Warta

Umat Beragama Diajak Pahami Ajaran Agama Lain

Ahad, 17 Juni 2007 | 12:34 WIB

Makassar, NU Online
Seluruh pemeluk agama baik muslim dan non muslim diajak untuk saling memahami ajaran agama pemeluk lain dan menjalin hubungan komunikasi serta toleransi agar konflik antar agama dapat dihindari.

Pasalnya, kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Khofifah Indar Parawansa dalam Training of Trainer (ToT) Peran Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Ditengah Keragaman Etnis dan Budaya yang digelar di Makassar, Minggu, komunikasi dan toleransi serta adanya pemahaman ajaran agama pemeluk agama lainnya dapat menciptakan sensitivisme agama.

<>

Dia memberikan contoh, saat beredar informasi terkait adanya Al Quran yang diinjak-injak di Guantanamo, kamp militer Amerika Serikat di Kuba, seluruh umat muslim di dunia gempar dan mengecam tindakan tersebut tanpa dikomando karena menganggap bahwa hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap Alquran yang merupakan kitab suci kaum muslim.

Demikian pula halnya dengan karikatur Nabi Muhammad di Jerman yang dianggap telah melecehkan Islam dan nabi yang sangat dihormati kaum muslim.

Kofifah juga menceriterakan pengalamannya saat menghadiri pertemuan dengan sejumlah observer (pengamat) agama bersama KH Hasyim Muzadi di Jerman, dimana ia diberikan salib yang terbuat dari kayu.

Ukurannya sekitar 10 centimeter dan tertulis ’Palestine Wood’ yang berarti bahwa salib tersebut terbuat dari kayu yang berasal di perbatasan Palestina dan Jerussalem.

"Saya mengatakan bahwa saya bisa saja membakar salib ini bukan atas nama demokrasi seperti yang diagung-agungkan Jerman tetapi itu tidak saya lakukan karena saya menghargai bahwa salib ini merupakan simbol agama yang dihormati kaum nasrani," jelasnya.

Khofifah yakin, karikatur Nabi Muhammad yang dianggap sebagai bentuk pelecehan dan penistaan nabi kaum muslim seperti yang dimuat surat kabar Jerman, Jylland Posten, tidak akan terjadi bila yang bersangkutan memahami agama lain termasuk simbol-simbol agama pemeluk lain.

Selain itu, lanjut Khofifah, faktor miskomunikasi ini juga menjadi penyebab terjadinya kehidupan yang destruktif dimana ’ending’nya  bisa melahirkan separatisme seperti kasus Ambon.

Konflik yang terjadi di Ambon ini, lanjutnya, mengatasnamakan agama (perang agama antara Islam dan Kristen) padahal sesunguhnya, pemicu peristiwa tersebut adalah masalah sepele yang tidak ada kaitannya dengan agama tertentu.

Padahal bila terjalin dialog atau komunikasi dalam menangani masalah ini, tambah aktivis perempuan ini, konflik SARA di Ambon tidak akan terjadi.

"Simbol agama ini sering dieksploitasi sehingga tidak mengherankan bila konflik terkait SARA sangat cepat menyebar dan untuk meredam konflik itu, tokoh agama diminta untuk menyelesaikannya karena mereka dianggap paling memahami ajaran agama lain," jelasnya.

Menurut mantan Menneg Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur ini, umat muslim mengetahui bahwa ada yang disebut ekstrimisme (memahamai dan menerapkan nilai-nilai keagamaan sangat tinggi) dan liberalisme (terlalu kecil memahami nilai-nilai keagamaan) sebab itu, pihaknya meminta agar masyarakat perlu membedakan antara ’Islam as a teaching’ (Islam sebagai sebagai suatu ajaran) dan ’Islam as a movement’ (Islam sebagai pergerakan).

Dia memberikan contoh, masalah kerusuhan sosial di Thailand Selatan (Patani) yang mengarah pada SARA (suku, agama dan ras).

Menurut Khofifah, konflik yang terjadi di Patani merupakan kerusuhan yang diakibatkan pihak-pihak tertentu hanya untuk memenuhi keinginannya dimana dengan kekuasaannya tersebut, mereka melibatkan nilai-nilai keagamaan sehingga tejadinya konflik antar agama.

Khofifah yakin, bila masing-masing pemeluk agama memahami ajaran agama lain, kerusuhan sosial akan dapat dihindari dan keharmonisan antarpemeluk agama pun terwujud. (ant/nun)


Terkait