Wawancara

KH Hasyim Muzadi: Bila Syariah Harfiah, Negara Retak

Sabtu, 20 Mei 2006 | 05:32 WIB

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai ormas Islam terbesar, selama ini dicitrakan sebagai pemberi warna dominan wajah Islam Indonesia yang moderat. Bersama Muhammadiyah dan simpul arus utama muslim lainnya, NU menerima Indonesia sebagai model final hidup bernegara yang bhinneka.

Namun di tengah ingar bingar formalisasi syariat Islam belakangan ini, posisi NU dan Muhammadiyah dinilai condong ke "kanan". Tidak moderat lagi. Masihkah NU punya komitmen pada bingkai negara-bangsa? Berikut petikan wawancara Asrori S. Karni dari GATRA dengan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, Rabu, 19 April lalu, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat.

<>

Menurut survey, dukungan pada penegakan syariat Islam di atas 70%, dan terus menguat. Saat yang sama, peraturan perundangan (tingkat pusat maupun daerah) yang menyerap elemen Islam, baik eksplisit maupun implisit, makin marak. Kampanye sistem khilafah juga terus gencar. Pro kontra merebak. Menguat kembali kekhawatiran, Indonesia segera menjadi negara Islam. Apakah NU masih punya komitmen pada Indonesia sebagai nation-state?

Nanti akhir Juli 2006, kita akan menyelengarakan Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama dan Konbes (Konferensi Besar) NU. Kalau Munas untuk Syuriyah plus ulama-ulama yang muktabar (punya legitimasi luas), Konbes untuk Tanfidziyah. Insya Allah di situ akan kita tegaskan kembali sikap NU terhadap NKRI dengan segala spektrumnya. Baik spektrum ideologi negara, sistem hukum, sistem teritorial, sistem budaya, dan sebagainya. Sekalipun sudah pernah kita tegaskan pada tahun 1984, 22 tahun lalu, bahwa NKRI, Pancasila, dan UUD 45, merupakan upaya final umat Islam Indonesia. Ini perlu ditegaskan kembali justru karena tarik menarik itu tadi.

Sikap NU pada penerapan Syariat Islam?

Syariat Islam sekarang diterima dengan apriori. Pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan, syariat harus dilakukan secara tekstual. Di lain pihak, ada orang yang mendengar kata syariat saja sudah ngeri. Istilah Arabnya, ada ifrad (berlebihan mengamalkan beragama) dan tafrid (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama).

Menurut NU, masalahnya bukan pro kontra syariat. Tapi bagaimana pola metodologis pengembangan syariat dalam NKRI. Syariat tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa tathbiq al-syariat (aplikasi syariat) secara tekstual dilakukan dalam civil society, tidak dalam nation-state. Aplikasi tekstual itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri. Dia harus taat beribadah, taat berzakat, dan sebagainya. Sehingga firman Allah, wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun, (barang siapa tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang kafir), ungkapan man (barang siapa) di sini maksudnya "orang", bukan "institusi".

Bolehkah regulasi negara menyerap syariat Islam?

Untuk level nation-state, untuk pemerintahan bangsa dan negara, yang masuk dari agama itu nilai luhurnya saja. Hanya maqashid al-tasyri' (maksud ditetapkannya syariat) dan hikmat al-tasyri' (hikmah ditetapkannya syariat) atu esensi syariat saja yang masuk. Kemudian prosesnya, pengemasanya, dan formatnya, melalui proses demokrasi, proses keindonesiaan, dan proses kebhinekaantunggalikaan. Sehinga tak ada lagi konflik antara agama dan negara karena masing-masing ada proporsinya.

Misalnya, kita sekarang membuat UU Anti-Korupsi. Tidak perlu disebut "UU Islam Anti-korupsi". Karena anti-korupsi itu sudah islami. Sehingga yang masuk dalam UU ini bukan teksnya. Karena kalau teks yang masuk, NKRI ini akan rontok, akan retak. Padahal semua agama ingin anti-korupsi. Tapi ketika ditambah kata "Islam", menjadi tathbiq syariah lafdhan (penerapan syariat secara harfiah), dan ini bisa menjadikan negara retak. Padahal dengan tathbiq syariah maknan (implementasi syariat secana substantif), tak ada masalaah. Maka umat Islam harus kembali ke sini.

Pandangan NU pada kampanye khilafah?

Khilafah dalam arti apa? Kalau dalam arti Khulafaur Rasyidin yang pernah ada setelah Rasulullah, itu sudah tidak relevan lagi sekarang. Tapi kalau khilafah dimaksudkan sebagai pemerintahan yang demokratis, sesuai dengan proses rakyat, artinya, pemerintahan yang ada sekarang ini disebut sebagai khilafah, mungkin masih kita pertimbangkan.

Menurut pandangan NU, ketika Rasul wafat, ada dua hal yang tidak diputuskan Rasul. Pertama, siapa penggantinya, kedua, dengan proses apa pengganti diangkat. Sehingga Rasul yang wafat hari Senin, baru Rabu sore dimakamkan, karena menunggu keputusan musyawarah siapa penggantinya. Artinya, khilafah itu bukan perintah Rasul. Kalau bukan perintah, maka khilafah itu ma


Terkait