Risalah Redaksi

Saatnya Menahan Diri dalam Puasa

Selasa, 26 September 2006 | 21:44 WIB

Barangkali secara teknis puasa itu bukan ibadah yang terlalu berat, orang sudah sedemikian terlatih dengan puasa, sehingga menjadikan puasa sebagai sarana penghayatan pada penderitaan kemanusiaan juga semakin menipis. Tetapi secara subtantif ibadah puasa menjadi berat karena kalau puasa dimaksudkan sebagai upaya menahan diri dari nafsu dan kemunkaran.

Jauh sebelum puasa dating para pebisnis, baik di bidang barang dan jasa baik transportasi dan hiburan telah begitu gencar menyambutnya, ketika para soimin (orang-orang yang berpuasa) belum siap menjalankan. Berbagai produk untuk persiapan puasa yang serba mewah telah ditawarkan. Belum lagi nanti pertengahan Ramadhan para pebisnis telah menawarkan paket baru dengan berbagai tawaran mobil dan rumah mewah untuk lebaran. Kalangan pebisnis di bidang jasa menawarkan berbagai paket wisata dan hiburan mahal yang ditawarkan pada para Muslimin.

<>

Apapun kemewahan yang dilakukan adalah hasil pengerukan terhadap sumber daya alam, karena manausia  konsumtif, maka seluruh tambang dikuras, hutan dibabat dan kekayaan laut disedot. Kemewahan hidup akan selalu membebani alam dan lingkungan hidup, sehingga terjadi banjir, longsor, gelombang  badai dan sebagainya. Sementara itu secara sosial akan menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan yang akan memicu ketegangan antar kelas dan kelompok yang bisa menimbulkan konflik. Secara politik hal itu juga akan membebani negara, sebab kemewahan tidak mungkin dibiayai hanya dengan gaji, maka harus dibeayai dengan korupsi. Negara menjadi keropos karena dirongrong korupsi yang dilakukan para pejabat dan pengusaha.

Puasa diharapkan mampu mengatasi problem manusia modern, yakni kerusakan lingkungan alam, disfungsi pemerintah dan negara dan ketegangan lingkungan sosial. Ini bisa dilalui melalui tindakan pribadi, tetapi harus berkembang menjadi kesadaran kelompok, agar bisa menjadi gerakan massa yang memiliki pengaruh. Bila ini bisa dilakukan maka perubahan besar akan terjadi melalui media puasa ini.

Sementara seperti yang selama ini terjadi justeru selama bulan puasa itu kebutuhan konsumsi meningkat, buka masa bertirakat, tetapi menjadi ajang pesta. Puasa memang hanya dilakukan di siang hari. Tetapi lihat pada malam hari, buka bersama yang mewah diselenggarakan di mana-mana. Di pasar-pasar menunjukkan selama bulan ini kebutuhan barang meningkat tajam, sampai lebaran, sehingga pemerintah dan pedagang harus gigih menyediakan barang kebutuhan. Pada sore dan malam hari super market penuh para pebelanja.

Puasa di siang hari dan beribadah di malam hari hanya menjadi tradisi masa lalu, diganti dengan tradisi berpesta puasa. Dari situ penghayatan terhadap makna puasa menjadi menipis, puasa hanya menjadi rutinitas yang kurang berarti. Persoalannya bagaimana umat diajak untuk kembali memahami ajaran puasa sesuai dengan sunnah Nabi dan shahabatnya serta para ulam salaf. Karena itu telaah kembali terhadap ajara Islam tentang puasa itu sangat penting agar kaum Muslimin bisa berpuasa sebagaimana mestinya, puasa yang mampu tanha anil fakhsya wal munkar (menghindari kerusakan dan kemunkaran) dengan segala amalan yang mesti dijalankan, sebagaimana Nabi dan Shahabat berpuasa. (Abdul Mun’im DZ)

 


Terkait