Wawancara

KH. Ma'ruf Amin: Muktamar Perlu Rumuskan Konsep yang Lebih Implementatif

Senin, 8 November 2004 | 01:55 WIB

Gagasan agar NU segera menetapkan sistem pengambilan keputusan hukum pernah dilontarkan oleh KH. Ma’ruf Amin menjelang Muktamar NU ke-31. Pentingnya organisasi ini merumuskan manhaj (metodologi) hukum, menurutnya, dimaksudkan untuk menghindarkan tertundanya keputusan hukum segala permasalahan yang belum pernah ditetapkan dalam nash (Qur’an dan Hadits) maupun qaul (pendapat ulama terdahulu) dalam kutubul mu’tabarah (kitab-kitab pegangan). Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindarkan munculnya jawaban terhadab berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.

Berikut adalah petikan wawancara yang dilakukan Reporter  NU Online Suraji Sukamzawi dengan KH. Ma’ruf Amin, Senin (8/11/4) mengenai masalah seputar manhaj. Topik ini sengaja diangkat NU Online menjelang pelaksanaan Muktamar NU ke-31, 28 November mendatang di Asrama Haji Donohudan Solo. Sebab forum muktamar adalah forum yang tepat untuk membahas dan memutuskan  persoalan  manhaj yang  digunakan sebagai sistem pengambilan keputusan hukum yang hingga saat ini belum ditegaskan jami’iyah NU.  

<>

Sejauh mana pentingnya NU punya manhaj tersendiri untuk menetapkan hukum?

Itu bukan penting sekali, memang seharusnya punya. Karena NU itu sendiri sebenarnya kan manhaj. NU itu merupakan manhaj at-thariqah (sistem, red.)yang meliputi berbagai aspek termasuk manhaj dalam menetapkan hukum. Dan itu sudah lama sekali berjalan, tapi baru ditetapkan tahun 1992 di Lampung saat Munas, yang menjadi sistem penetapan hukum di lingkungan Nahdatul Ulama (NU: Red.). Jadi sesungguhnya manhajnya sudah ada, tinggal mengimplementasikannya supaya menjadi lebih hidup. NU itu sendiri kan manhaj, baik manhaj dalam menetapkan hukum, manhaj yang sifatnya akhlaqiyah (akhlak), iqtishadiyah (ekonomi), siyasiyah (politik), itu NU punya manhaj tersendiri.

Dalam implementasinya apakah selama ini ada kelemahan atau ada kekurangan yang perlu ditindaklanjuti?

Saya kira yang penting itu tentu kemampuan di dalam merespon berbagai perkembangan. Selama ini ketetapan itu kan lahir ketika Munas atau Muktamar, sementara persoalan-persoalan itu kan terus berkembang, baik politik, ekonomi, dan lain-lain. Seharusnya dalam merespon perkembangan itu NU menggunakan metode itu atau manhaj itu, bukan kemudian dalam merespon perkembangan itu orang ngomong sendiri-sendiri.

Apakah ada kecenderungan sekarang ini orang ngomong sendiri-sendiri?

kayaknya begitu.

Contohnya Pak Kyai?

Ya membuat omong sendiri-sendiri, pendapat sendiri, pandangan sendiri dalam merespon perkembangan. Jadi yang sudah ada itu sifatnya masih umum. Mestinya kan di-breakdown (diturunkan, red.) dalam berbagai hal.

Dalam praktiknya ada perbedaan di tingkat NU sendiri dalam mengeluarkan pendapat, semisal soal presiden perempuan. apakah ini juga karena faktor kelemahan dari manhaj ini?

Saya kira kita belum secara tuntas membahasnya. Di satu sisi kita sungkan untuk berbicara lebih tegas, jadi kepentingan-kepentingan politik lebih dominan dari pada sebagai pandangan hukum. Untuk mengeluarkan pandangan hukum itu kan harus punya keberanian, kalau tidak boleh ya harus berani mengatakan tidak boleh, kalau boleh ya jangan bilang itu pendapat khilaf (menjadi perdebatan). Kalau khilaf itu kan kita harus pilih mana pendapat yang unggul kan? Pendapat itu perlu disikapi. Sering kali kita membiarkan orang memilih sesuatu perbedaan pendapat, sementara masyarakat disuruh memilih sendiri. Masyarakat kan tidak memiliki kemampuan untuk membedakan itu, jadi seharusnya yang dipilih pendapat yang arjahul aqwal (pendapat yang lebih kuat, red.) tapi ia memilihnya sesuai selera.

Apakah Pak Kyai juga menengarai adanya pendangkalan-pendangkalan pemahaman keagamaan atau situasi semacam ifrodl (kekosongan)?

Ya saya sendiri kan sudah bilang ada kekosongan baik secara tafridli (individu) maupun manhaji (kolektif). Nah, Metode ini yang bisa dijadikan pegangan baik dalam tafridli maupun manhaji. Dulu yang banyak di NU itu tafridli, artinya orang itu merespon perkembangan itu kalau ada nash atau qaul-nya saja. Jadi itu yang saya sebut sebagai tafridli atau qauli. Jadi kalau tidak ada qaul ya ndak mau. Belakangan ini, setelah kita ingin supaya tidak ada tafrifdli sehingga tidak ada kekosongan lalu kita arahkan ke manhaji, tetapi kan bandulnya berlebihan.

Di mana Berlebihannya?

Banyak yang berpikiran semua harus direspon, tapi dengan dalil lil hajah (kebutuhan), lil mashlahah(kemaslahatan), li maqashid asy-syari'ah (tujuan hukum), li syadd adz-dzari'ah (menghindarkan bahaya), tapi bi la tahdidin wa dlawabin, nggak pakai patokan, jadi itu naman


Terkait