Dalam rangka memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentu perlu adanya upaya penggalian dan pemahaman dengan metode-metode tertentu terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian menghasilkan sebuah penafsiran sebagai upaya untuk melakukan dialog antara Al-Qur’an dan ragam problematika zaman yang dinamis dengan membongkar makna terdalam atau pesan tersirat yang terkandung di dalamnya.
Dalam peta keilmuan Islam, ilmu tafsir adalah ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan dengan berbagai metode, manhaj dan karakteristiknya, yang secara garis besar terbagi menjadi tafsir bil-ma'tsur dan tafsir bir-ra'yi. Tafsir bil-ma’tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni penafsiran yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, riwayat shahabat dan tabi’in, sedangkan tafsir bir-ra’yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan Al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
Tafsir bir-ra’yi sebagai hasil penggalian, pemahaman, pemikiran, interpretasi dan komentar, tentunya mengandung kebenaran yang sifatnya relatif. Tafsir bir-ra’yi tidaklah mutlak atau absolut kebenarannya. Setiap hasil penafsiran tetaplah nisbi, oleh sebab itu, setiap penafsiran mempunyai potensi untuk mengalami kekeliruan. Tidak ada hasil penafsiran yang kebenarannya bersifat mutlak. Hal ini memberi arti, bahwa setiap hasil penafsiran dimungkinkan untuk dikritik.
Karena relativitas hasil penafsiran, maka jika ditelusuri terdapat kemungkinan adanya kekeliruan-kekeliruan dalam tafsir bi ar-ra’yi. Kekeliruan tersebut bisa jadi disebabkan karena mufassir tidak/kurang menguasai kaidah-kaidah serta ilmu-ilmu yang dijadikan persyaratan sebagai seorang mufassir, seperti bahasa Arab, asbabun-nuzul, nasikh wal mansukh, ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu lain yang menjadi syarat keabsahan sebuah penafsiran.
Selain itu kemungkinan kesalahan juga bisa muncul dari tafsir bil-ma’tsur jika sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh mufassir kurang bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya sehingga menghasilkan sebuah penafsiran yang melenceng, yang pada klimaksnya menghasilkan ad-dakhil fit-tafsir yaitu penafsiran Al-Qur’an yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam; baik itu tafsir menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir karena sebab lalai ataupun disengaja. Kesalahan tersebut menjalar di beberapa kitab tafsir ketika para mufassir kurang jeli meriwayatkan hadits. Ketika mereka meriwayatkan hadits tanpa mencantumkan para perawinya, kecuali rawi a`la (perawi yang menerima langsung dari Nabi SAW), bercampur-baurlah antara riwayat shahih, dhaif, dan ad-dakhil dalam kitab tafsir.
Sebagai jawaban akan problematika kerancauan kualitas hadits dalam tafsir bi al ma’tsur, tentu diperlukan sebuah upaya untuk menganalisis, membedakan dan mengelompokkan hadits-hadits shahih, dari riwayat yang kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam tafsir bil ma’tsur, Di sinilah urgensi buku Majma’ al-Bahrain fi Ahadits al-Tafsir min Shahihain yang ditulis oleh Kiai Muda NU, Dr. KH. Afifuddin Dimyathi, Lc. MA.
Buku ini–sebagaimana yang dituturkan penulis dalam kata pengantar–sebenarnya bukan dalam rangka menjawab problem kerancauan kualitas hadits bahkan al-dakhil fit tafsir bil ma’tsur, akan tetapi upaya penulis dalam mengumpulkan hadits-hadits yang termaktub dalam kitab Shahihain hanya untuk membantu dan mempermudah para pemerhati dan pengaji Al-Qur’an dalam merujuk hadits-hadits tentang tafsir ayat Al-Qur’an. Walaupun penulisan buku ini bukan dalam rangka menjawab problem di atas, namun upaya penulis untuk mengumpulkan hadits-hadits dari kitab shahihain dalam sebuah buku tersendiri dapat dikategorikan sebagai langkah awal dalam menjaga orisinalitas tafsir bil ma’tsur dari masuknya riwayat-riwayat bermasalah dan penyelewengan penafsiran.
Sebelum memaparkan kumpulan hadits shahih, penulis lebih dulu memberikan pengantar dan penjelasan tentang hujjah penafsiran Nabi (baca: tafsir bil ma’tsur) serta ruang lingkup hadits nabi dalam sebuah penafsiran, baru kemudian memaparkan hadits-hadits yang berkaitan dengan tafsir atau yang berkaitan dengan ayat Al-Qur’an tanpa mencantumkan para perawinya kecuali rawi a`la.
Selain mengumpulkan hadits-hadits tentang tafsir ayat, penulis juga memasukkan hadits-hadits yang berkenaan dengan asbabun-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan keistemewaan sebuah surah, namun sayang penulis tidak memberikan syarhul hadits (penjelasan hadits) walau sekadar mufradat yang gharib (kosa kata yang asing). Di akhir tulisannya, Gus Afif–demikian panggilan akrab beliau–memaparkan secara singkat metodologi sumber primer buku yang ditulisnya yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Walhasil, buku ini sangat layak untuk dibaca, baik santri, akademisi bahkan kalangan awam sekalipun, serta sebagai koleksi perpustakaan. Akhiran, selamat membaca dan masuk dalam bahtera samudra ilmu tafsir dan hadits.
Wa Allahu A’lam bi al-Shawab
Referensi Resensi:
Jalaluddin al-Sayuthi, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Beirut : Dar al-Fikr, 1951) Vol II
Jamal Musthofa Abdul Hamid, Ushul ad-Dakhil fi at-Tafsir Ayyit Tanzil, (Kairo: Jami’ah Azhar, 2001).
Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Kutub Al-islamiyyah, 2003).
Muhammad Husein az-Dzahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, (T.Tp : Maktabah Mus’ab bi Umair, 2004) Vol I
Data Buku
Judul : Majma'al Bahrain fi ahadits tafsir min al-shahihain
Penulis : Dr. Muhammad Afifuddin Dimyati, Lc. MA.
Penerbit : Maktabah Lisan Araby, Sidoarjo
Tahun : 2016
Halaman : 257
ISBN : 978-602-74486 1-2
Peresensi: Umar AH, penikmat buku; alumni Pondok Pesantren al-Ma'ruf Grobogan dan UIN Sunan Ampel Surabaya