Kesadaran publik untuk mengawal kebijakan pemerintah agar lebih pro penanggulangan banjir ternyata juga rendah.
Menjadi mimpi seluruh warga ibu kota yang penduduknya semakin padat ini untuk bisa bebas dari bencana yang rutin datang. Dengan pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang, seharusnya hal tersebut sangat dimungkinkan. Jika Belanda mampu mengelola daratan yang berada di bawah laut, kenapa kita tidak? Ada banyak persoalan mengapa banjir tersebut terus berulang, dari soal budaya sampai dengan persoalan anggaran.
Banjir kini menjadi isu publik, tetapi seminggu ke depan ketika situasinya sudah normal, perhatian masyarakat mungkin sudah akan beralih pada isu baru lainnya. Demikian terus berulang-ulang dari waktu ke waktu. Ini merupakan cerminan dari diri kita yang mudah melupakan masalah. Reaksioner dalam menyikapi sesuatu, serta abai mencari solusi komprehensif. Sibuk dengan urusan remeh-temeh tetapi alpa membahas yang substansial.
Kesadaran publik untuk mengawal kebijakan pemerintah agar lebih pro penanggulangan banjir juga rendah. Kasus lem Aibon dalam mata anggaran pemda DKI 2020 sempat ramai menjadi perbincangan publik, tetapi tidak ada pertanyaan, mengapa anggaran penanganan banjir hanya Rp600 miliar sementara untuk merapikan trotoar sebesar Rp1,2 triliun dan anggaran untuk menggelar formula E mencapai Rp1,6 triliun. Kini, hal-hal tersebut baru ramai jadi diskusi masyarakat ketika banjir besar telah menimbulkan kerugian besar. Bagaimana bisa menghabiskan anggaran Rp1,6 triliun untuk sebuah ajang olahraga, yang jika tidak dilaksanakan pun, tak ada dampak negatif apa pun tetapi mengabaikan ancaman bencana banjir yang mengintai setiap musim hujan.
Anggaran seharusnya bukan menjadi persoalan karena pendapatan pemda DKI terus meningkat. Tahun ini APBD-nya mencapai Rp87,9 triliun dan setiap tahun akan terus meningkat. Tinggal apakah penanganan banjir akan mendapat prioritas atau tidak.
Pembelahan akibat Pilgub DKI Jakarta 2017 masih terasa dalam menyikapi banjir. Kelompok-kelompok yang berbeda pilihan dalam pilkada menjadikan isu saat ini untuk menyerang secara politik gubernur saat ini dengan membanding-bandingkan kebijakan gubernur sebelumnya. Pihak pendukungnya, tentu merasa tidak terima dan yang terjadi hanyalah debat kusir. Tak dapat dipungkiri bahwa apa yang menyangkut kebijakan publik selalu terdapat aspek politik dan aspek teknisnya. Namun jika dicampur-baurkan tanpa memilah sisi mana yang seharusnya menjadi masalah teknis dan membiarkan mereka yang ahli di bidangnya untuk menanganinya serta sisi politik kebijakan di mana publik dapat turut berperan mengawalnya, maka semuanya akan kacau balau. Dan akhirnya, masyarakat pula yang menjadi korban.
Persoalan bencana alam menjadi isu penting dalam konteks global karena terkait dengan perubahan iklim yang terjadi di dunia. Curah hujan yang menyebabkan banjir di Jakarta pada malam tahun baru 2020 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah yang pernah dicatat. Pergantian musim sudah berjalan secara tidak normal. Pada suatu saat, hujan sangat deras dan akhirnya menimbulkan banjir, tetapi pada waktu yang lain kekeringan terjadi dalam waktu yang panjang sehingga rawan terjadi kebakaran. Hutan-hutan ditebang di hulu sehingga air langsung mengalir tanpa terserap ke dalam tanah. Longsor menimbulkan korban nyawa. Dan ketika kita abai, maka alam telah membuktikan kekuatannya dengan menghancurkan apa yang ada di sekelilingnya.
Kampanye besar-besaran yang disampaikan oleh para ahli yang kredibel tidak cukup menumbuhkan kesadaran dan mengubah perilaku. Kita merasa bahwa hidup berjalan dengan baik-baik saja. Atau jika ada bencana, mungkin dianggap sebagai urusan orang lain yang tidak perlu ikut campur karena sudah merasa nyaman setelah menjadi lebih sejahtera. Dalam soal kerusakan alam, kelompok kelas menengah merasa aman-aman saja hidupnya karena rumah atau tempat kerja mereka ber-AC, ke mana-mana memakai mobil yang nyaman. Dapat memilih lokasi tempat tinggal yang bebas banjir. Kelompok miskin yang marginal, yang tidak memiliki banyak pilihan lah yang paling menderita.
Kini bagaimana mengawal masalah penanganan banjir di DKI ini agar terus mendapat perhatian, baik dalam menyelesaikan persoalan jangka pendeknya atau solusi jangka panjangnya. Perubahan budaya dalam menyikapi persoalan dan peningkatan kesadaran masyarakat soal perubahan iklim menjadi bagian penting menyelesaikan masalah dalam jangka panjang. Selain itu, harus ada pihak-pihak tertentu yang fokus karena tak bisa berharap publik selalu awas. Perhatian publik diombang-ambingkkan dengan beragam isu yang disuguhkan oleh media atau viral di media sosial. Jangan sampai banjir besar terulang kembali dengan sekian korban dan sejumlah harta benda yang hancur entah berapa tahun ke depan karena tak dikawal. Dan kemudian ramai-ramai mendiskusikannya atau sekadar mencari kambing hitam. Lalu kemudian sudah lupa kembali dan bencana berulang kembali.
Di banyak negara yang sungainya tertata, sungai menjadi bagian dari keindahan kota dan menjadi pusat kegiatan masyarakat. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, bukan membelakangi dan menjadikan sungai saluran pembuangan limbah. Tetapi jika kita memimpikannya, merealisasikannya tahap demi tahap, hal tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Apa yang terjadi di DKI Jakarta merupakan cerminan Indonesia karena menjadi pusat dari kegiatan masyarakat.
Alam dapat menjadi sahabat bagi manusia jika mampu memelihara dan merawatnya dengan baik sementara keserakahan dan eksploitasi berlebihan dapat menjadikan alam musuh paling mematikan. Allah telah mengamanatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sudah seharusnya kita jaga amanah itu dengan baik. (Achmad Mukafi Niam)