Wawancara

Dr. Yusuf Faishal: Kualitas Kerja Anggota Dewan Perlu Ditingkatkan

Jumat, 22 Oktober 2004 | 18:17 WIB

Di samping fungsi pengawasan, dan pembuatan anggaran negara, menyusun undang-undang dipahami pula oleh politisi yang ekonom dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini sebagai fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, bagi politisi yang bernama lengkap Muhammad Yusuf Erwin Faishal, menjalankan fungsi pembuatan undang-undang, bukan berarti mengejar setoran dengan memproduksi undang-undang sebanyak-banyaknya, lantas mengabaikan kualitasnya.

Nah, berkaitan dengan fungsi legislasi yang dijalankan anggota DPR periode sebelumnya, anggota DPR yang akrab dipanggil dengan nama pendek Yusuf Faishal ini punya pandangan yang boleh dikatakan jeli. Menurut suami dari penyanyi kondang Hetty Koes Endang ini, secara umum undang – undang yang dihasilkan anggota Dewan periode 1999-2004 kurang berbobot.

<>

“Mungkin karena mengejar target sejumlah undang-undang yang harus diselesaikan,  kerja DPR sebelumnya menjadi kurang optimal,”kata Yusuf  Faishal kepada NU Online, Jumat (22/10), di ruang kerjanya.

Akibatnya, dikemukakan Yusuf  Faishal, bahwa masih banyak kekurangan – kekurangan dari segi kualitas undang-undang yang dihasilkan. “Saya kira ini yang perlu menjadi perhatian di masa mendatang. Supaya kita tidak hanya menyusun dan menerbitkan undang-undang baru, tetapi isinya itu yang harus lebih berbobot, dapat diaplikasikan dan diterima masyarakat luas,”ujar bapak dari empat orang anak ini.

Sebagai contoh atas pengamatannya itu, politisi kelahiran Makassar, 25 April 45 tahun silam ini mengutip pasal 14, ayat 1 dan 2 dari  Undang Undang No. 17 Th. 2003 mengenai  Keuangan Negara. 

Dalam pasal 14, ayat 1 dan 2 yang masing-masing berbunyi: “Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya”, dan dalam pasal selanjutnya, “Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai”.

Menurut Yusuf Faishal, karena maksud yang ditunjukkan kedua ayat dari pasal 14 tersebut belum jelas, hingga sekarang, kata Yusuf  Faishal, bisa tidaknya diterapkan juga belum jelas.

“Kalau interpretasinya (penafsirannya: Red.) masih belum tegas, bagaimana eksekutif mau menjabarkan dalam penyusunan anggaran (APBN: Red.),”kata ekonom yang meraih gelar Ph.D, dari University of Kennedy Western pada 1997 ini.

“Supaya bisa dilaksanakan, pasal dan ayat dalam undang – undang  jangan sampai menimbulkan multi interpretasi,”seru Yusuf Faishal kepada koleganya sesama anggota DPR.

Selain, soal bicara legislasi, doktor bidang administrasi bisnis dan ekonomi internasional ini pun mengamati proses pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang masih tersendat-sendat. Padahal dalam UU No. 23/1999 mengenai Bank Indonesia (BI) dicantumkan perintah kepada pemerintah untuk membentuk otoritas jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2002.

Namun, prosesnya berjalan alot, karena itu, hingga hari ini, lembaga yang bertugas mengawasi industri perbankan, pasar modal, dana pensiun, modal ventura, lembaga pembiayaan, dan asuransi. Kabarnya, lembaga seperti ini tengah menjadi kecenderungan baru di beberapa negara (Australia, Korsel, dan Jepang), dengan pionirnya adalah Inggris.

Merujuk latar belakang munculnya gagasan OJK di negara-negara yang disebutkan tadi berawal dari penilaian atas "kegagalan" bank-bank sentral di negara-negara itu dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menciptakan kestabilan sektor keuangan,  khususnya dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat (sound banking system).

Demikian pula di Indonesia, gagasan OJK  bukan hanya merujuk kecenderungan dalam sistem industri keuangan di negara-negara yang sudah menerapkan sistem ini. Lebih dari itu, krisis ekonomi yang berujung dengan likuidasi 16 bank nasional, sebagian dianggap sebagai akibat kegagalan pengawasan BI kepada bank – bank tersebut.

Meski demikian, gagasan OJK baru sampai kepada RUU OJK. Pembentukannya belum berhasil dilakukan. Karena belum juga terbentuk, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sedianya disiapkan untuk menggantikan program penjaminan simpanan dibawa BPPN pun tidak juga terbentuk. Bahkan, sampai dengan hari ini, setelah BPPN resmi bubar awal 2004.  Sumber persoalannya tentu terkait dengan fungsi sistem OJK sebagai badan regulasi keuangan yang akan memayungi LPS, belum juga berhasil dibentuk. 

Masyarakat pun dibuat ketar – ketir, khususnya para investor yang menyimpan uang lebihnya di perbankan saat ini. Pasalnya, mereka menangkap pesan dari pencabutan izin usaha Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali (BDB) oleh Bank Indonesia waktu itu, sebagai bentuk lemahnya pengawasan BI. Apalagi pencabu


Terkait