Al-Matnus Syarif, Kitab Fiqih Dasar Karya Syaikhona Kholil Bangkalan
Selasa, 24 Mei 2016 | 12:40 WIB
Selama ini, keberagaman penulisan kitab kuning setidaknya berada dalam tiga lingkaran. Pertama, hadir kitab kuning bercorak matan (inti), yang merespon pelbagai masalah keagamaan relatif singkat dan padat. Dan ada pula, narasi penulisan yang berupa syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir). Perbedaan paling mendasar, jika yang pertama menghadirkan tema-tema (tuntutan) keagamaan, baik berupa kewajiban personal atau bahkan kolektif langsung pada intinya. Sementara dua bagian terakhir, merupakan kelanjutan dari yang pertama, setidaknya dalam merespon tema dan atau persoalan yang sama. Pada bagian ini, umumnya membahas tema tertentu dengan demikian luas serta ketebalan berjilid-jilid.
Upaya melestarikan ‘model’ kepenulisan seperti itu terus berlangsung hingga kini. Tradisi yang, pada awalnya, dimonopoli oleh komunitas Muslim Timur Tengah. Pada akhirnya, seiring menjalarnya tradisi keilmuan yang terus meluas, mulai merembes hingga kawasan Nusantara, utamanya melalui peran aktif ulama-ulama pesantren.
Di antara sekian banyak karya ulama Nusantara adalah kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif (teks utama yang berjuluk ‘pembuka kebaikan’). Kitab ini ditulis oleh Al-Alamah as-Syaikh Muhammad Kholil bin Abdul Latif Al-Bangkalani atau yang lebih dikenal dengan Syaikhona Kholil Bangkalan. Sesuai namanya, kitab ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, bukan hanya karena ketokohan penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan ‘landscape’ keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan pastinya, mudah difahami.
Sebuah Trikotomi Pembelajaran
Membaca sketsa kehidupan Syaikhona Kholil, tampak jika beliau mewarisi trah keulamaan baik dari ayahnya maupun dari sang kakek. Kiai Abdul Latif, ayah beliau, merupakan sosok panutan bagi masyarakat sekitar. Sementara kakeknya adalah Kiai Hamim, yang beristri saudara perempuan Kiai Nur Hasan, pendiri Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan.
Terlepas dari semua itu, trah keulamaan dalam diri Syaikhona Kholil menjadikan beliau sebagai figur keagamaan, yang dalam banyak literatur, dikisahkan telah melewati masa perjuangan yang cukup pelik. Namun dari usaha kerasnya, beliau tidak hanya mencetak tokoh-tokoh besar negeri ini, misalnya, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Wahab Chasbullah (Tambakberas), KH Abdul Karim (Lirboyo), dan masih banyak lagi. Selain itu, beliau meninggalkan karya tulis untuk generasi setelahnya. Buah pena yang dimaksud adalah kitab yang tengah kita bicarakan ini: Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif.
Dalam pada itu, kitab ini menyuguhkan—yang oleh penulis dibahasakan dengan—trikotomi pembelajaran. Suatu pengistilahan, yang sebenarnya mengacu pada intisari dari kitab yang ditulis oleh beliau. Muatan intisari itu, pertama: kitab ini berbicara tentang filosfi kesempempurnaan ‘hamba’ dengan predikat Muslim. Yang dimaksud adalah, pijakan teologis paling mendasar dengan menanamkan sikap kepatuhan dan keyakinan berupa pengenalan terhadap rukun iman dan rukun Islam (h. 1-2).
Kedua, usai menambatkan landasan teologis, Syaikhona Kholil menyinggung permasalahan lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini berkaitan dengan tata-nilai ibadah seorang hamba, yakni berupa tatak-rama atau etika. Karena bagaimanapun, praktik ibadah tidak hanya berkutat pada seperangkat aturan berupa syarat-rukun atau pun kesunahan. Hal itu memang perlu, namun mengedepankan etika juga tidak kalah pentingnya (h. 4-5). Dalam contoh sederhana, misalnya, Syaikhona Kholil mewanti-wanti untuk tidak membelakangi kiblat tatkala melakukan aktivitas, yang menurut keumuman, dianggap tidak pantas, umpamanya sewaktu membuang hajat (qadlil hajat).
Ketiga, kitab ini mengusung tema besar yang menyangkut keabsahan peribadatan seorang hamba. Dalam hal ini, Syaikhona Kholil—sebagaimana penulis-penulis kitab dengan tema serupa—memulai pembahasaan dengan mengurai tuntutan bersuci (thaharah). Yang tak lain, merupakan tahapan pertama sebelum melangkah ritus ibadah berikutnya (h. 6-14). Setelah itu, beliau menuturkan prasyarat sebelum menjalankan shalat berikut permasalahannya. Pun demikian, beliau menampilkan syarat-rukun, kesunahan, dan juga aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan predikat ibadah paripurna. Penjelasan berikutnya, beliau menyajikan permasalahan merawat jenazah (tajhizul janaiz), puasa romadlon, i’tikaf dan diakhiri dengan risalah haji dan umroh.
Namun demikian, sekalipun berupa kitab matan, Syaikhona Kholil menyuguhkan beberapa tema yang—umumnya—tidak ditemukan dalam kitab sejenis. Tema yang dimaksud, misalnya, tata-aturan melakukan salam (As-Salam). Umpamanya, kalimat salam harus ma’rifat, menghadirkan huruf “kaf” khithab yang besambung dengan “mim” jamak (plural) dan kontinu saat mengucapkan dua kalimat salam: “As-Salamu 'Alaikum”. Persoalan ini, sekalipun telah mafhum, namun tidak banyak kitab-kitab matan yang menguraikannya. Umumnya, hanya ditemukan dalam kitab bercorak syarah (ulasan) atau hasyiyah (catatan pinggir).
Sementara itu, padanan kata ‘salam’ adalah ‘tahlil’ yang bermakna menghalalkan. Diartikan demikian, karena ketika telah mengucapkan salam seorang telah ‘halal’ melakukan aktivitas yang sebelumnya dilarang, seperti melakukan aktivitas yang bisa mencederai keabsahan shalat. Pengertian ini berdasarkan sabda Nabi Saw.: “Pijakan yang menjadi kunci shalat adalah wudlu, sementara yang mengharamkan (beraktivitas) selain shalat adalah takbirotul ihrom dan tindakan yang menghalalkan (beraktivitas) selain shalat adalah salam”. Dengan demikian, salam menjadi penutup serangkaian syarat-rukun shalat dan disaat yang sama, telah dihalalkan (baca: diperbolehkan) untuk melakukan aktivitas tertentu, yang sebelumnya dilarang dalam shalat.
Pada akhirnya, kitab ini berhasil menjembatani kesukaran dalam memahami literatur keislaman, utamanya dalam (proses) mempelajari ilmu fiqih. Dan tentunya, hadirnya kitab ini merupakan langkah nyata wujud kepedulian Syaikhona Kholil pada generasi setelahnya. Kitab yang rampung ditulis pada malam Rabu 17 Rajab 1299 hijriyah ini, setidaknya semakin melengkapi ‘lumbung’ keilmuan yang di dalamnya berisi harapan terciptanya generasi pembelajar di kemudian hari. Wallahu a’lam!
Identitas kitab:
Judul : Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif
Penerbit : Maktabah Kholid bin Ahmad bin Nabhan
Tebal : 52 halaman
Peresensi : M. Achfas Afandi, kader NU; santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur