Wawancara

Wujudkan Muslimat NU Mandiri

Senin, 27 Maret 2006 | 12:17 WIB

Jelang Kongres Muslimat NU ke-15 yang akan digelar di Batam, Kepulauan Riau, 28 Maret hingga 1 April mendatang, bursa kandidat ketua umum semakin ramai dibicarakan. Siapa saja dan bagaimana visi-misi yang akan diusung? Berikut wawancara Moh. Arief Hidayat dari NU Online dengan Khofifah Indar Parawansa, salah satu kandidat ketua umum.

Untuk kedua kalinya Anda akan mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU. Bagaimana pandangan Anda soal Muslimat NU ke depan?

<>

Saya ingin Muslimat itu setara dengan institusi, di dalam maupun di luar negeri, terutama pada tataran penempatan implementasi program. Jadi begini, selama ini saya selalu mengajak bagaimana kita itu tidak menempatkan ”tangan” di bawah, karena hadistnya kita selalu dituntut untuk menempatkan ”tangan” di atas. Kalau kita tidak mampu menempatkan tangan di atas, paling tidak jangan di bawah. Bagaimana caranya, kita harus setara. Bagaimana setara itu, ya kita harus bermitra. Nah, yang akan kita inisiasi adalah MoU (Memorandum of Understanding, red) dengan sangat banyak menteri. Sehingga program yang akan kita laksanakan, anggarannya bisa di-back up oleh masing-masing kementerian. Itulah yang saya maksud dengan win-win profit (sama-sama untung, red). Jadi program kementerian jalan, program Muslimat juga jalan dan anggaran kegiatan bisa di-back up secara halal.

Kesetaraan yang dimaksud, secara kelembagaan?

Iya. Jadi kita itu tidak menengadahkan tangan, tetapi kita sebagai implementator program. Implementator program itu kan bukan tangan di bawah, tapi kita bisa berdiri sama tinggi. Dan ini yang menjadi bagian penting dari Master Plan Muslimat hingga 2026. Master plan Muslimat 2026 itu ending-nya adalah bagaimana mewujudkan Muslimat yang mandiri.

Bagaimana Muslimat yang mandiri? Pertama, mandiri di bidang pemikiran; Kedua mandiri di bidang organisasi. Ada apa dengan mandiri di bidang pemikiran? Saat ini kita lihat NU menjadi areal pertarungan kepentingan antara mereka yang berada pada titik liberal dan pada titik radikal. Dua kekuatan ekstrim inilah yang saya tangkap sekarang saja seperti ini, bagaimana dengan 2026 nanti saat NU berumur 100 tahun. Maka sekarang kita harus mulai melakukan langkah-langkah preventif, bahwa kemandirian berpikir harus terus menerus dilakukan secara sungguh-sungguh tidak hanya oleh Muslimat, tapi saya berharap ini akan menjadi program PBNU secara nasional. Tapi ada di master plan-nya Muslimat.

Ada stepping(tahapan, red)-nya, stepping-nya adalah 2011; ”Perempuan Indonesia Sehat,” 2016; “Perempuan Indonesia Berkualitas,” 2021; “Perempuan Indonesia Sejahtera.” Indikatornya apa? Sekarang ini Muslimat punya 57 Rumah Sakit. Sementara, Indonesia punya program; 2010, itu adalah health for all (sehat untuk semua). Maka Muslimat menargetkan, Perempuan Indonesia Sehat pada tahun 2011. Apa dasarnya? Karena memang Muslimat punya Rumah Bersalin dan Rumah Sakit. Inilah bagian dari Muslimat berkontribusi bagaimana mewujudkan Perempuan Indonesia Sehat 2011.

Lalu bagaimana kemudian dengan Perempuan Indonesia Berkualitas 2016? Saat ini Muslimat sedang menjadi bagian untuk menyukseskan Program Pemberantasan Buta Aksara Intensif. Nah, sebetulnya dari MDB (Millenium Development Board, red), itu ditargetkan Indonesia bebas buta aksara 2015. Tapi hitungan saya adalah kita bisa menjadi bagian yang ber-kontribute bisa membebaskan perempuan Indonesia di 2016. Jadi terukur lah itu.

Kemudian bagaimana dengan Perempuan Indonesia Sejahtera 2021? Di situ, saya berharap bahwa berdasarkan keberadaan Induk Koperasi Annisa sekarang, yang saya dirikan di tahun 1998. Nah, dari situ berkembang, sekarang kita punya 131 koperasi primer berbadan hukum. Itulah yang saya harap menjadi starting point bagi pembentukan atau medium perwujudan Perempuan Indonesia Sejahtera 2021.

Nah, 2026, saat NU berumur 100 tahun, kita berharap bahwa sudah terwujud Muslimat Indonesia yang mandiri. Mandiri di bidang apa? Mandiri di bidang pemikiran dan mandiri di bidang organisasi. Mandiri di bidang pemikiran adalah bagaimana kita bisa independen dari “tarikan” liberal dan “tarikan” radikal. Oleh karena itu, ini harus mulai dijadikan program global oleh NU-nya. Kemudian mandiri di bidang organisasi, kita sudah memulai dengan adanya MoU ini. Tanpa harus menengadahkan tangan kita harus bisa menyapa warga, bisa membangun peningkatan kualitas umat d


Terkait