Wawancara

Sastra Pesantren, Dakwah yang Tak Hitam Putih

Selasa, 23 Januari 2007 | 08:49 WIB

Selama ini kita telah mengenal sejumlah kyai yang menjadi seniman dan cukup produktif melahirkan karya-karya. Sejumlah karya sastra yang berbicara tentang dunia pesantren atau berciri religius bukanlah hal yang sulit kita temui. Banyaknya karya seperti ini menyebabkan mereka dikategorisasikan sebagai sastra pesantren. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan sastra pesantren dan bagaimana sikap mereka pada ajaran-ajaran Islam, berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Acem Zam-Zam Noor, penyair putra KH Ilyas Ruhyat, mantan rais aam PBNU, disela-sela Diskusi Akar Pesantren dalam Sastra Sunda di NU Online, Kamis 18 Januari lalu.

<>

Lahir di Tasikmalaya 28 Februari 1960 Selulus SMA di Pesantren As-Syafi'iyah ia masuk FSRD ITB dan selesai pada 1987. Tahun 1991-1993 ia belajar di Universita' Italiana per Stranieri, Italia, atas beasiswa dari pemerintah Itali. Selain sebagai pelukis, ia lebih dikenal sebagai penyair. Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media sastra Jakarta, Bandung, dan Malaysia. Selain itu, juga dimuat dalam banyak antologi sajak, antara lain Tonggak IV, Dari Kota Hujan, dan Ketika Kata Ketika Warna. Tahun 1995 ia mengikuti The 2nd ASEAN Writers Conference di Singapura dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Kini ia giat memotori Sanggar Sastra Tasik.

Apa yang dimaksud dengan sastra pesantren?

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Karya sastra pesantren merupakan karya sasatra yang ditulis santri atau orang yang memiliki latar pesantren, bisa juga dilihat karena yang diangkat masalah pesantren. Banyak sastrawan yang berlatar belakang pesantren atau kyai, tapi secara formal karyanya tidak bercerita tentang pesantren, tampil seperti sastrawan umum sesuai kreatifitasnya, tanpa ada embel-embel bahwa dia menulis tentang sastra pesantren. Menurut saya ini bagian dari sastra pesantren juga.

Ada juga yang menganggap secara formal mengangkat tema-tema pesantren, tema-tema dakwah atau yang semacam itu. tapi kalau memang sastra pesantren tiba-tiba dibatasi hanya tema-tema dakwah atau seperti itu, ini tidak menguntungkan karena si pengarang akan sangat terbatas pada tema-tema seperti itu, padahal si pengarang kan harus memiliki kebebasan menentukan tema-temanya. Kesantrian seseoang tak bisa dikotak-kotakkan seperti itu. ketika Ahmad Tohari menulis tentang ronggeng, kesantriannya tetap muncul. Seorang sastrawan yang berasal dari pesantren bisa menulis apa saja karena kehidupan memang sangat luas sekali.

Jadi bukan hanya media dakwah tetapi juga ekspresi kesenian santri?

Kalau dibatasi sebagai media dakwah akan sangat sempit sekali karena bentuk dawah yang kita kenal adalah yang mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran, padahal secara umum tidak harus seperti itu. bisa berupa kesenian. Melalui sastra bisa menjadi artistik. Jadi harus lebih dalam lagi dari sekedar itu.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Jadi Ahmad tohari juga merupakan dakwah dalam bentuk yang berbeda?

Ya, dia tidak dalam bentuk mengajak, tapi dengan melukiskan. Kehidupan ini seperti ini, seperti itu, mungkin bagi orang-orang yang memandang agama secara formal, ini disebut sastra abangan karena ia berbicara seperti itu, padahal ini berbicara tentang realitas masyarakat.

Komunitas santri kan sangat ketat sehingga ekspresi untuk berkesenian itu kan susah, sebenarnya bagaimana?

Itu merupakan kecenderungan belakangan ini ketika formalisasi agama mulai masuk pesantren. Ketika kita menengok ke belakang, kita melihat banyak karya sastra yang berasal dari pesantren. Itu santai sekali bahwa ia tidak terlalu ketat dengan fikih, bahkan fikih bisa dimainkan dengan logikanya sendiri. Jadi ada kecenderungan umum adanya formalisasi pesantren. Ada kecenderungan pesantren-pesantren NU sekarang santri-santrinya mulai memakai seragam. Baju takwa putih, pakai kopyak haji

Kalau seingat saya dahulu tak seperti itu, pesantren-pesantren NU pakai baju biasa, tidak memakai baju formal seperti itu. Ini mungkin juga mempengaruhi ke pengaruh persepsi berkesenian, karena pesantren terkait dengan tradisi. Di Sunda itu ada rudak, ini kan identik dengan pesantren, tapi sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda, ada nadhoman, ada syiiran, dan ini juga sangat kental hubungannya dengan tradisi dan budaya setempat. Sastra pesantren bisa juga dilihat dari situ karena di setiap pesantren memiliki nadhoman sendiri yang berbeda dari satu kampung ke kampung lainnya. artinya puji-pujian tentang nabi atau mengajak beribadah. Ini menurut saya bagian dari berekpresi yang sangat santai, tidak kaku. Ada unsur humornya, beragama juga bisa bergembira karena anak-


Terkait