Pustaka

Mendobrak Mitos di dalam Era Virtualitas

Kamis, 8 Februari 2007 | 08:39 WIB

Judul buku      : Membedah Mitos-mitos Budaya Massa
Penulis            : Roland Berthes
Penerbit          : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I       : Februari 2007
Tebal               : Ixxv + 364 hlm
Peresensi        : Fathor Rasyid lt*

Di dalam era virtual yang sarat informasi dan pencitraan dewasa ini, pe“mitos”an semakin menemukan tempatnya di ketinggian yang melebihi realitas atau keasliannya. Bisa saja pada realitasnya “hitam” sedang pada penampakannya “putih”, artinya di dalam era virtual ini semua tampilan atau penampakan akan bertolak belakang dari keaslian dan tercerabut dari subtansinya. Sebab itu tidak diherankan jika kualitas seseorang atau pun kualitas pada suatu produk tidak menjadi tolak ukur ditengah khalayak umum untuk dipilih, dibeli, atau dikonsumsi. Selagi kekuatan mitos yang dimunculkan lewat promisi bisa mempengaruhi publik, maka itulah yang akan menjadi keutamaan. 
 
Sebab tujuan mitos se<>ndiri hanyalah untuk memikat, baik itu penglihatan, pendengaran, dan pikiran, yang ujung-ujungnya kemudian membujuk dan memaksa (secara samar) audiennya untuk menyenangi, memilih, membeli, dan seterusnya. Jika mengacu pada Jean Baudrilard maka di dalam era virtual seperti sekarang ini tidak ada yang namanya kebenaran, melainkan manipulasi; tidak ada kepercayaan, melainkan perdayaan; tidak ada realitas, melainkan fatamorgana. Sebab itulah kejelian sangat dibutuhkan untuk menguak mitos yang dimunculkan di berbagai iklan atau kampanye. Bahkan tontonan biasa sekalipun, “mitos” akan menyusup di dalamnya untuk mempengaruhi adien.

Dalam buku ini, Roland Berthes menjelaskan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi yang mengandung pesan dengan fungsi gandanya yaitu, menunjukkan atau menjelaskan, kemudian memaksa. Walau pun mitos merupakan suatu sistem komunikasi, namun tidak serta merta mitos terbatas pada bentuk bahasa lisan atau tulisan. Menurut Berthes semua hal bisa menjadi mitos, seperti fotografi, film, olahraga, laporan, dan seterusnya (hal. 297). Misalnya, anggur dianggap oleh bangsa Prancis sebagai milik mereka sendiri; foto-foto yang mengguncangkan di Galerie d’Orsay dengan mereduksi berbagai kejadian yang terlalu belebihan, hal yang sama juga terjadi dalam dunia gulat (hal. 9).

Berthes mengungkapkan bahwa mitos pada sejatinya menjauh dari subtansinya. Apa yang dimunculkan mitos hanyalah sekedar pencitraan belaka tentang baik dan buruk. Apalagi dengan dukungan teknologi tinggi (high technology) seperti saat ini, maka mitos tak lebih sekedar suatu sistem komunikasi untuk menyembunyikan sebuah keaslian realitas atau pembodahan yang sempurna (dalam bahasa Berthes).

Dalam usahanya menguak mitos yang telah mencapai kesempurnaan, Berthes menemukan pola tiga-demensi dalam bahasa mitos yaitu, penanda, petanda, dan tanda. Penanda adalah konsep untuk membuat sebuah petanda. Petanda adalah pelaksanaan dari konsep sehingga menjadi sebuah citra. Dan yang merupakan penggabungan konsep dan citra adalah tanda, sehingga mampu melahirkan mitos baik itu sempurna atau pun tidak. Di mana kesemuanya tergantung pada kecermelangan melahirkan konsep hingga kemudian menerapkannya menjadi tanda yang tak tercela atau mitos yang sempurna; mitos yang mampu menghipnotis Publik. Semisal, mustahil kita mencela film-film Barat yang begitu sempurna mengarungi dunia tanda, dari pada film kita sendiri ( Indonesia ) yang kurang total dalam pencitraannya (tanda).

Karena mitos merupakan sistim komunikasi yang membujuk, memikat, dan memaksa secara langsung atau tidak langsung, maka mitos selalu mengandung unsur ideologi-politiok. Semisal, untuk menanamkan sebuah indonesia yang stabil, maka acara laporan khusus pada masa Orde Baru menjadi acara primadona; seorang pemimpin akan selalu memperlihatkan penampilan yang berwibawa dalam berpakaian, berbicara (bahasa lisan atau tubuh) tak lain hanya untuk merebut perhatian dan image yang baik dihadapan publik, walau pada kenyataannya (di belakang publik) sikap dan tindakannya jauh dari apa yang ditampilkan dan dibicarakan.

Contoh yang ganjil juga terjadi pada dunia senitron pertelivisian kita saat ini yang dipandang terlalu ideologis-politis. Di mana unsur religiusitas yang marak dalam senitron kita sebenarnya tak mampu menyadarkan manusia secara hakiki, karena religiusitas yang diangkat ke permukaan hanya bersifat simbolik dan tidak masuk akal. Semisal, orang mati bangkit kembali dari alam kubur, kemudian menjadi hantu yang bergentayangan. Hal seperti ini yang sebenarnya akan menghilangkan fungsi agama secara esensial.

Memang mitos di dalam era virtual saat ini telah mencapai puncak pengaruhnya di tengah masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar menjadi konsumen yang setia mengikuti ritme-ritme mitos. Akibatnya, motif yang terkandung di dalamnya tidak terungkapkan. Dan masyarakat hanya bisa menangkap pesan dari pencitraan, kemudian asumsi yang muncul adalah baik dan buruk, cantik dan jelek, wibawa dan tidak, walau pada kenyataannya yang sebenarnya tidak menunjukkan demikian. Sebab itulah, di dalam era virtual ini orang-orang dengan begitu mudah mendapatkan pencitraan sesuai dengan apa yang diinginkan, semisal menjadi binta film atau penyanyi tampa harus merasakan pedihnya sebuah proses; menjadi pemimpin tidak harus memiliki kapabelitas yang memadai, artis saja bisa menjadi pemimpin. Semua itu tergantung pada totalitas dunia tanda (a form) yang sempurna dalam menguasai khalayak umum.

Dari itulah untuk melepaskan publik dari penjara mitos yang jelas menjerumuskan, perlu adanya ketajaman analisis tentang mitos, baik itu tentang deminsi mitos (konsep, citra, dan a form) atau pula mutif dari mitos (politis-ideologis). Sebab itulah dalam buku ini, berthes, menyajikan berbagai contoh kontemporer seputar mitos dan analisanya, Barthes berharap agar masyarakat mampu melepaskan belenggu mitos yang akhir-akhir makin kuat dan samar.
 
*Peresensi adalah Alumni PP Lapang, Ambunten, Sumenep, Madura.
      
 


Terkait