Opini

Resolusi Jihad NU, Fakta Sejarah yang Disingkirkan

Senin, 22 Oktober 2012 | 07:35 WIB

Hari ini, 22 Oktober, 67 tahun lalu PBNU menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya untuk menyikapi perkembangan situasi yang menunjukkan gelagat bakal berkuasa kembalinya penjajah Belanda melalui pemerintahan yang disebut NICA.  
<>
Pada awal Oktober 1945, tentara Jepang di Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada Inggris. 

Pemerintah RI menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah RI bahkan  menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu  membuat marah para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.

Kecurigaan terhadap orang-orang sosialis yang tergabung dalam PRI melakukan operasi sepihak menyelamatkan orang-orang Belanda, tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa sudah tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia. Suasana di Surabaya pun memanas. 

Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang, diam-diam  oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlah tempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu kemudian dihadang massa di depan markas PRI di Simpang Club dan para tawanan itu dihakimi massa secara brutal.

Kabar bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar  di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan ditambah pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai mengudara. Atas dasar berbagai pertimbangan  PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada  21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.  

Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”

Inilah seruan Jihad yang secara syar’i disepakati para ulama dengan maksud utama  membela Negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 dari serangan bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia. Penduduk Surabaya yang sudah panas pun tambah terbakar semangatnya karena amarah mereka terhadap musuh memperoleh legitimasi Jihad dari ulama, sehingga mati pun dalam keadaan membela kedaulatan Negara Indonesia akan beroleh balasan surga. 

Demikianlah, sejak tanggal 22 Oktober 1945 itu seluruh penduduk bersiaga perang menunggu pendaratan tentara Inggris yang kabarnya sudah tersiar sejak pekan kedua Oktober 1945. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan yang ditandai teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar pun makin mengobarkan semangat perjuangan semua penduduk Jawa Timur dari kalangan pemimpin setingkat gubernur, Menteri Pertahanan, Walikota  hingga ke warga kampung.

Seruan untuk berjihad fii sabilillah inilah yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran Massal) pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Saat itulah, arek-arek Surabaya yang dibakar semangat jihad menyerang Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Hasilnya, lebih dari 2000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewasnya. Sang Brigadir Jenderal, A.W.S. Mallaby juga tewas akibat dilempar granat.

Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa komando yang berlangsung selama tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung  pada pecahnya pertempuran besar Surabaya 10 November 1945 yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Pahlawan. 

Sayang sekali, fakta sejarah tentang Resolusi Jihad NU dan Perang Massa (Tawurang Massal) tiga hari itu diam-diam tidak disinggung dalam penulisan sejarah seputar  peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang dikenang oleh Inggris dengan satu kalimat: “Once and Forever”, bahkan belakangan peristiwa itu disingkirkan dari fakta sejarah seolah-olah tidak pernah terjadi. (Agus Sunyoto, Sejarawah dan Sastrawan, tinggal di Malang, Jawa Timur)


Terkait