Pustaka

Perguruan Tinggi NU Bersaing

Kamis, 15 September 2016 | 12:01 WIB

Pendidikan merupakan panglima kemajuan sebuah bangsa. Sebab itu, tak bisa dipungkiri bahwa kemajuan pendidikan ikut menentukan kemajuan sebuah negara. Nahdlatul Ulama (NU) jauh sebelum kelahirannya telah berjasa membidani dunia pendidikan yakni pesantren. Lembaga pendidikan pertama di Indonesia ini bahkan hingga sekarang masih eksis menjaga Indonesia, menjadi benteng moral, dan mencetak generasi emas bangsa.

Hingga sekarang, NU telah berhasil mendirikan lembaga pendidikan dari berbagai jenis dan tingkatan. Terhitung, pesantren merupakan tonggak lahirnya lembaga pendidikan lain seperti madrasah dengan pelbagai namanya hingga perguruan tinggi NU. Bagi organisasi sosial kemasyarakatan ini, jihad melalui pendidikan tidak akan pernah berhenti sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus merawat pemahaman Islam yang ramah dan toleran.

Tentang perguruan tinggi NU inilah, Majalah Risalah mengangkat sebagai tema besar edisi terbarunya, Edisi 64/Tahun X/1437 H/September 2016. Semangat mendirikan dan memajukan perguruan tinggi NU menjadi agenda penting sebagai bagian dari penceradasan anak bangsa dari berbagai jenjang pendidikan. Dengan demikian, NU semakin lengkap dalam memperjuangkan nilai-nilai populis pendidikan sesuai dengan semangat pencerdasan bangsa dengan mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam pengantar Redaksinya, Pemimpin Redaksi Majalah Risalah NU, Musthafa Helmy mengatakan bahwa NU semakin membuktikan diri dalam persaingan global dengan mendirikan dan memajukan perguruan tingginya. Perguruan tinggi sudah lama menjadi kebutuhan masyarakat sehingga NU juga harus mengembangkannya dengan segala distingsi (kekhasan) dan ekselensi (keunggulan)-nya.

Kemajuan NU dalam mengembangkan pendidikan tinggi patut diacungi jempol, sebab sejak dimulai pembangunan UNU di berbagai daerah dari tahun 2010, sudah berdiri sebanyak 28 UNU. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyaknya kader NU yang ikut andil dalam persaingan global melalui universitas, termasuk antara lain pendidikan tinggi berbasis pesantren yaitu Ma’had Aly sebagai wadah pencetak kader ulama mumpuni.

Secara historis, NU sudah memiliki universitas sejak akhir tahun 1950-an ketika organisasi terbesar di dunia sempat menjadi partai politik. UNU Surakarta merupakan perguruan tinggi NU tertua yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1958. UNU Surakarta dulu bernama Kulliyatul Qadla karena memang hanya mengkhususkan pada bidang hukum Islam dan sistem peradilan agama Islam. Lulusannya dulu banyak yang mengisi jabatan di peradilan agama serta kantor urusan agama (KUA) kala itu.

Disusul kemudian UNU Bandung yang berdiri tahun 1959 yang kini berubah nama menjadi Universitas Islam Nusantara (Uninus) yang tercatat sudah meluluskan sarjana sekitar 40.000, baik strata 1 hingga strata 3. 

Dalam majalah setebal 66 halaman ini, dipaparkan beberapa profil UNU yang tersebar di berbagai daerah seperti UNU Surakarta, UNU Indonesia (Unusia) Jakarta, UNU Cirebon, UNU Surabaya (Unusa), Unisnu Jepara, UNU Sidoarjo, UNU Lampung, UNU Kalimantan Selatan, UNU Kalimantan Timur, Unisma Malang, dan Unisnu Bandung. Selain itu, UNU juga telah berdiri di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta UNU lainnya di beberapa provinsi.

Jumlah perguruan tinggi tersebut belum termasuk perguruan tinggi yang berbentuk sekolah tinggi (STAINU) dalam Institut Nahdlatul Ulama, seperti Institut Agama Islam Ma’arif Nahdlatul Ulama (IAIMNU) di Kebumen, Jawa Tengah.

Selain mengulas tentang dinamika perguruan tinggi NU, Majalah Risalah juga menyajikan berbagai informasi dan tulisan menarik lain seperti ulasan Ma’had Aly dari Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dr H Mohsen, Telaah Kitab Ihya Ulumuddin oleh KH Abdul Moqsith Ghazali (Wakil Ketua LBM PBNU), Resensi Buku Kebangkitan Santri Cendekia dari Dosen UIN Walisongo Semarang M. Rikza Chamami, Obituari Mustasyar PBNU Almaghfurlah KH Mas Subadar, serta tulisan-tulisan inspiratif lain dari para kiai dan tokoh Nahdlatul Ulama seperti Gus Mus dan KH Mujib Qulyubi. (Fathoni Ahmad)


Terkait