Tahun 2014 menjadi tahun paling ‘panas’ dan menegangkan dalam iklim demokrasi di Indonesia. Setelah sebelumnya sukses memilih para wakil rakyat (legislatif), pada 9 Juli 2014 mendatang, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pilpres, menunaikan hak pilihnya untuk masa depan Indonesia 5 (lima) tahun ke depan. Sebuah kenyataan yang mendebarkan, sebab nasib Indonesia ke depan, begitu bergantung pada pelaksanaan pilpres ini.
<>
Tentu saja kita tidak mau nasib bangsa begitu saja tergadaikan dan tercederai oleh praktik politik praktis. Praktik politik yang tak bersendikan etika, penuh manipulasi, dan politik transaksional. Karena itu menurut ulama Syafi'iyah, politik harus sesuai dengan prinsip syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan harus diarahkan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at (maqashidus syari’at). Tujuan tersebut di antaranya: Pertama, menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagaimana Islam yang memiliki spirit membebaskan. Kedua, mengembangkan nalar sehat untuk kemaslahatan umat. Ketiga, melindungi jiwa raga setiap manusia dari segala bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Keempat, menjaga harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa eksploitasi. Kelima, memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Prinsip demikian yang terekam dari sejarah panjang dan nalar politik pesantren sebagaimana dipotret secara jelas dalam buku Rethinking Pesantren. Buku ini terdiri dari beberapa bagian; Bagian pertama, memotret asal-usul pesantren dari waktu ke waktu. Bagian kedua, tentang kiai dan perannya dalam kehidupan sosial politik. Bagian ketiga, mempertegas peran santri dalam dinamika sosial politik Islam Indonesia. Dan bagian kelima, bagian penutup, seputar pesantren dan politik kultural.
Demikian kita bisa membaca nalar politik pesantren yang selalu menarik banyak perhatian banyak pihak. Pesantren selalu menjadi magnet para politikus (pejabat) yang menghasilkan. Tak pelak, mereka tak segan melakukan berbagai safari politik ‘dadakan’ dengan melakukan ziarah ke para wali dan kiai, silaturahmi ke kiai-kiai pesantren, dan aktivitas yang dianggap religius lainnya.
Realitas politik semacam itu juga diamini oleh Prof Nasar, bahwa dalam persoalan politik, karisma kiai merupakan sesuatu yang menggoda bagi siapapun yang berkuasa. Akibatnya, sering kali kiai didekati oleh para pejabat untuk meraih simpati masyarakat. Dari kedekatan-kedekatan tersebut mengalir segala macam bantuan dari pemerintah kepadanya. Lagi-lagi masyarakat bawah mendapat untung karenanya. (Hlm, 47).
Namun patut dipahami, bahwa politik hanya salah satu dari sekian banyak peran pesantren dalam memainkan peran sosialnya. Bahwa pesantren, sebagai lembaga asli yang lahir dari rahim Indonesia, mampu menangkap persoalan-persoalan masyarakat secara komprehensip. Kesadaran akan peran ini tak lain adalah sebagai wujud dari orientasi pesantren dalam upaya dakwah bil hal, yakni dakwah sosial yang betul-betul nyata dan mendesak dibutuhkan masyarakat.
Yang unik dari pesantren adalah mereka mempunyai tradisi tersendiri. Salah satu tradisi dalam memainkan peran sosialnya, pesantren selalu menjaga erat hubungannya dengan masyarakat. Tradisi-tradisi itu di antaranya tahlil, marhabanan, manaqiban, dan lain sejenisnya. Bagi sebagian pihak yang tak tahu kultur pesantren, tradisi semacam ini dianggap sebagai tradisi yang kuno dan tak relevan dengan zaman. Tetapi bagi pesantren, tradisi semacam ini justru menjadi wadah efektif untuk memperat tali silaturahmi secara kontinyu. Disadari atau tidak di sinilah pesantren melakukan kontrol sosial.
Lebih dari pada itu, pesantren juga mengilhami tradisi tirakat. Merujuk pada pandangan Prof Nasar dalam buku ini, bahwa para ulama sangat yakin, bahwa dengan dijadikannya diri mereka sebagai pemimpin dalam masyarakat, maka semakin bertambah pula amanat yang mereka pikul. (Hlm, 51). Para kiai sadar bahwa dalam menghadapi segala problem sosial masyarakat, termasuk problem politik, tak hanya cukup mengandalkan logika rasional, melainkan harus melibatkan kekuatan spiritual yang dijalankan dengan ikhtiar tirakat; puasa sunah, zikir, shalat sunah, dan berbagai riyadloh lainnya.
Karena itulah nalar politik pesantren melalui kiai dan para santrinya, sering kali sulit dibaca dan ditebak. Para pengamat politik pun berpandangan beragam, sering kali menyulut peredebatan sengit. Inilah kekuatan nalar dan fitrah politik pesantren, karena pesantren tahu betul bahwa politik bukanlah tujuan, melainkan hanya wasilah (sarana) untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk melakukan manipulasi dan merampas kemanusiaan. Pesantren bersikukuh pada perwujudan baldatun thayyibun warabbun ghafuur (negeri yang indah dan mendapatkan pengampunan dari Allah).
Walhasil, membaca nalar politik pesantren tak ubahnya membaca politik Islam Indonesia, dan itu artinya membahas nasib bangsa jauh ke depan. Meminjam istilah Prof Nasar, bahwa apa yang tengah ditempuh oleh pesantren oleh para kiai adalah langkah back to basic, kembali ke pesantren dan menjadi kiai kultural. Jalan kultural inilah yang begitu efektif untuk terus melakukan kritisasi secara objektik dan independen, tanpa memedulikan figur pemegang kekuasaan, tetap menjadi pengayom sejati masyarakat dan bangsa. Dan buku ini betul menuntun pikiran dan nurani kita untuk kembali memikirkan dan mempertimbangkan kontribusi dan peran pesantren untuk bangsa ini. Apalagi buku ini ditulis oleh seorang yang kapasitasnya sebagai pimpinan pesantren, mustasyar PBNU, dan cendekiawan Muslim. Wallahua’lam bis shawab.
Judul : Rethinking Pesantren
Penulis : Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA
Editor : Nailunni’am, Lc
Penerbit : Quanta, Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia, Jakarta, 2014
Tebal : viv, 141 hlm.
Peresensi: Mamang M. Haerudin, khadimul ma’had di pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin-Cirebon