Nurul Arifin Dukung Fatwa PBNU Tentang Pengharaman Infotainment
Ahad, 13 Agustus 2006 | 10:27 WIB
Jakarta, NU Online
Artis cantik Nurul Arifin mengaku bersyukur atas fatwa hukum haram menonton tayangan infotainmen yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menyambut baik dan mendukung keputusan yang dihasilkan dari forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya, akhir Juli lalu itu.
“Secara pribadi, sebagai artis, saya mensyukuri fatwa PBNU itu,” kata Nurul Arifin saat menjadi narasumber dalam acara dialog bertajuk “Kesehatan Reproduksi Remaja” yang digelar oleh Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) di Hotel Mega, Jakarta, Minggu (13/8)
<>Nurul menilai, berita di infotainment selama ini memang lebih banyak membuka serta mengungkap kehidupan yang sangat pribadi dari seorang artis. Hal itulah yang ia jadikan dasar sehingga sampai pada kesimpulan untuk mendukung fatwa haram atas tayangan yang kebanyakan berisi gosip tersebut.
Dukungannya terhadap keputusan para ulama NU se-Indonesia itu, katanya, juga didasari karena tidak berfungsinya lembaga sensor dari pemerintah serta kurang pro-aktifnya Komisi Penyiaran Indonesia.
Oleh karena itu, diakui Nurul, keluarnya fatwa yang cukup kontroversial tersebut seperti mendapat sebuah pencerahan. “Fatwa ini seperti menyirami, memberikan wacana damai bagi saya,” ungkapnya.
Seperti halnya pengalaman sejumlah artis yang lain, Nurul juga mengaku kesulitan menghadapi kejaran wartawan infotainment. Tak jarang, katanya, sejumlah wartawan infotainment harus menggelar tenda di depan rumah sang artis demi mendapat keterangan tentang gosip yang sedang berkembang.
Dikatakan Nurul, akibat buruk yang ditimbulkan dari tayangan gosip infotainment tersebut tak hanya dirasakan oleh para artis atau selebritis, melainkan lebih luas lagi kepada seluruh anggota keluarga.
“Misalkan kasus perceraian, pada dasarnya itu tidak hanya melibatkan dua orang (suami-istri, red), tapi juga anak, keluarga besar yang bersangkutan. Kalau itu yang ditonjolkan, sangat berbahaya bagi anak, keluarga besarnya juga,” kata perempuan kelahiran Bandung, 18 Juli 1966 ini.
Kritisi Kebijakan Pemisahan Kelas Siswa-Siswi
Dalam kesempatan yang sama, mahasiswi Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Indonesia ini mengkritisi kebijakan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah tentang pemisahan kelas siswa putera dan puteri di sekolah umum. Ia menilai, kebijakan tersebut tidak tepat jika bertujuan untuk meminimalisir kerusakan moral generasi muda. Kebijakan tersebut, imbuhnya, justru akan memasung interaksi sosial remaja.
”Kebijakan itu instan dan simbolik belaka. Saya khawatir jika siswa dipisah berdasarkan perbedaan jenis kelaminnya akan mengganggu interaksi sosial mereka,” tegas istri Mayong Suryalaksono ini.
Artis yang juga mantan calon legislatif dari Partai Golkar ini mengungkapkan, survei yang dilakukan Synovate Research di empat kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan) menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja Indonesia saat ini memang cukup mengkhawatirkan. Ada sekitar 44 persen responden yang mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks di usia 16-18 tahun. Bahkan, 16 persen responden lainnya mengaku melakukan hal yang sama di usia 13-15 tahun.
Lebih lanjut dikatakannya, sebagian besar remaja (65 persen) mengetahui informasi seksual dari teman sebayanya dan 35 persen mengaku mendapatkan informasi tentang hal tersebut dari film porno. Ironisnya, hanya 5 persen responden yang menyatakan mendapatkan informasi seks dan kesehatan reproduksi dari orang tua.
”Data-data tersebut memang mengkhawatirkan. Tetapi tidak kalau mencari solusi dengan memisahkan ruang kelas mereka. Ini sama artinya, kita, orang tua, berpikirnya sudah jorok duluan. Kesannya yang orang tua itu terlalu mencurigai anak muda,” jelas Nurul.
Kalau kebijakan instan tersebut terus berlanjut, imbuh Nurul, tidak tertutup kemungkinan akan muncul kebijakan-kebijakan sejenis. ”Jangan-jangan nanti guru perempuan hanya boleh mengajar murid perempuan. Pasien wanita tidak boleh dirawat dokter pria. Dan saya cukup keberatan jika seperti ini diberlakukan,” ujarnya.
Justru yang lebih penting adalah bagaimana memberikan pendidikan dan pemahaman yang baik mengenai kesehatan reproduksi remaja. Menurut Nurul, pengaruh terbesar terjadinya penyimpangan seksual remaja adalah informasi yang tidak baik dari luar, bukan karena mereka belajar dalam satu kelas. (rif)