Wawancara

Bagi NU, Paham Kebangasaan adalah Prinsip ! (Bagian II)

Senin, 11 Agustus 2003 | 12:43 WIB

: Tapi … agendanya?
: Coba kita datang sajalah, obyek sudah ada, tinggal bagaimana kita mengkoordinasikan saja, coba mereka yang berangkat haji adalah orang NU, mereka yang bayar pajak, bayar iuran, katakanlah orang NU lah yang ngak pernah punya, ngak pernah ngemplang plang makan uang negara ya kita.

: Jadi kita punya modal luar luar biasa?
J   : Ya, kekuatan moral, ini yang harus diakui siapkah pengusaha pengusaha NU yang ngempang

<>

: Sebetulnya godaannya cukup besar?
J   : Ya, ya memang sulit dihindari

: Apakah kepengurusan tanfidyah lebih dominan dari syuriah ?
J   : Kalau mensikapi politik harus, tetapi politik kepentingan sehingga terseret sebagai pelaku politik harus kita hindari. Sebagai politik kita hindari bahwa NU punya dampak politik atau sikap politik itu harus tetapi jangan sampai terseret menjadi pelaku politik dengan menggunakan kebesaran NU, kalau sebagai pribadi, silahkan.

: Maksudnya konsep khittah?
  : Sudahlah, konsep khittah kita yang paling pas dan ideal, keluar dari itu, itu sudah tidak karu-karuan, kalau saya pribadi, saya bangga punya massa yang di Golkar atau di partai lain seperti Hamzah Haz di PPP, ternyata ada orang NU yang bisa berperan di luar dan selama ini bagaimanapun juga Hamzah Haz masih mengaku NU dan merasa bangga sebagai NU san sampai sekrang masih kelihatan ke-NU-annya, menteri agama sekarang juga kelihatan ke-NU-annya.

: Jadi masih ada rasa solidaritasnya ?
J  :  Masih tebal, kalau ada kegiatan pasti hadir, kalau di PKB saya tidak pernah datang, secara kongret, buktinya tanda tangan saya ke PPP masih laku, ke PKB ngak.
Hal ini merupakan fardhu kifayah, minimal 1 tahun dilaksanakan, kalau masyarakat meninggal – muslim atau non muslim kecuali itu jahat, apa artinya, kalauada WNI mati kelaparan, tidak mampu beli obat atau masuk rumah sakit, kita dosa semua, muslim atau non muslim.

: Jadi misi kemanusiaan itu besar sebenarnya?
J  : Dalam hadis nabi, Ayyuhannas, bukan Ayyuhal muslimun, wahai manusia, jagalah nyawamu, hartamu, martabat dirimu yang diungkapkan Rosulullah dihadapan 15 ribu jamaah haji. Barang siapa yang mengganggu martabat manusia pasti mengotori kesucian haji, kesucian Makkah, kesucian Arofah, makanya nabi mengatakan barang siapa membunuh, maka ia berhadapan dengan saya.

: Tapi dalil-dalil  seperti itu sekarang dilupakan orang
J  :  Orang biasanya melupakan bagian ini, ketika muslim menang, orang non muslim dilindungi, dan ketika non muslim menang, orang Islam dibantai. Ya kalau kita bersikap sama apa bedanya. Laa yanhaakumullah… tidak dilarang Allah kamu berbuat baik dengan non muslim ketika mereka tidak mengganggu kita. Yang dilarang adalah berbaik-baik dengan non muslim yang memusuhi kita dalam keadaan perang dan mengusir umat Islam dari negaranya seperti ketika Arab Saudi dan Kuwait membela Amerika dalam menyerang Irak. Kalau bergaul biasa boleh, mau muasyar bil makruf .

: Kelihatannya wacana-wacana keIslaman alternatif agak kurang berkembang?
: Karena hal ini membutuhkan pemikiran, pemahaman, dan internalisasi, sehingga bisa menghasilkan pemahaman seperti itu, kalau hanya emosi yang ada hanya laa koliluu dan faktuluuhum.

NU dulu kan cukup gencar gerakan pemikirannya dan sekarang kelihatan agak redup, apa sedang internalisasi atau memang berhenti ?
J  : Terus terang semua pemikiran apapun harus ada figur, Al Ghozali berjasa besar menggabungkan syariah dan tasawuf, hal yang waktu itu berbeda dan berjalan sendiri-sendiri, padahal disamping Ghozali terdapat banyak ulama lain, tetapi mengapa Ghozali yang menonjol, karena Ghozali satu figur yang diakui, jadi panutan, dan ia sendiri melaksanakan hal itu dengan argumentasinya yang luar biasa sehingga pengaruhnya besar sekali dalam Islam. Ibadah itu ada dhohir dan batin, dhohir saja bodoh, batin saja maghrur, atau terperdaya, orang yang mengandalkan sayriat saja jahil, orang yang mengandalkan batin saja itu maghrur oleh hawa nafsu. Sebenarnya banyak sekali ulama, tapi mengapa Ghozali? Karena ada agenda besar dan orang yang mumpuni. Dulu Gus Durlah yang membawa pemikiran seperti ini dalam NU.

<


Terkait