Penulis: KH Ma’ruf Amin
Penerbit: eLSAS, Jakarta*
Jumlah Halaman: xiii + 383 halaman
Harga: Rp 59.000
Peresensi: Muhtamarukin**
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam sengaja didesain untuk menjelaskan persoalan-persoalan secara global. Sebab, jika dijelaskan secara rinci, bisa jadi Al-Quran kehilangan relevansinya di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Sementara, untuk merinci dan memberikan petunjuk pelaksanaan suatu ajaran (hukum), inilah tugas Rasulullah untuk menjelaskannya dengan ucapan, perbuatan, dan penetapannya, yang kemudian kita sebut sebagai Hadits atau Sunnah Nabi.<>
Namun, persoalan yang dijelaskan Nabi kebanyakan hanya terkait bidang ibadah. Sementara, dalam bidang muamalah, pada umumnya, Nabi tidak banyak memberikan rincian yang bersifat aplikatif, karena bidang muamalah senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia, di samping juga dipengaruhi adat istiadat setempat. Maka, untuk mengantisipasi perubahan itu, Allah telah memberikan sarana yang memungkinkan umat manusia untuk terus menjalankan ajaran Islam, melalui sebuah proses bernama ijtihad.
Ijtihad adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengeluarkan hukum dari Al-Quran dan Hadits untuk menjawab berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat. Ijtihad ini menjadi sarana penting untuk menjawab persoalan-persoalan yang belum tercakup secara tegas dalam Al-Quran dan Hadits. Karenanya, diperlukan persyaratan yang ekstra ketat bagi seseorang (ulama) untuk melakukan ijtihad (menjadi mujtahid), dan bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri, wajib baginya untuk mengikuti pendapat para mujtahid.
Dalam buku bertajuk “Fatwa dalam Sistem Hukum Islam”, KH Ma’ruf Amin menyatakan, salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad adalah dengan bertanya atau memohon penjelasan kepada orang yang mempunyai kompetensi dalam menjawab persoalan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang status hukum suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan hukumnya. Status hukum inilah yang dimaksudkan sebagai fatwa.
Fatwa sangat dibutuhkan umat Islam yang tidak mempunyai kemampuan untuk menggali hukum langsung dari sumbernya, karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (faao’idl), batasan-batasan (hudud) serta menyatakan tentang halal atau haramnya sesuatu. (halaman 8). Berbagai persoalan baru yang muncul, menuntut setiap orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang hukum Islam untuk mengeluarkan fatwa sebagai upaya memberikan rasa ketenangan dan kepastian bagi umat Islam dalam menjalankan suatu perbuatan yang status hukumnya belum jelas.
Secara etimologis, fatwa berasal dari bahasa Arab: al-fatwa, yang merupakan bentuk masdar fata, yaftu, fatwan yang artinya muda, baru, atau penjelasan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa fatwa bersal dari kata al-fatwa atau al-futya yang artinya jawaban terhadap suatu persoalan. Secara terminologi, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok.
Saat ini, sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan perseorangan karena mengingat banyaknya persoalan yang muncul tidak mungkin bisa diselesaikan seorang saja. Selain memang, seperti disebutkan di atas, persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid sangatlah berat. Maka, melalui sebuah lembaga yang kompeten, para ahli agama Islam akan saling bahu-membahu dalam menentukan hukum atas persoalan yang berkembang di masyarakat dan butuh segera untuk dicarikan jawaban dan solusinya.
Fatwa mempunyai kekuatan hukum yang tidak mengikat. Sungguh pun demikian, fatwa menjadi bahan pertimbangan penting bagi umat Islam di mana pun berada. Berbagai penelitian menunjukkan, di Indonesia fatwa mempunyai peran penting dalam memengaruhi pilihan dan sikap masyarakat atas berbagai persoalan yang sedang terjadi. Di beberapa negara Islam, fatwa resmi yang dikeluarkan pemerintah malah bersifat mengikat dan ada sanksi hukumnya.
Dalam buku setebal 383 halaman ini, KH Ma’ruf amin yang kini menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus yang membidangi masalah fatwa dan hukum Islam mengurai 5 hal atau rukun yang berkaitan dengan proses dikeluarkannya fatwa yakni al-ifta atau kegiatan menerangkan hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan, mustafti atau individu atau kelompok yang meminta fatwa, mufti atau orang dan istitusi yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, mustafti fihi atau masalah yang dipertanyakan dan ingin dicarikan status hukumnya, dan fatwa itu sendiri sebagai jawaban hukum atas masalah yang ditanyakan. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam penetapan fatwa.
Fatwa tidak bisa dikeluarkan secara sembarangan. Apalagi, ia menempati posisi penting dalam hukum Islam karena statusnya sama dengan hasil ijtihad. Maka, dalam menetapkan fatwa, KH Ma’ruf Amin menyebutkan tiga metode utama dalam berfatwa, yakni metode bayani, ta’lili, dan istishlahi.
Metode bayani terkait analisis kebahasaan. Dalam hal ini, para mufti diharuskan mengerti gramatikal dan berbagai kaidah dan seluk-beluk bahasa Arab. Metode ta’lili terkait dengan proses intinbat atau pengeluaran hukum dari sumber utamanya. Ini terkait dengan persoalan-persoalan yang tidak secara tegas dijelaskan dari dua sumber hukum utama itu, tetapi secara tersirat telah dijelaskan. Metode istishlahi terkait dengan penarikan kaidah umum dari ayat dan hadits untuk kemudian diterapkan dalam kasus yang tidak mungkin diterangkan secara rinci dalam dua sumber hukum Islam tersebut, misal, hukum membuat Surat Izin Mengemudi (SIM). Yang terakhir ini harus bersandar pada aspek mendatangkan manfaat (jalbul manfaat) dan menolak kerusakan (dar’ul mafasid).
Dengan metode apa pun, fatwa, selain harus tetap mengacu pada dua sumber utama hukum Islam, yakni Al-Quran dan Hadits, juga harus mengacu pada dua sumber hukum Islam lainnya yang telah disepakati para ulama, yakni ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mengenai suatu hukum pada suatu masa. Qiyas adalah menyandingkan masalah yang telah diketahui hukumnya dari Al-Quran dan Hadits dan masalah yang belum diketahui hukumnya atas dasar persamaan ‘illat atau penyebab hukumnya. KH Ma’ruf Amin memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang empat sumber hukum Islam di atas.
Buku ini juga sangat lengkap dan bisa menjadi rujukan karena mengulas juga beberapa sumber hukum Islam lainnya yang sedang berkembang, namun statusnya masih diperdebatkan ulama yakni: maslahah, istihsan, istishab, zariat, urf (adat-kebiasaan), syar’u man qablana (syariat sebelum Islam) dan madzab para sahabat.
Buku ini juga menyebutkan beberapa produk fatwa yang telah dikeluarkan MUI. KH Ma’ruf Amin yang 7 tahun menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI dan yang disebut-sebut sebagai “pelopor fatwa MUI”, mengakhiri pembahasan dalam bukunya dengan mengurai beberapa hasil fatwa yang telah dikeluarkan MUI, terutama tentang sertifikasi halal-haram yang telah dikeluarkan.
KH Ma’ruf amin yang juga adalah Ketua Dewan Syariah Nasional juga membubuhkan bab khusus mengenai ekonomi syariah dalam timbangan fatwa. Sebagai sistem ekonomi alternative, diperlukan perangkat fatwa untuk terus mengarahkan sistem ekonomi baru agar tetap berjalan sesuai dengan syariat Islam, dan di sisi lain fatwa diperlukan untuk semakin memantapkan hati masyarakat dalam memilih model ekonomi syariah.
*Alamat: Graha Paramuda Jalan Otista Raya (Ruko Prima) Blok A Nomor 32, Ciputat, Tangerang, Jawa Barat. 15411. Telepon: 021 7499742/71235959. Buku juga tersedia di toko buku Islam dan NU, lantai 1 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
**Dosen, Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur