Warta

Masdar, Gus Sholah, dan Slamet Effendi Adu Konsep di Tebuireng

Senin, 26 Oktober 2009 | 00:23 WIB

Jombang, NU Online
Tiga tokoh yang selama ini diproyeksikan maju dalam bursa Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) hadir dalam pertemuan PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) se-Jatim yang bertempat di Aula Yayasan Bahrul Ulum, Ponpes Tambakberas, Jombang, Ahad (25/10).

Tiga kandidat itu adalah KH Salahudin Wahid, KH Masdar Farid Masudi, dan Drs Slamet Effendi Yusuf. Dalam forum yang diberi judul 'Merajut Kebersamaan Dalam Memurnikan Nilai-nilai Khittah NU 1926' ini ketiga tokoh tersebut memberi gambaran bagaimana wajah NU di masa depan. Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya muktamar sebagai forum tertinggi di tubuh organisasi dengan massa terbesar itu.<>

Mantan Ketua Umum GP Ansor, Slamet Effendi Yusuf menjelaskan, NU sebagai organisasi massa harus kembali pada khittahnya. Yakni, sebagai organisasi sosial keagamaan. Sehingga NU tidak lagi larut dalam kepentingan politik praktis. Dengan begitu, menurut Slamet, NU tidak lagi hidup di ruang kosong.

Pria yang pernah aktif di Partai Golkar ini lebih banyak mereview perjalanan NU, mulai berdiri hingga saat ini. Ia mengakui, NU pernah terjuan dalam wilayah politik. Meski demikian, pihaknya tidak menyalahkan keputusan para kiai pada waktu itu. Sebab, dia yakin bahwa keputusan itu merupakan sesuatu yang terbaik pada saat itu.

"Tidak mungkin para kiai menelurkan keputusan tanpa pertimbangan. Saya keputusan kiai saat itu sudah melalui pertimbangan," kata Slamet menerangkan.

Sedangkan KH Masdar Farid Masudi, dalam pemaparannya lebih menyoroti tentang wacana kembali ke khittah NU yang akhir-akhir ini kerap dilontarkan oleh banyak pihak. Alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menjelaskan, wacana tentang kembali ke khittah itu pernah terlontar pada muktamar NU ke-27 di Asembagus, Situbondo pada 1984.

Hanya saja, ia menilai bahwasannya secara substansi khittah pada 1984 itu akan berbeda dengan khittah dalam muktamar di Makassar mendatang. Masdar menjelaskan, wacana kembali ke khittah pada 1984 merupakan imbas dari memburuknya hubungan NU dengan penguasa. Yakni, saat itu NU memposisikan diri berhadap-hadapan dengan Orde Baru. Sehingga menjadi pengurus NU harus siap berhadapan dengan segala bentuk intimidasi.

Akibat tekanan itu, akhirnya dalam mukatamar NU di Situbondo muncul keputusan kembali ke khittah. "Jadi kembali ke khittah waktu itu lebih pada mencairkan kebekuan antara NU dan penguasa," kata pria kelahiran Purwokerto ini.

Jika dalam bahasa vulgar, lanjut Masdar, kembali ke khittah waktu itu bisa diartikan bahwa warga Nahdliyyin boleh memilih Partai Golkar. Dan orang yang menikmati buah manis dari kembali ke khittah itu adalah Slamet Effendi Yusuf. "Buktinya setelah ada gerakan kembali ke khittah, Pak Slamet kemudian masuk Partai Golkar, bahkan menjadi anggota dewan pusat," sindir Masdar kepada Slamet yang duduk di sebelahnya. Mendapat semprotan itu, Slamet hanya tersenyum kecut.

Bagaimana dengan wacana kembali ke khittah dalam muktamar mendatang? Pria yang kerap menjadi pembicara seminar ini menjelaskan, konteks kembali ke khittah dalam muktamar 2010 jelas berbeda. Khittah yang dimaksud adalah bagaimana NU kembali merawat umat. Semisal merebut kembali masjid-masjid yang selama ini sudah meninggalkan qunut.

Bukan hanya itu, memberdayakan ekonomi warga Nahdliyyin juga merupakan bagian dari khittah. "Apalagi saat ini banyak bermunculan gerakan Islam radikal. Sebagai organisasi dengan massa terbesar NU harus kembali ke khittah untuk melawan semua itu," tegas Masdar seperti dilansir beritajatim.com.

Sementara itu, pengasuh ponpes Tebuireng, Jombang KH Salahudin Wahid lebih menyoroti amburadulnya keorganisasian internal NU. Ia mencontohkan, dari beberapa badan otonom (Banom), hanya Muslimat yang selalu eksis. Sedang banom lainnya berjalan asal-asalan.

Sehingga, menurut Gus Solah, yang dibutuhkan sebuah organisasi itu bukan hanya besar, namun yang paling penting adalah kuat. Selain itu, mantan wakil ketua Komnas HAM ini juga menyoroti masih rancunya lembaga syuriah dan tanfidziyah. Sehingga wibawa syuriah tidak memudar ditelan oleh otoritas tanfidziyah. Dalam hal itu juga jabatan syuriah seolah-olah berada di bawah tanfidziyah.

Untuk memulihkan supremasi kepemimpinan syuriah, menurut adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini, adalah dengan menerapkan cara pemilihan yang berbeda dalam muktamar. Yakni, yang dipilih oleh muktamirin adalah rais aam dan wakil.

Selanjutnya, kepengurusan lengkap syuriah memilih ketua umum dari sejumlah calon yang diusulkan oleh para muktamirin. Setelah itu ditegaskan mana wilayah yang menjadi tugas syuriah dan mana yang menjadi wewenang tanfidziyah. "Dengan garis tegas itu maka tugas dan wewenang dua lembaga ini tidak tumpang tindih. Dan yang lebih penting wibawa syuriah tetap terjaga," tandas Gus Solah yang disambut aplaus hadirin. (mad)


Terkait