Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebuah partai baru yang muncul di era reformasi menarik perhatian banyak kalangan setelah mampu menarik kalangan muslim menjadi kadernya sehingga mampu mendulang suara cukup besar dalam pemilu 2004 dan memenangkan sejumlah Pilkada.
Menyebut diri sebagai partai dakwah, para kader PKS secara aktif melakukan dakwah agama berdasarkan aliran yang bersumber dari ajaran wahabi, yang secara ketat mengharamkan tradisi-tradisi lokal dalam agama.<>
Lalu, apakah upaya dakwah ini akan cukup berhasil merubah Islam Indonesia yang kental dan kaya dengan tradisi lokal? Masih perlu banyak waktu untuk melakukan penilaian.
“Mereka merupakan sebuah ekperimen intensif dari sejumlah aktifis untuk mendialogkan keislaman dengan keindonesiaan. Karena baru berlangsung beberapa tahun, kita belum bisa memberi penilaian, apakah dialog ini berhasil atau tidak, kita tunggu,” kata Ketua PBNU KH Masdar F Mas’udi dalam peluncuran buku Ideologi Politik PKS karya Imdadun Rahmat di Jakarta Jum’at (16/1) malam,
Masdar menjelaskan, jika dilihat dari kehidupan agama dan budaya di Indonesia, segala sesuatu yang datang ke Indonesia selalu mengalami proses kompromi. Ketika Hindu masuk ke Indonesia, juga menjadi Hindu Indonesia, Hindu Bali beda dengan Hindu di India. Begitu juga Budha, Kristen bahkan Kristen Jawa dan Batak, yang semakin melokal. Hal yang sama juga terjadi pada Islam dengan metode dakwah ala Walisongo yang berhasil mengislamkan Indonesia.
“Ketika gagasan luar masuk ke Indonesia dan terus bertahan dengan keadaan awalnya, akan menjadi terasing, tidak bisa menjadi arus utama. Saya tidak tahu apakah dialog keislaman ala PKS akan berakhir sama atau mampu membalik pola budaya yang selama ini terjadi dalam sejarah sosial budaya di Indonesia,” tandasnya.
Apa yang dibawakan oleh PKS memang bertolak dari pemahaman keislaman Ikhwanul Muslimin yang lintas negara dengan faham salafi atau wahabisme yang memang akomodasi terhadap fikiran dan tradisi lokal relative terbatas.
Lahir dengan puritanisme berkadar tinggi, aliran wahabi seringkali memperjuangkan tujuannya melalui cara-cara kekerasan. Dalam sejarahnya, ratusan ribu orang dari kalangan syiah, sunni dan ulama sufi terbunuh karena tidak sependapat dengan aliran ini. Para sejarawan mengatakan aliran ini sebagai khowarij modern. Kaum khowarij adalah kelompok yang membunuh Sayyidina Ali, yang dianggapnya sudah keluar dari prinsip-prinsip Islam.
“Kalau di Indonesia yang ekstrim-ekstrim tempatnya di pinggir, tidak pernah menduduki sentrum.. Bukan berarti yang ekstrim harus ditolak, karena kadang-kadang ada gunanya juga, untuk mendinamisir. Kelompok mainstream kalau tidak ada pesaing akan melempem. Tapi harus disadari tidak mereka akan pernah menjadi arus utama,” imbuhnya.
Berbeda dengan kaum puritan, para kiai di pesantren dan di kampung lebih menghargai tradisi dan kebudayaan lokal, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Masdar menuturkan sebuah hadist yang menceritakan rasulullah mengumpamakan dirinya sebagai satu bata yang melengkapi bangunan yang dibangun oleh para nabi sebelumnya.
“Jadi apresiasi tehadap tradisi dan kearifan yang ada jauh sebelum Islam datang, ini merupakan bagian integral dari keislaman itu sendiri. Ini tentu jauh dari klaim bahwa di luar Islam, yang datang dari rasulullah, tidak ada kebenaran,” tandasnya.
Demikian pula, ditambahkannya, keislaman yang datang ke Indonesia, untuk menggenapi kearifan dan kemulayaan tradisi yang sudah sesuai dengan Islam. Saya fikir ini merupakan peristiwa yang luar biasa, dan mungkin agak mengagetkan bahwa ada teman-teman yang mengklaim kebenaran hanya di fihak saya dan tidak ada di fihak lainnya,” terangnya.
Masdar berharap dialog yang intens antara keislaman dan keindonesiaa ini terus dilakukan yang akhirnya mampu menjadikan dirinya sebagai Indonesian muslim bukan Muslim in Indonesia. “Bukan menumpang, tetapi menjadi Indonesia,” tandasnya. (mkf)