereka untuk membangkitkan semangat manusia Indonesia di level bawah sangat kuat dan berujung dengan baik. Lirik lagu-lagunya sangat mendukung bagi terciptanya sebuah system masyarakat yang damai dan rukun. Lihatlah salah satu lirik dari lagunya yang berjudul “Ham Ham Ham” (silahkan di cari di Youtube, Ham ham ham nasida ria).

Manusia, diciptakan, oleh Allah yang maha kuasa
pria wanita, tiada beda, hak asasinya sama.
Kulit putih, kulit hitam, kulit kuning dan sawo matang,
apapun sukunya, apapun bangsanya hak asasinya sama.
Marilah kita hormati hak asasi manusia,
agar damai hidup ini aman tentram dan sentosa

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Jelas sudah, lagu-lagu ini sangat jauh melampui zamanya. Mungkin iwan Fals, tapi Iwan Fals tak bisa dimengerti oleh ibu-ibu kampung seperti Ibuku dan penduduk  desa yang jauh dari buku wah dan modern. Nah, Nasida Ria mampu menembus itu. Menebarkan “petuah-pertuah” yang zaman sekarang banyak didengungkan, yang sekarang banyak diperjuangkan sekaligus banyak di langgar. Jauh sebelum ada LSM-LSM yang konsen pada isu-isu HAM, Nasida Ria sudah blusak blusuk masuk kampung menyuarakan HAM, dengan sangat sederhana.

Simak pula pada lagu Damailah Palestina yang bisa ditemukan di sini: http://www.youtube.com/watch?v=eCneq2JBxS0 lagu ini simple, dan sangat mistis. Menganjurkan kedamaian dunia, agama, yang merupakan sumber konflik di palestina menjadi sasaran. Lalu Nasida Ria menganjurkan untuk berdamai bukan dengan cara menyalahkan Israel dan tidak pula mengagung2kan Islam. Namun dengan penuh perasaan, kembalilah ke ajaran agama masing-masing bahwa perdamaian adalah ajaran setiap agama. Wahai umat Yahudi, kembalilah ke kitab suci taurot, Wahai Umat Nasrani kembalilah ke kitam suci Injil, dan Wahai umat islam, kembalilah ke kitab suci alqur’an. begitu kata Nasida Ria. Semuanya menyerukan kedamaian.

Tengok pula lagu Tahun 2000,

"Tahun kerja serba mesin, berjalan berlari menggunakan mesin, manusia hidup berkawan mesin, makan dan minum dilayani mesin.
Penduduk makin banyak, sawah ladang menyempit, mencari nafkah makin sulit, tenaga manusia diganti mesin, pengangguran meraja lela.
Sawah ditanami gedung dan gudang, hutan ditebang jadi pemukiman, langit suram udara panas, akibat pencemaran."

Lagu ini sangat futuristik . Mereka bicara perubahan zaman, perubahan ekosistem, lingkungan, dan bahkan climate changes. Jauh sebelum Walhi  atau orang2 yang rame2 bicara perubahan iklim dan globalisasi. Dulu sekali, Nasida Ria memperingatkan orang2 desa untuk siaga, bahwa aka nada dunia yang rusak-rusakan, ada pemanasan global, ada hutan yang akan dilibas dan seterusnya.

Simak pula lagu-lagu Perdamaian-perdamian, yang  rilis ulang oleh Gigi. Simak pula lagu rumahku keluargaku yang memberikan petuah bahwa kita mesti memulainya dari keluarga. Dan seterusnya. Ada banyak sekali lagu-lagu Nasida ria yang enak didengar, sederhana liriknya dan sangat kuat maknanya.

Kini, dua dasawarsa kemudian, di Laptopku, koleksi Nasida Ria sangat banyak, terkadang setiap pagi sebelum berangkat ke kampus, aku memutarnya, adem ayem rasanya, landep menembus sukma, damai di hati. Minimal, lagu-lagu ini menjadi pelipur rindu saat rasa kangen pada kampung halaman menyerangku.

***

Nasida Ria jelas memberikan perubahan besar. Mereka menebarkan prinsip-prinsip kemanusiaan ke masyarakat bawah dengan bahasa yang mudah dengan menghibur.   Prinsip-prinsip yang diusung tak sama halnya dengan para akademisi, intelektual dan kalangan LSM belakangan ini. Namun tentu ada bedanya? Lantas apa beda antara mereka dan Nasida Ria? Nasida Ria mempromosikan dan melakukan perubahan dengan bahasa kerakyatan, sedang akademisi, intelektual dan LSM dengan bahsa langit.

Seminar bulanan, bedah buku, konferensi, penelitian dan bahasa-bahasa yang rumit, tak pernah tersentuh oleh grassroot—ini pendapatku.  Nasida Ria memahami bahwa masyarakat santri adalah modal besar yang mampu digunakan untuk menopang perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, untuk itu penting bagi mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat itu. Sedang LSM, akademisi, dan intelektual kebanyakan ber-circle dikalangan mareka sendiri, menyediakan diskusi dan yang datang ya itu-itu aja, mencari konfrensi di luar negri, menulis buku yang rumit, menulis di koran yang rumit, dan jika ada konflik mereka memberikan statement. Gubrak!

Menurut Anda, Layakah Nasida Ria menjadi pelajaran buat kita, mengingat banyaknya kekerasan yang berbasis agama belakangan ini? Entahlah ini cuman pendapatku, sebagai orang desa. Meski begitu,  setidaknya aku merasa tertampar oleh Nasida Ria, karena selama ini terlalu Elitis, bagaimana dengan Anda? Setidaknya pendapat filsuf terkenal  Gaddamer layak dikutip di sini, to stand within tradition is not limit of knowledge but makes it possible!

 

*Slamet Thohari, Anak muda NU, tinggal di Honolulu, Amerika Serikat.


Redaktur  : Syaifullah Amin


Terkait