Sejak awal sekitar pada tahun 1950-1960-an antara politik dan Islam di Indonesia tidak bisa menyatu. Hal ini karena sering didengungkannya sebuah fatwa oleh para kiai dan ulama yang anti politik. Mereka memandang bahwa politik itu najis dan tidak boleh berdekatan dengan agama yang menurut pandangan mereka Islam itu suci. Sehingga tidak mengherankan jika politik diharamkan oleh para ulama bagi umat Islam pada saat itu.
<>
Selain itu pula, salah satu pengharaman dan penajisan politik tak lain karena dalam pandangan umum bahwa politik itu sama saja dengan melakukan tumbal bagi kebohongan untuk mendapat legitimasi dan pengaruh publik dengan cara-cara yang curang dan licik. Bahkan politik itu diibaratkan dengan membelah bambu, satu diinjak dan satunya diangkat. Sungguh tragis!
Melihat perjalanan antara Islam dan politik yang seakan berbenturan itu, Martin Van Bruinessen mencoba untuk mengkaji dan menelusuri seluk-beluknya melalui buku ini. Dia menyebutkan bahwa hubungan antara ulama dan umara (pemimpin) selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, ulama paling tidak dalam tradisi Sunni senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut istilah ulama Indonesia tahun 1950-an). Di sisi lain, juga ada pandangan umum bahwa kekuasaan itu selalu korup dan berdekatan dengan mereka yang sedang berkuasa akan merusak harkat moral ulama dan integritas ajarannya.
Ada sebuah hadis populer yang menganjurkan sikap menghindar dari penguasa, yang sering dikutip dalam berbagai khotbah: “Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang pergi menemui umara, sedangkan sebaik-baik umara adalah mereka yang pergi menemui ulama”. Berdasarkan penelitian hadis ini sebenarnya “lemah” (dha’if), tidak benar-benar meyakinkan keasliannya. Namun, kenyataan bahwa hadis ini seringkali dikutip oleh para ulama dan da’i populer di Indonesia menunjukkan bahwa kutipan di atas mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam (Hal. 133).
Meskipun demikian – ulama mengharamkan politik – pada kenyataannya, seiring perjalanan roda zaman banyak para ulama dan kiai yang bergelut dengan dunia perpolitikan dan mendatangi para penguasa atas undangannya. Secara analitik, Martin mencoba untuk menyatakan dalam buku ini bahwa para ulama atau kiai lambat laun turun dan ikut berbaur dalam dunia politik meski pun sebelumnya para ulama atau kiai sempat melarangnya. Hal ini tidak dapat dimungkiri lagi, di berbagai parlemen dan birokrasi kenegaraan sudah banyak mandat yang dipegang oleh para kiai yang memiliki legitimasi di mata masyarakat.
Adanya analisis tentang aliran-aliran dan sempalan berbagai organisasi di dunia dan Indonesia khususnya, mencerminkan sebuah ketimpangan dan ketidakadilan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti halnya Kartosoewirjo yang kecewa dengan keputusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dengan penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” oleh Soekarno tanpa sepengetahuan dirinya.
Sehingga terjadilah pemberontakan oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian NII dianggap sebagai pembangkang bagi negara Indonesia. Namun, seandainya NII benar-benar terbentuk, lalu negara demokrasi mencoba untuk mengubah bentuk NII, maka pendirian negara demokrasi juga akan dicap sebagai pemberontak terhadap NII.
Kelemahan dalam analisis buku perjalanan rakyat kecil, Islam dan politik oleh Martin tampak pada bagian awal bab buku ini yang hanya menceritakan masyarakat Sukapakir. Padahal kajian masyarakat Sukapakir tidak banyak dibutuhkan dalam analisis Islam dan perpolitikan untuk bagian-bagian berikutnya. Selain itu, ketidakmampuan dan ketidakpekaan Martin dalam menganalisis terhadap suatu hadis (2013:164) yang berbunyi:
“Barang siapa menyaksikan kemungkaran, hendaklah ia mengoreksinya dengan tindakan; jika tidak dapat berbuat demikian, hendaklah dia melakukannya dengan kata-kata (yakni memberi peringatan atau menyampaikan protes); dan jika hal ini pun tidak dapat dilakukan, hendaknya ia melakukannya dengan hatinya (yakni, penolakan dengan diam atau, menurut sebagian, dengan berdoa kepada Allah)”. Hadis ini sering menjadi pegangan Islam radikal, FPI, Front Pembela Islam di Indonesia.
Satu di antara yang menjadi senjata aliran Islam radikal yang mengklaim dirinya paling kuat dengan melakukan pengrusakan ketika melihat kemungkaran. Padahal hadis tersebut dalam teks aslinya, yang termasuk kategori paling lemahnya iman yaitu jika mengubah kemungkaran dengan tindakan. Ingat saja kisah nabi Muhammad Saw. yang ditawari oleh malaikat Jibril untuk memusnahkan kaumnya yang jahat dan sering melakukan maksiat dengan menimpakan gunung Uhud pada mereka. Namun beliau menolak atas tawaran Jibril. Inilah paling kuatnya iman yang dicontohkan oleh beliau.
Meskipun ada sejumlah kekuarangan dan kelemahan dalam buku ini, utamanya dalam kajian teori, namun dengan cara yang menarik dan universal Martin berhasil mengkombinasikan antara politik Indonesia dan politik yang berkembang di luar negeri. Sehingga pandangan yang luas terkait perkembangan politik dan Islam serta penyebab kemunculan aliran sempalan bisa dilihat secara menyeluruh dalam kajian politik dan keislaman di Indonesia. Maka dari itu, kita akan menemukan wajah baru tentang aliran Islam, pemimpin, dan arus perjalanan politik di Indonesia.
Judul : Rakyat Kecil, Islam dan Politik
Penulis : Martin Van Bruinessen
Penerbit : Gading Publishing
Terbitan : I, Agustus 2013
Tebal : xx + 482 hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN : 978-979-16776-2-2
Peresensi : Junaidi Khab, Pecinta Baca Buku dan Tercatat Sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.