Wawancara

NU Harus Mandiri

Selasa, 28 Desember 2004 | 02:54 WIB

Perkembangan politik Indonesia belakangan ini, perlu diamati secara serius. Apakah ada perubahan-perubahan substantif yang dialami Indonesia baik dari sisi ekonomi, politik, sosial dan budaya ? Apakah perubahan yang dilakukan mengarah pada kemajuan atau kemunduran ? lantas dimana akar problem yang menjadi ganjalan sehingga Bangsa Indonesia belum mengalami kemajuan dalam penegakan demokrasi ? Siapakah yang dapat berperan maksimal dalam penataan Indonesia ke depan ?

Ditengah-tengah situasi itu, bagaimana posisi dan peranan NU dalam mengapresiasi perkembangan zaman. Bagaimana NU memainkan peran strategis dalam bidang sosial, ekonomi maupun Politik ?. Adakah kemajuan-kemajuan yang dicapai atau justru mengalami stagnasi? Bagaimana pula proses kaderisasi di tubuh NU dan dialektikanya dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi ? Untuk menelusuri jawaban ini, wartawan NU Online, Ahmad Kosasih Marzuki mencoba melakukan wawancara jarak jauh dengan JJ. Kusni, Ph.D, pemerhati NU dari l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS, Sorbonne), Paris,France. Berikut ini petikannya :

<>

Tanya [T]:1.Selama ini  orang pesimis dengan masa depan Indonesia, karena tidak adanya sistem politik yang mantap serta tidak adanya pemimpin  yang legitimet bagaimana komentar anda ?
 
Jawaban [J]:[Dari  pertanyaan ini, saya menangkap adanya tiga masalah, yaitu [1].sikap memandang hari depan Indonesia; [2]. ada tidaknya sistem  politik yang mantap dan [3]. legitimitas pemimpin.
 
1]. Sikap Memandang Hari Depan Indonesia:
Pesimis atau optimis memandang suatu hal-ikhwal, menyangkut masalah bagaimana seseorang mengenal keadaan hal-ikhwal itu. Tepat tidaknya  pengenalan akan hal-ikhwal  banyak ditentukan oleh cara bagaimana mengenalnya. Pengenalan seseorang yang melihat hal-ikhwal dari menara gading akan berbeda dari tingkat pengenalan seseorang yang berada di lapangan dan mengenal lapangan. Karena itu, mengenal hal ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal itu sangat bertautan dengan dari mana seseorang melihatnya dan bagaimana ia mengenalnya. Dalam hal ini saya termasuk orang yang menggarisbawahi arti penting penelitian atau riset untuk mengenal hal-ikhwal, sehingga kita secara relatif mengenalnya sebagaimana kita mengenal garis-garis telapak tangan kita sendiri. Metode mengenal hal-ikhwal begini oleh pemikir tertentu disebut dengan "mengenal kebenaran dari kenyataan" dan berangkat dari alur pikiran begini maka dikatakan bahwa "yang tidak melakukan riset tidak berhak bicara". Riset untuk mengenal kenyataan hal-ikhwal memberikan bobot kepada kata-kata. Dari kata-kata seseorang kita akan segera mengenal taraf pengenalan seseorang akan hal-ikhwal yang dibicarakannya. Berbicara memang merupakan hak asasi setiap anak manusia.Tapi dari pembicaraannya, dari kata-katanya kita akan segera tahu taraf pengenalannya akan masalah yang sedang ia bicarakan. Yang tidak mengenal kenyataan akan bicara sembarangan, tapi mau bicara dan berkomentar. Karena ketidaktahuannya akan hal-ikhwal maka dari segi tanggungjawab manusiawi selayaknya ia tidak usah bicara bahkan tidak berhak bicara. Hanya saja karena mengungkapkan diri merupakan hak asasi maka kita membiarkan siapa pun berbicara dengan sikap: "Yang bicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada".
 
Atas dasar pengenalan hal-ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal inilah kita membuat peta rencana menangani segala permasalahan. Mana yang pokok dan tidak pokok,yang dalam istilah filsafat sering disebut sebagai kontradiksi pokok dan kontradiksi pokok yang bersifat dialektis. Atas dasar ini, kita menetapkan kekuatan-kekuatan pilar dalam menangani masalah, mana yang jadi sasaran dan mana yang bisa diajak bersekutu. Di peta rencana demikian akan ditetapkan program mendesak, jangka menengah dan jangka panjang. Dari segi pandangan sejarah maka peta rencana  demikian memperlihatkan bahwa ia disusun atas dasar pengenalan atas masa silam dan hari ini. Sikap sejarah obyektif yang bertolak dari kenyataan membangun hari ini dan hari esok. Peta rancangan demikian merupakan suatu grand design masyarakat di mana tercantum tanda-tanda merah di mana kita berada, mau ke mana dan bagaimana mencapai ke mana.
 
Di sini yang sedang kita bicarakan  adalah hal-ikhwal yang bernama Indonesia. Adakah atau apa bagaimanakah grand design untuk masyarakat Indonesia kita sekarang yang telah ditawarkan oleh partai-partai politik dan berbagai lembaga masyarakat? Para pendiri bangsa dan negara ini pada tahun 1945 menawarkan grand design berjudul Republik dan Indonesia. Masihkah sekarang kita menerima grand design para pendahulu kita? Kalau kita masih menerima Republik dan Indonesia sebagai grand design masyarakat untuk wilayah geografis politis yang bernama Indonesia, bagaimana  sikap kita dalam kenyataan terhadap grand design ini? Bagaimana kita melaksanakannya? Sarana apa yang digunakan untuk mewujudkan grand design itu?
 
Grand design adalah suatu pilihan politik atas dasar pengenalan terhadap hal ikhwal. Tujuannya ditentukan oleh nilai-nilai apa yang dijadikan pedoman. Jika kita mengenal benar kenyataan maka saya kira tidak seorang


Terkait