Wawancara

Mustofa Zuhad: Orang NU tak Punya Target untuk Laksanakan Programnya

Sabtu, 18 Juni 2005 | 01:47 WIB

Dalam aktifitasnya di NU selama ini, Ketua PBNU Ir Mustofa Zuhad Mughni lebih banyak berkecimpung dalam bidang perekonomian. Saat inipun ia mengelola 12 BPR Nusumma yang saat ini sudah sepenuhnya menjadi milik NU. Dalam pembagian tugas ia menerima tanggung jawab untuk mengembangkan kewirausahaan dan koperasi serta bertanggung jawab terhadap Lembaga Perekonomian NU, Lembaga Zakat Infak dan Shodakoh serta Lembaga Wakaf.

Pemikiran-pemikirannya dalam usaha pemberdayaan ekonomi warga NU dan pengembangan lembaga, termasuk kehidupan pribadi dan sejarah pengabdiannya di NU terungkap dalam wawancara dengan reporter NU Online Mukafi Niam di kantor Nusumma di Gd. PBNU Lt 8 beberapa waktu lalu.

<>

Bagaimana upaya pendanaan NU?

Saya belum menyanggupi untuk ikut disitu, saya konsentrasi dibidang pemberdayaan ekonomi. Saya akan membantu, tapi tidak sebagai penanggung jawab. Kebetulan lembaga yang saya pegang adalah lembaga perekonomian, lembaga zakat, infak dan shodakoh, dan ketiga lembaga wakaf dan pertanahan. Saya bersama Kyai Ma’ruf Amin akan membuat lembaga wakaf ini tidak sekedar wakaf tanah, tetapi juga wakaf uang sehingga bisa dijadikan usaha.

Sebenarnya lembaga ini kan sudah lama ada?

Kalau dulu kan sekedar tim pertanahan NU, sekarang kita jadikan lembaga

Konsepnya bagaimana, sekarang kan sudah ada asetnya. Bagaiman upaya menyelesaikan konflik tanah wakaf?

Secara kelembagaan harus diberdayakan. Yang punya NU ya tetap. NU kan merupakan badan hukum. Banyak asset NU di daerah yang dikelola oleh wilayah dan cabang. Setelah lembaga wakaf ini terbentuk, kita akan membuat suatu badan wakaf NU yang tidak tergantung pada periodisasi kepengurusan. Mungkin dia tiap tahun harus membuat laporan, jadi bisa saja pergantian kepengurusannya dua tahun sekali, yang jelas tidak harus sama dengan PBNU.

Terus kalau tentang LPNU diharapkan bisa menggerakkan perekonomian warga NU, tapi dalam realitasnya lebih banyak dalam penyelenggaraan seminar?

Memang terdapat perbedaan penafsiran antara LPNU dan mereka yang pikiran-pikirannya mau bikin bisnis. Itu tidak dibenarkan oleh PBNU. Jalan keluarnya ya itu, seminar-seminar, pengembangan visi sebenarnya. Tapi mereka kan juga bikin PT, koperasi, banyak juga. Tapi kan tidak dilihat. Kita harapkan LPNU bisa menjadi fasilitator perusahaan-perusahaan. Jadi LPNU tidak bisnis.

Tapi PBNU sendiri juga membutuhkan dana untuk operasionalnya?

Saya belum pernah melihat ada organisasi membuat perusahaan yang bisa membiayai, hatta itu Golkar. Resikonya luar biasa besar. Makanya saya tidak pernah berpretensi Nusumma saat ini menyumbangkan sesuatu ke PBNU. Tetapi saya akan mengembangkan Nusumma sebanyak-banyaknya. Jika untung saya kembangkan lagi, untuk membuat BPR baru lagi.

Artinya 500 juta setahun tak ada artinya, buat PBNU, wong NU biayanya milyaran. Coba bayangkan yang namanya pengurus pergi ke Surabaya, semua naik pesawat, tak ada lagi yang mau naik kereta. Saya sering ke Semarang naik kereta karena pakai uang saya sendiri. Bukan pakai uangnya Nusumma karena selain saya nangani Nusumma saya nangani program lainnya. Tapi kalau tugas PBNU, ya memang harus dikasih.

Kecuali kalau badan wakaf ini sudah kayak badan wakafnya Al Azhar. Bisa membiayai mahasiswa ribuan orang. Kadang-kadang bisa menghidupi cabang yang baru dirintis. Kalau baru jalan tidak bisa untung, itu kan masih perlu subsidi. Jadi uangnya betul-betul bermanfaat.

Jadi Nusumma itu terlalu kecil untuk NU tetapi cukup lumayan untuk pengembangan selanjutnya?

Kalau Nusumma sudah 50 BPR baru bisa. Dua tahun terakhir ini kinerjanya sudah mulai membaik. Selama ini kan berganti-banti kekuasaan, ngurusi pemegang saham saja. Sekarang trennya sudah bagus. Saya perkirakan dua tahun lagi, dapat keuntungan dua milyar setahun. Tapi masih kita pakai untuk capacity building, untuk tambah BPR lagi.

Saat ini ada berapa BPR?

Ada dua belas. Dan ini 100 persen milik NU, jadi tak ada lagi penyertaan dari fihak lain.

Kita lihat bahwa pengembangan ekonomi untuk membiayai operasional NU selalu muncul dalam muktamar atau kongres, tetapi dalam realisasinya kurang?

Orientasi NU kan nomer satu ternyata di bidang politik, klas tertinggi kan kyai dan politisi, yang namanya pedagang dan petani kan di bawah. Apalagi kyai merangkap politisi. Ini kan nomer wahid, yaa kan. Mereka sangat powerful.

Tidak tahu dalam terminologi di Indonesia ini benar apa tidak. Kyai nomer satu itu kan  adanya cumin di Nahd


Terkait