Pengantar Redaksi
Artikel ini sangat spesial, yaitu buah karya Allahyarham Kiai Ahmad Sahal Mahfudh (1937-2014).
Redaksi NU Online mendapat artikel ini langsung dari Hj Tutik Nurul Janah, putri menantu Kiai Sahal, sekaligus memperoleh izin untuk menayangkannya.
”Ini salah satu makalah Kiai Sahal tentang keluarga Maslahah. Ditulis oleh Kiai Sahal pada 30 Mei 1998. Masih model ketikan lama. beliau menuliskan namanya sendiri dengan HMA Sahal Mahfudh (Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh),” kata Tutik kepada NU Online, Ahad (2/2/2025).
Tidak ada keterangan untuk kegiatan apa Kiai Sahal menulis makalah ini. Namun berdasarkan tanggal yang dibubuhkan di akhir tulisan, Kiai Sahal masih menjadi salah satu Rais Syuriyah PBNU atau belum menjadi Rais Aam PBNU (1999-2014).
NU Online memuat ulang apa adanya dalam rangka Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama dan Festival Keluarga Indonesia yang diselenggarakan PBNU pada 31 Januari hingga 2 Februari 2025. Insyaallah pemuatan ini menghasilkan manfaat dan berkah untuk kita semua. Selamat Membaca!
*****
Oleh: HMA Sahal Mahfudh
Dalam kedudukan keluarga sebagai unit terkecil dalam struktur sosial, berkembang asumsi bahwa keluarga adalah kunci utama pembentukan masyarakat ideal.
Secara teoretis, ia bersandar pada asumsi: jika unit terkecil itu mencapai bentuk idealnya, maka masyarakat, kumpulan unit-unit terkecil itu, dengan sendirinya akan menemukan bentuknya yang ideal.
Maka “pembangunan keluarga” menjadi wacana penting pengelolaan bangunan masyarakat, dan kemudian memunculkan beragam istilah (keluarga bahagia sejahtera, keluarga sakinah, dan dalam forum ini: keluarga maslahah) yang sebetulnya mengacu pada satu pengertian tunggal (meskipun juga penuh nuansa), yaitu keluarga ideal.
Telah banyak rumusan untuk menilai apakah suatu keluarga telah menjadi bahagia sejahtera, sakinah, atau maslahah, tergantung titik pandang yang ditekankan perumusnya. Maka keluarga ideal adalah keluarga yang jumlah anggotanya minimal, masing-masing anggotanya dapat memenuhi kewajiban sepadan dengan perolehan haknya, yang mampu mengenyam tingkat pendapatan ekonomis tertentu, atau yang memenuhi beragam definisi lain.
Lepas dari “urun rembug” yang telah memperkaya wawasan itu, barangkali secara sederhana dapat dirumuskan bahwa keluarga ideal adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik mendasarnya (biasanya dirumuskan sebagai sandang, pangan, papan) dengan baik, dan masing-masing anggota keluarganya memiliki kualitas yang memadai sebagai bagian dari bangunan masyarakat. Yang terakhir ini menuntut keluarga untuk mengupayakan agar masing-masing anggota mampu memahami dan melaksanakan berbagai aturan dan kesepakatan sosial, menjadi manusia baik-baik yang tidak membebani kehidupan bersama.
Dalam skala praktis, anggota keluarga ideal adalah anggota keluarga yang mampu menyeimbangkan hak dan kewajibannya, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun cakupan lebih luas, bermasyarakat. Dalam idiom khas keluarga maslahah mengukuhi nilai-nilai religius.
Inilah titik tolak diperlukannya keseimbangan pemahaman dan pemersiapan aspek-aspek material dan moral-spiritual dalam membangun kehidupan berkeluarga. Dengan memberikan keseimbangan memadai, berarti keluarga telah melaksanakan porsi terbesar tanggung jawabnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Apakah dengan demikian akan tercipta suatu masyarakat ideal? Kenyataanya tidak sesederhana itu. Dengan menaruh hampir seluruh titik berat pembinaan masyarakat dalam pembinaan keluarga, sebenarnya kita hanya menyederhanakan persoalan, paling tidak kerangka logikanya. Kita cenderung terjatuh untuk menganggap keluarga sebagai sentral aktif dalam proses kehidupan bermasyarakat yang dalam kedudukannya sebagai unit terkecil, tentulah bukan jenis peran yang layak diharapkan.
Setiap keluarga, selain memberikan bagiannya dalam kehidupan bermasyarakat dalam skala yang amat sangat lebih besar, justru menerima bagiannya sebagai anggota masyarakat.
Dalam kesempatannya untuk mempengaruhi kehidupan bermasyarakat lingkungannya, sebuah keluarga juga terbuka selebar-lebarnya untuk menerima pengaruh dari lingkungan itu sendiri.
Apakah suatu keluarga bersikap aktif dalam usaha membentuk kehidupan bermasyarakat? Jawabannya terpulang pada keluarga yang bersangkutan, tetapi sangat jelas bahwa lingkungan menjalankan peran aktif yang tidak diragukan dalam mempengaruhi kehidupan berkeluarga.
Maka sebagaimana pembinaan keluarga diperhatikan untuk membangun lingkungan, diperlukan pula upaya untuk membentuk lingkungan agar mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi pembentukan keluarga ideal.
Ini tentu bukan sesuatu yang sederhana, karena dalam skala makro pada akhirnya akan menyentuh pula aspek keamanan (baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional) dan lebih jauh lagi: aspek politik. Sejauh tidak menjadi pembenaran bagi perlakuan dan tindakan represif (yang justru berdampak kontra produktif), dinamika politik dan jaminan keamanan adalah faktor tak terhindarkan dalam usaha pembinaan keluarga maslahah.
Mengabaikan tuntutan ini hanya akan mengantarkan kita pada beruntun dan lantangnya pertanyaan (secara sayup sebetulnya telah mengemuka) di sekitar konsistensi, konsekuensi, dan relevansi norma-norma ideal yang justru berbenturan sangat keras dengan kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Jika benturan ini terjadi terus-menerus, setidaknya terdapat dua alternatif pola integrasi yang mungkin diambil anggota masyarakat.
Pertama, menyesuaikan diri sepenuhnya dengan realitas masyarakat artinya membuang habis seluruh nilai dan norma ideal, dan melangkah sesuai irama hidup masyarakat. Dengan kata lain, bersepakat bahwa kenyataan yang hidup di masyarakatlah yang sesungguhnya ideal, tanpa memusingkan korelasinnya dengan moral, agama, dan piranti ukur sosial lainnya.
Kedua, menyesuaikan praktik hidup dengan kenyataan masyarakat seraya meyakini bahwa kenyataan itu sangat melenceng dari kondisi ideal. Dalam skala praktis, pola ini melahirkan pribadi yang (dalam) renungan dan perbincangan verbalnya penuh dengan pertimbangan moral tinggi, tetapi melangkah ke arah yang sama sekali bertentangan dengan kesadaran moralnya sendiri.
Diakui atau tidak, dua pola integrasi itu telah menemukan bentukannya dalam masyarakat kita. Sementara dalam jumlah yang sangat kecil, kita menyaksikan sekelompok anggota masyarakat yang karena meyakini, menyetiai, dan mengarahkan hidupnya sesuai tuntunan moral justru menjadi beban yang “merusak harmoni” masyarakatnya, menjadi kelompok “sempalan” justru karena kebenarannya yang hadir di tengah belantara kekeliruan.
***
Perbincangan tentang kehidupan modern, setelah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, tampaknya masih akan selalu menarik justru karena kita telah bersusah-payah menuju ke sana dengan banyak hal terkorbankan dan kita merasa belum pernah sampai ke kondisi kehidupan yang yang kita sebut modern ini.
Lebih menggelitik karena sesungguhnya kita belum pernah betul-betul mampu menyepakati makna term kehidupan modern itu sendiri. Diskursus ilmiah sedikit banyak telah mengarah pada kesepakatan makna modern, tetapi “kesepakatan ilmiah” atas modernitas tidak mendapatkan pemahaman dan penerapan praktis yang konsekuen dan konsisten.
Karena itu, meskipun tidak setiap orang mampu mendefinisikan sikap hidup modern, tampaknya mereka dapat menyepakati kelompok masyarakat mana yang dapat disebut modern, dan itu selalu merujuk pada capaian ekonomis dan capaian teknis masyarakat Eropa Barat, dan terutama Amerika Serikat.
Alih-alih memahami dan menerapkan semangat kehidupan modern, kita justru terjebak pada simbol lahiriah yang acap kali tidak mencerminkan substansi modernitas. Bahkan kontradiktif dengan idealisme modernitas.
***
Melihat kenyataan praktis yang kita temui dalam perilaku masyarakat modern, pola kehidupan modern sangat dijiwai oleh, atau menumpukan perilaku praktisinya pada watak individualisme, konsumerisme, dan kompetisi.
Bahwa dalam kehidupan modern dituntutkan kemampuan untuk dapat berkompetisi, pada dasarnya tidak terdapat keberatan mendasar. Karena kemampuan kompetitif mempersyaratkan peningkatan sumber daya manusia, maka tuntutan menjadi kompetitif berarti pula peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sepenuhnya sejalan dengan fungsi dan misi pembinaan keluarga maslahah. Dengan kendali kesadaran moral, tuntutan kompetitif justru memberikan tambahan keunggulan nilai sumber daya manusia.
Tetapi jelas bahwa watak individual dan konsumtif membawa potensi negatif yang sangat besar untuk tidak mengatakan bahwa pada dasarnya watak-watak itu sendiri sudah negatif. Keduanya mengantarkan masyarakat pada penyikapan kehidupan secara asosial dan profan, kehilangan relevansi nilai-nilai moral spiritual.
Namun, bukan berarti modernisasi harus berseberangan dengan norma keluarga maslahah karena sesungguhnya pola hidup individual dan konsumtif hanyalah efek samping yang timbul akibat kecenderungan masyarakat modern pada efisiensi pengelolaan hidup.
Individualisme menemukan pembenaran dalam modernisme karena dengan sikap itulah maka biaya kehidupan sosial dapat dipangkas. Sementara tidak lebih dari upaya untuk menikmati kehidupan dalam skala yang penting, mudah, dan praktis.
Dari sini setidaknya terdapat celah untuk terbebas dari keharusan bersikap sosial dan materialistis. Dengan memberikan pemahaman terbaik bahwa pada akhirnya kedua sikap itu justru tidak akan melawan manusia menuju kemaslahatan bersama, dan bahkan kebahagiaan pribadi sekalipun.
Berbagai bentuk krisis moral (yang ditunjukkan dalam skala besar oleh masyarakat yang lebih “maju” dan akibat sosialnya belakangan itu) bisa menjadi pelajaran bersama bahwa meninggalkan watak sosial dan tanggung jawab moral tidaklah dapat diandalkan untuk mencapai kondisi ideal, meskipun untuk itu ia bersembunyi dibalik idealisme efisiensi.
Dalam contoh yang lebih praktis, kita menemukan kecenderungan masyarakat negara yang berpola ekonomi kapitalis (yang diklaim sebagai perwujudan sejati modernisme) berangsur-angsur mewarnai kapitalismenya dengan ide-ide sosial yang mengembalikan masyarakat menuju kesadaran moralnya.
Kepedulian untuk mendidikkan hal ini pada masyarakat luas tidak dapat lebih lama lagi ditunda sebab ketika modernitas menjadi masa depan yang tak mungkin terelakkan lebih lama lagi, maka penentuan langkah-langkah supaya norma-norma ideal dalam keluarga maslahah tidak tercabut habis tampaknya harus segera mendapatkan perhatian memadai, termasuk di antaranya dalam bentuk aksi nyata yang mampu dipahami dengan baik oleh masyarakat awam.
Kajen, 30 Mei 1998