Wawancara

Dr. Nabiel Samalluthi: “Penyeragaman Corak Keagamaan Tidaklah Mungkin”

Sabtu, 29 November 2003 | 03:22 WIB

Berbagai tindakan radikal yang mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh sekelompok orang membuat citra agama sebagai ajaran yang membawa kedamaian agak tercoreng, termasuk dalam Islam, dan juga berbagai tindakan kekerasan di Timur Tengah yang memperjuangkan keadilan terhadap penindasan yang dilakukan oleh pihak lain ataupun atas nama kebenaran agama juga membuat wilayah ini sebagai wilayah yang penuh kekerasan dan konflik.

Untuk itulah reporter NU Online Mukafi Niam dan M.Dawam Sukardi melakukan wawancara dengan mantan Dekan Fakultas Sosiologi Univwersitas Al-Azhar Mesir Dr. Nabil As-Samalluti yang saat ini juga wakil sekjen Liga Universitas Islam Dunia, ketika ia berkunjung ke Jakarta dalam rangka menghadiri sebuah seminar internasional tentang metodologi keilmuan dalam Islam. Berikut ini merupakan pandangan-pandangannya dalam berbagai hal tentang hubungan Islam Indonesia dan Timur Tengah, pluralitas dalam menjalankan ajaran agama, serta masalah terorisme yang sedang marak di dunia.

<>

Bagaimana pendapat Anda tentang perkembangan peradaban Indonesia secara dan peradaban dunia Timur Tengah?
 
Masyarakat muslim di Indonesia sangat bagus dan saya selalu mendukung perjuangan muslimin Indonesia dengan berbagai macam budaya yang berkembang di dalamnya karena Indonesia adalah negara yang paling padat penduduk muslimnya dibanding negara Islam dunia lainnya. Para intelektualnya juga banyak berasal dari produk al-Azhar, Indonesia juga memiliki ikatan emosional keagamaan dengan masyarakat Haramain (Makkah dan madinah) sejak masa lalu.

Selain itu, masyarakat Indonesia secara umum sesungguhnya adalah masyarakat yang sangat religius yang sangat kuat menjalankan ajaran Islam (mutamassikun bidinihim) dengan berbagai macam aspeknya, mulai dari cara berfikir, bermasyarakat, dan berbagai macam aspek yang lain dan mereka semua sangat mencintai hukum dari tuhannya dan rasulnya, dan saya berfikir bagaimana dunia Internasional dapat merujuk apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Indonesia adalah negara umat Islam terbesar di dunia—tanpa dapat dipungkiri—karena mereka berjumlah lebih besar daripada 200 juta.

Tetapi di dalam negeri ini terdapat berbagai macam aliran keagamaan seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu yang memiliki akar tradisi yang berbeda-beda. Tentang hal ini, apa korelasi yang dapat anda jelaskan?

Hal ini tidak menjadi masalah, karena di mana-mana juga tumbuh kesadaran keagamaan yang berbeda-beda. Model kerukunan umat beragama di Indonesia sangat menjanjikan. Dimana-mana aliran keagamaan memang muncul dengan berbagai variasinya, di Mesir pun sedemikian, di sana terdapat aliran Protestan, Katolik, Ortodok, Kong Hu Chu, dll. Meski demikian hubungan kemanusiaan diantara kita, baik di Indonesia atau di negara Timur Tengah adalah hubungan yang sangat harmonis.

Hal ini juga muncul pada saat rasul hijrah di Madinah Munawwaroh dengan berbagai faham keagamaan di sana, tetapi tidak menjadikan ketercerai-beraikan hubungan kemanusiaan, bahkan sanggup hidup bersanding dengan masyarakat yang keras, yang menentang beliau sekalipun.  Pada saat itu, nabi juga membina masyarakat-masyarakat yang ortodhok, ekstrim, radikal dalam sebuah entitas masyarakat-negara dalam sebuah ikatan kenegaraan bercorak Islam.

Kondisi demikian tak menjadi soal, sebab yang paling penting ialah bagaimana kita hidup bermasyarakat yang damai lintas etnis-keagamaan tanpa saling curiga. Di negara muslimpun banyak ajaran dan paham yang berbeda, tapi fakta menunjukkan Islam adalah agama kedamaian bisa yang hidup rukun bersama.

Tetapi masyarakat kita, artinya masyarakat Indonesia tidak hanya terfokus pada masalah-masalah keagamaan, mereka berhadapan langsung dengan realitas yang berkembang, juga merespon tentang perkembangan-perkembangan masyarakat sehingga cara berfikirnya tidak hanya mempersoalkan ritual keagamaan saja dan pada akhirnya banyak muncul beberapa pemikiran mulai yang sangat konservatif sampai dengan yang sangat radikal. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana antisipasinya?

Yang paling penting, seorang muslim harus optimis dengan agamanya, mereka hendaknya memiliki komitmen menjalankan agamanya, tetapi juga patuh terhadap pemerintahan, patuh terhadap bangsanya. Di berbagai wilayah dimana mereka hidup, harusnya tetap memperjuangkan ritual keagamaannya dengan beragam macam dinamikanya. Mereka harus membela negara dari serbuan dan gencetan musuh-musuh yang datang dari luar.

Mereka juga harus memperbaiki citra di dalam cara bernegara sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw—dimana beliau sendiri—sangat mencintai lambang kenegaraan dan pemerintahan (nasionalisme), sehingga beliau bersabda kalaupun tidak ada kebersatuan dalam keberagamaan bernegara, niscaya semua komponen bangsa ini akan retak, tercerai-berai.

Kita memiliki rintangan yang sangat berat, yakni paham keagamaan yang merasa paling ‘benar’ yang sudah ‘melenceng


Terkait