Tokoh ini lebih dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi Banten. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani. Lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M. Nama al-Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.
Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Di masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.
Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan. Raja saat itu, Sultan Rafiudin, dipaksa oleh Gubernur Raffles untuk menyerahkan tahta kekuasaan kepada Sultan Mahmud Syafiudin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara. Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya. Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi. Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.
Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.
Ada sekitar 200 orang yang hadir setiap kali Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram menjadi satu-satunya tempat favorit, semacam kampus favorit dalam istilah sekarang, di Tanah Suci. Yang menjadi murid Syekh Nawawi tidak hanya orang Indonesia, namun para pelajar dari berbagai negara.
Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki. Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab. Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke tanah air adalah KH. Hasyim Asyari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH. Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.
Di samping itu, Syekh Nawawi juga banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antaranya adalah Sayyid Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Abdul Syatar al-Dahlawi, Syekh Abdul Syatar bin Abdul Wahab al-Makki dan sebagainya.
Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara. Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah. Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.
Nama Syekh Nawawi tidak hanya terkenal di daerah Arab Saudi, tetapi juga di Syiria, Mesir, Turki dan Hindustan. Penguasaan yang mendalam terhadap ilmu agama dan banyaknya kitab karyanya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di mayoritas pesantren di Indonesia, menjadikan nama Syekh Nawawi dijuluki sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Syekh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang bermukim di Haramain. Selama hidup, karya Syekh Nawawi tidak kurang dari 99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah. Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam. Beberapa karyanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tafsir al- Munir, Nashaihul Ibad, Fathul Shamad al-Alim, al-Tausyikh, Kasyifatus Saja, al- Futuhat al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn, Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Saud, Bughyatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya.
Pemikiran Penting
Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama Al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas Al-Jawwi untuk lebih terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka.
Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti kolonialisme dan imperialism dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran, bagi Syekh Nawawi, harus diwujudkan untuk menumpas kebatilan dan menghancurkan berbagai kedzaliman dari bangsa kolonialisme. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme, kiranya juga patut disejajarkan dengan jasa para pejuang kemerdekaan.
Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas Al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas Al-Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri lagi Belanda. Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas Al-Jawwi ini, maka Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Belanda saat itu, berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884-1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas Al-Jawwi.
Berbagai pemikiran Syekh Nawawi dalam Tafsir Al-Munir sebenarnya menunjukkan gerakan pembebasan. Namun karena bangsa kolonial tidak menginginkan ideologi yang membahayakan eksistensinya di Indonesia, Syekh Nawawi kemudian dituduh sebagai pengikut aliran Asyariyah yang lebih condong ke Jabariyah. Padahal penafsiran yang diperkenalkan Syekh Nawawi bercorak a new classical. Penafsiran model ini tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Kondisi ini bertolak belakang dengan penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar yang lebih dipengaruhi pemikiran ideology Mutazilah.
Bidang tasawuf, Syekh Nawawi memang tidak mengajarkan dan tidak melarang praktik-praktik tasawuf yang dilakukan para muridnya. Meskipun demikian, Syekh Nawawi menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf. Bahkan, dalam berbagai karya, Syekh Nawawi mengklaim sebagai pengikut Syekh Ahmad Khatib al- Sambasi, sosok ulama yang berhasil mendirikan tarikat Qadariyah Naqshabandiyah. Sebagaimana gurunya itu, Syekh Nawawi adalah penganut Sufisme yang digagas Imam Ghazali.
Pemikiran fiqih Syekh Nawawi lebih dipengaruhi oleh Imam Syafii. Sumber hukum Islam, menurut Syekh Nawawi, mencakup empat hal, yaitu al-Quran, hadits, ijma dan qiyas. Tidak mengherankan jika kemudian Syekh Nawawi mengharamkan taqlid bagi imam madzhab yang empat. Namun bagi para mujtahid fil madzhab, mujtahid mufti dan masyarakat umum, Syekh Nawawi mengharamkan bagi tiga golongan ini untuk berijtihad, tetapi mewajibkan untuk taqlid.
Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang beraliran Wahabi, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal ziarah kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur, dengan alasan bidah, namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini. Pendapat ini dilandasi temuan Syekh Nawawi tentang ketentuan hukumnya dalam ajaran Islam. Syekh Nawawi bahkan menganjurkan umat Islam untuk menghormati makam-makam orang yang berjasa dalam sejarah Islam, termasuk makam Nabi Saw dan para sahabat. Mengunjungi makam Nabi Saw, menurut Syekh Nawawi, adalah praktik ibadah yang identik dengan bertemu muka (tawajjuh) dengan Nabi Saw dan mengingatkan kebesaran perjuangan dan prestasi yang patut untuk diteladani.
Rifatuz Zuhro, aktivis Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang masa khidmah 2016-2017
Sumber buku:
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara
Amirul Ulum, Ulama-Ulama Aswaja, (Yogyakarta: Pustaka Musi, 2015)
M. Solahudin, 5 Ulama Internasional dari Pesantren, (Kediri: Nous Pustaka Utama)
Mukani, Ulama Al-Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Ulama di Indonesia, Jurnal Al Murabbi (online), Jilid 2, No. 2, 2016, (http://webcache.googleusercontent.com/ search?q=cache: B6shXv SENHQJ: ejournal.kopertais4.or.id/index.php /murabbi/article/view)