Wawancara

Tolhah Hasan : Kesadaran Pentingnya Pendidikan telah Tumbuh Dikalangan NU

Selasa, 26 Juli 2005 | 03:33 WIB

NU memiliki puluhan ribu institusi pendidikan baik pesantren maupun sekolah. Mereka telah banyak turut berpartisipasi dalam peningkatan SDM Indonesia. Salah satu program NU yang dicanangkan periode 2004-2009 dalam muktamar ke 31 di Boyolali beberapa waktu lalu adalah pemberdayaan pendidikan. Berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Wakil Rais Aam PBNU KH Tolhah Hasan di Gd. PBNU beberapa waktu lalu. Mantan menteri agama ini yang telah berhasil mengembangkan berbagai institusi pendidikan mulai dari TK sampai Universitas dan baru saja memperoleh gelar doctor kehormatan atas pengabdiannya dalam dunia pendidikan.

Bagaimana pandangan Bapak terhadap perkembangan dunia pendidikan di lingkungan NU?

<>

Masalah yang dihadapi NU dalam bidang pendidikan masih banyak yang perlu dibenahi. Pertama kita ini belum mempunyai satu kesatuan visi dalam hal pendidikan yang akan kita kembangan. Pendidikan NU ini akan dibawa ke mana. Kita sekarang baru meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan.

Karena itu hampir setiap daerah dimana ada orang NU, fokus pendidikannya tidak sama. Ada yang masih memusatkan pada pendidikan agama. tapi ada juga yang lebih jauh lagi, sudah mengembangkan pendidikan yang sudah multisektor. Ada yang hanya bergerak di pondok pesantren dan sekolah yang ada dibawah departemen agama, ada yang sudah membuka berbagai macam politeknik.

Ini menunjukkan belum adanya sikap yang sama dalam fokus pengembangan pendidikan. Ini disebabkan masing-masing daerah belum memiliki kondisi yang sama. Tapi kesadaran untuk menyelenggarakan pendidikan sudah tumbuh.

Pendidikan di NU diharapkan dalam menanamkan nilai-nilai ahlusunnah wal jamaah, bagaimana ini bisa dilakukan?

Pendidikan NU dalam upaya mengembangkan faham ahlusunnah wal jamaah tak sekedar mengembangkan kurikulum aswaja, tapi justru yang perlu adalan internalisasi nilai-nilainya dalam NU, bukan semata-mata memahami tentang doktrin tersebut.

Ahlusunnah wal jamaah memiliki salah satu ciri bahwa kita kelompok moderat, bagaimana bisa membawa ciri moderat ini dalam pendidikan moderen?. Kita dianggap sebagai orang-orang yang menerima pluralisme, bagaimana ini kita tanamkan? Kita termasuk anti kekerasan, bagaimana ini kita tanamkan dan internalisasikan dalam pendidikan kita sampai yang tinggi? Ini harus mulai kita fikirkan.

Apakah pendidikan di NU akan diarahkan dalam satu konsep atau tetap dalam sebuah keragaman?

Masalah keragaman ini nantinya akan menemukan satu wadah yang baru, antara pendidikan salaf dan tinggi. Memang sekarang ini masa transisi. Kita sedang mengalami ketegangan dan kerawanan, ini karena yang salaf itu masih begitu ketatnya mempertahankan semangat mematuhi pada apa yang sudah ada atau kita sebut ruhul inkiyat, semangat mematuhi itu jauh lebih kuat dikalangan salaf, tidak berani mengkritik apa yang selama ini sudah dianggap baku. Tapi yang memasuki dunia pendidikan akademis, ini justru yang dikembangkan adalah semangat mengkritisi. Dengan sendirinya mempertanyakan apakah masih relevan ajaran-ajaran yang ada.

Antara dua budaya ini dikalangan NU sedang sama-sama kuat. Ini kalau tidak difasilitasi bisa menimbulkan kerawanan. Tapi kalau kita mau, bisa kita upayakan agar supaya dua hal ini bisa hidup damai dan bisa mengambil kebaikan masing-masing. Saya kira semangat mematuhinya juga ada, okelah kita mematuhi apa yang penting. Tapi harus ada keterbukaan.

Tapi sebaliknya bagi yang mengkritisi, silahkan ini yang memang perlu dilakukan, tapi juga harus menjaga kesopanan dengan menjaga ketersinggungan yang tidak perlu. Nanti suatu saat dua aliran ini insyaallah akan bertemu. Ini sebetulnya satu ciri al muhaafadhoh ala kodimisholeh. Tapi tak lalu semua harus dikritisi, ada hal yang harus dijaga. Tapi tak semua hal harus kita pertahankan, ada hal yang menyangkut metodologi, atau terjadi karena perubahan obyek yang ada.

Bagaimana dengan tumbuhnya kalangan liberal dari NU yang berlatar belakang pesantren?

Mungkin karena ada tekanan. Selama ini mereka ada pada dunia yang lain, tanpa disadari mereka terlepas juga. Sebab menganggap yang lama itu salah dan yang benar yang baru, bukan pada masalah pemikiran, tapi penampilan juga. Anak-anak pesantren yang dulu brukut-brukut, yang alim setelah keluar kadang-kadang lebih nyentrik daripada yang sudah biasa hidup dalam pergaulan terbuka.

Jika ada orang yang keluar dari satu ekstrimitas, kerap kali masuk ke ekstrimitas yang lain. Nanti biasanya kalau masih ada yang tetap membina, ketika dia sudah sempat berfikir, mestinya dia kembali, itupun tak ke yang lama, tapi lebih moderat.

Dulu imam Asy’ari da


Terkait