Pustaka

Mbah Sahal, Kiai Alifbata dan Kiai Mancanegara

Ahad, 11 Mei 2014 | 23:00 WIB

Dan kita mendengar nyanyian kabung: Di muka pintu masih/ bergantung tanda kabung/ Seakan ia tak akan kembali/ Memang ia tak kembali/ tapi ada yang mereka tak/ mengerti - mengapa ia tinggal diam/ waktu berpisah...

Sajak dari Subagio Sastrowardojo yang berjudul ‘Dan Kematian Makin Akrab’ ini, membawa kita kepada labirin pemahaman tentang kematian yang seolah tiada ujung dan tepi. Kalimat mengapa ia tinggal diam memanggul makna bahwa orang mati seringkali tinggal diam di lubuk hati orang-orang. Ia tak hendak disembunyikan oleh pusara yang menimbun hidupnya (Dipinjam dari ungkapan William Shakespeare, Sonnet 17).

Agar bisa termasuk ke dalam mereka yang tinggal diam, setidaknya ada yang musti kita ketahui tentang ilmu yang bermanfaat. Waktu kita belajar agama, penekanan terhadap pentingnya ilmu yang bermanfaat membikin kita paham satu hal penting: orang yang berilmu tidak akan mati. Dan dalam kasus ini, Kiai Sahal patut menjadi teladan dan panutan.

Kiai Sahal wafat pada 24 Januari yang lalu. Tapi layaknya orang berilmu lainnya, Kiai Sahal masih ada dan hidup. Demikian apa yang dikatakan oleh Sahabat Ali R.a. dalam sebuah syair indah: ... Maka jadilah pemenang lantaran ilmu; dengannya kau akan hidup selama-lamanya/ Manusia-manusia mati dan ahli ilmu tetap hidup abadi. Bagaimana cara orang berilmu itu hidup? Mereka hidup dalam karyanya, ilmunya, dedikasinya, perjuangannya, dan segala apa yang telah ia sumbangkan untuk masyarakat yang melingkupinya.

Kiai Sahal adalah sekian dari tak banyak ulama Indonesia yang mampu mendukakan seluruh elemen masyarakat; rakyat jelata, santri, cendekiawan, pejabat tinggi, di hari wafatnya (bahkan sebagian orang meyakini bahwa bencana yang melanda negeri kita di hari wafatnya beliau adalah merupakan tanda alam pun berduka). Demikian ini didasari oleh beberapa hal. Dan beberapa hal ini dapat kita temui dalam buku ‘Belajar dari Kiai Sahal’ yang terbit pada bulan Mei 2014 ini. Buku yang dikatakan bagaikan menyusun mozaik (lihat: sambutan tim redaksi) ini mampu untuk setidaknya membantu memberi gambaran kepada pembaca tentang sosok Kiai Sahal dari sudut pantang yang beragam dan atau bervariatif.

Beberapa hal itu, yang disusun bagai mozaik itu, sejenak mengentaskan kesedihan kita dengan semaian pelajaran berharga melalui kesan-kesan dari seseorang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Atau seseorang yang mengenal beliau. Atau seseorang yang bersimpati terhadap pribadi maupun pemikiran beliau. Seperti apa yang diungkapkan oleh KH A. Mustofa Bisri:

Beliau termasuk segelintir orang yang menguasai fikih di zaman sekarang. Apalagi ditambah mengkontekstualisasikan fikih ke dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang memaksakan untuk menerapkan fikih sebagaimana yang dipelajari. Ada pula yang sama sekali tidak menggunakannya. Kiai Sahal tidak seperti itu. Jadi beliau masih menghendaki fikih dengan pemahaman-pemahaman yang baik yang sesuai dengan konteks zaman sekarang. Itulah kelebihan beliau. (Halaman 10).

Kesan ini rangkul-merangkul dengan berbagai cerita menarik yang mengharukan, menyenangkan, menggugah, menginspirasi, merasuki, dari potongan-potongan mozaik dalam buku ini. Tak hanya itu, peletakkan beliau sebagai objek material memungkinkan adanya alternatif sudut pandang (dalam bahasala lain disebut objek formal) dari si pencerita atau penulis. Buku ini memuat 46 tulisan dari penulis yang jumlahnya sama. Sebanyak jumlah itu pulalah pembaca akan menemukan sudut pandang.

Seperti apa yang dikisahkan oleh salah satu murid Kiai Sahal, Wakhrodi. Ia mengambil sudut pandang dari apa yang tidak dilakukan oleh Kiai Sahal. Menurutnya, apa yang tidak dilakukan Kiai Sahal barangkali pengaruhnya sama besar atau bahkan lebih besar dari apa yang dilakukan beliau. Misalnya, ketika Kiai Sahal tidak mengundang tokoh besar pada acara haul Ayahhanda beliau, Kiai Mahfudz. Atau ketika beliau memilih lewat pintu belakang usai menghadiri pertemuan lembaga-lembaga yang beliau geluti demi tidak disorot oleh media. Atau ketika beliau berniat untuk tidak menghadiri undangan partai Golkar (pada poin ini ada cerita menarik) yang waktu itu dihadiri oleh Presiden Soeharto. Atau ketika beliau menolak uang fee dari pimpinan proyek pembangunan gedung MUI Jawa Tengah. Bahkan sampai apa yang beliau lakukan berupa tidak tergoda oleh politik praktis pasca era reformasi. (Halaman 46-51).

Seorang Kiai Sahal dirangkum dan diterjemahkan sedemikian mengesankan dalam buku ini. Kiai Sahal adalah kiai alifbata: istilah untuk menyebut seorang kiai yang meskipun telah menjadi seorang faqih, tapi masih mau mengajari anak kecil dan mengajarkan hal-hal yang ‘dianggap’ kecil. Laiknya cerita yang diungkap oleh Tutik Nurul Jannah, ibu dari kedua cucu beliau. (Halaman 18-23).

Begitu juga, Kiai Sahal adalah ulama Mancanegara. Kitab beliau yang bertajuk Thariqat Al-Hushul ‘ala Ghayat Al-Wushul, sebuah hasiyah (komentar) atas kitab karya Imam Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, mendapat sambutan yang tidak sembarangan dari ulama Timur Tengah. Sampai-sampai, dalam satu kisah, salah satu Syaikh Universitas Al-Azhar pernah menggunakan kitab itu sebagai rujukan dalam menyusun muqorror (diktat untuk mahasiswa). Beliau juga merupakan penggagas fikih sosial; kajian fikih yang dekat dengan masyarakat dan begitu lentur serta bersifat kontekstual (meskipun tidak melepaskan diri dari tekstual, warisan ulama klasik).

Dalam buku ini pula, pembahasan mengenai kiprah dan pemikiran beliau mendapatkan posri yang cukup dan berimbang. Penulis seperti Sumanto Al Qurtuby, M. Imam Aziz, Hilmi Ali Yafie, Ahmad Suaedy, dll, menyoroti kiprah beliau di gelanggang Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Sementara penulis seperti Husein Muhammad, Akhmad Sahal, Aziz Anwar Fachruddin, dll, menyoal tentang gagasan fikih sosial dan kontektualisasi fikih klasik.

Maka, alangkah tidak merupakan suatu hal yang berlebihan, jika pada hari wafatnya beliau, rasa kehilangan nampak di hampir semua lapisan masyarakat, terutama warga NU. Demikian besar kedukaan yang melanda hingga serasa enggan ia membiarkan kita sejenak bernafas tanpa aroma berkabung. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “Sungguh, kematian sebuah qabilah (suatu kelompok) niscaya lebih ringan ketimbang matinya seorang alim”. Dalam konteks Kiai Sahal, sabda agung ini sangat relevan.

Kita boleh kenyang meratapi kesedihan akibat kehilangan Kiai bersahaja ini. Tapi, kita tak boleh kenyang mengambil pelajaran dan mau’idhoh hasanah dari karya, kisah, pesan, dan ajaran beliau. Dan buku ini, meski belum merangkum kesemua tentang beliau, tapi cukup untuk menjadi pelajaran bagi yang pernah maupun yang belum pernah belajar langsung dari beliau. Buku ini adalah pecahan Mozaik yang dirangkum dan disusun demi mengekalkan ia yang tinggal diam di dalam lubuk hati kita semua.

Judul Buku: Belajar dari Kiai Sahal
Editor: M. Imam Aziz
Penerbit: PPKMF
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal: xxiv+373 Halaman
ISBN: 978-602-951-888-7
Peresensi: Mohamad S. Arifin, santri Kiai Sahal. Saat ini sedang berkelana di Kairo, di Universitas Al-Azhar


Terkait